Tempat ini merupakan desa yang kecil, belum lagi perjamuan besar akan mengumpulkan semuanya. Satu persatu mereka menundukkan kepala untuk berterima kasih kepada semua orang. Saat itu matahari sudah terbenam dan Silene dan Misha sudah pulang ke rumah.
"Wah, pengantinmu bukan berasal dari sini?
"Dia mengerti bahasa kita. Meski dia kesulitan dalam berbicara. Itu sedikit lucu."
"Silene, perlakukan dia dengan baik. Dia hanya bisa bergantung padamu, bukan?"
Perkataan itu tidak membuatnya terganggu, tapi sebelum itu, dia ditanyai oleh wanita yang lebih tua darinya tentang tunangannya, Misha. Selagi SIlene berbicara dengannya disebelah Misha yang terlihat kesulitan berbicara, tenggorokannya menjadi kering.
"Ah.. hari mulai gelap," gumamnya dengan singkat, dan Silene mengangguk.
Desa itu biasanya tenang saat matahari terbenam, tapi hari ini sedikit ramai. Semua orang bersemangat untuk hari esok. Saat dia berpikir bahwa semua itu ditujukan untuk dirinya dan Misha, Silene mulai mengerti bahwa pernikahan mereka tidak hanya untuk dua orang. SIlene memgang tangan Misha dengan lembut.
"hehe.." dengan malu ia tertawa, "Orang-orang di desa ini sangat ramah." Mungkin karena nyaman saat berduaan dengan Silene, ia mulai berbicara. "Saudaraku yang sudah menjagaku selama berada di rumah orang tua kami, meninggal dunia setelah 'Perang Besar'. Aku sangat lega karena bisa menikahimu. Aku bisa mendapatkan keluarga kembali." Dia tersenyum malu.
"Nona Delit sangat pandai dalam memasak. Dia telah mengajarkanku masakan apa yang kau suka. Dan rumah Ibu sangat luas. Terlihat megah dan membuatku berpikir... apa semua orang dapat tinggal di sana?"
Meskipun itu ppembicaraan yang damai, Silene malah berkata dengan dingin, "Kau tidak perlu berhati-hati."
Misha berhenti berjalan. Tangannya yang masih memegang SIlene ditarik kedepan selagi SIlene melanjutkan langkahnya, dan itu membuat Misha tersandung. "Aku minta maaf."
"Ahh, tidak.. aku juga minta maaf."
"Tidak, seharusnya aku yang minta maaf. Aku mengatakan sesuatu yang tidak perlu, meski aku tau bahwa kau meninggalkan rumah itu karena kau membencinya dan... Ibumu."
Apa yang membuat Silene terpikat dengan Misha adalah hal itu. Dia sangat jujur, peduli, dan baik hati.
"Tapi, aku belum bertanya mengapa kau begitu membencinya? Bukankah lebih baik untuk menyayangi orang tuamu?"
Dan dia punya pendirian.
Keringat terasa pada tangan yang memegang tangannya. Silene ingin melepaskan tangannya untuk menyekanya tetapi dia tidak melakukannya, dia malah semakin mengencangkan cengkeramannya. Dia tidak ingin menimbulkan rasa jijik pada orang yang akan selalu berada di sisinya sejak saat itu.
"Tidak ada ... yang bisa melewati Ibu."
Tidak seperti Silene, yang tidak mau menatap matanya, Misha mengarahkan pandangannya langsung ke arahnya. "Iya."
Sudah seperti itu sejak aku masih kecil. Dia tidak seperti itu karena usianya. Aku dulu punya ayah juga, dan ... kakak laki-laki ... tapi suatu hari, ayahku membawa adikku dan pergi. "
"Mengapa?"
"Aku terlalu kecil jadi saya tidak mengingatnya dengan baik. Itu mungkin biasa hubungan mereka sebagai pasangan yang sudah menikah memburuk. Mereka sering bertengkar. Aku melihat salah satu dari mereka sering keluar rumah. Itu sebabnya aku pikir Ayah pasti akan segera kembali saat itu juga ... "
Tapi ia tak pernah kembali.
--Dulu, mengapa Ayah mengambil Kakak, kenapa bukan aku?
Apakah karena kakaknya adalah anak sulung? Jarak usia mereka hanya tiga tahun, namun dia selalu merasa bahwa ayahnya akan memprioritaskan kakaknya dalam apapun yang dia lakukan. Misalnya, dalam urutan pemberian hadiah, frekuensi dia menepuk kepala mereka, atau perbedaan kata-kata yang dia gunakan untuk memuji mereka. Dari sudut pandang orang lain, tidak ada yang menjadi masalah besar, tetapi anak-anak peka terhadap hal-hal seperti itu.