Chapter 8

287 40 6
                                    

Perjalanan periode kedua dimulai dengan luar negeri terdekat. Mereka pergi ke Myanmar dan berkunjung ke sebuah kuil yang terkenal. Perjalanan dijadwalkan selama dua minggu. Setelahnya, mereka boleh kembali pulang dan melanjutkan kehidupannya masing-masing.

Ini sengaja dilakukan untuk masa penyadaran masing-masing, akan berlanjut atau tidak. Biasanya mereka akan selalu perlu waktu sendiri untuk memikirkan apakah mereka cocok satu sama lain atau sama sekali tidak dan tetap pada pendirian mereka.

Mereka tidur satu ranjang di hotel selama dua minggu di Myanmar itu. Pertama mereka berkunjung ke kuil dan mereka berdoa di sana dengan pakaian adat Myanmar dan keduanya saling mengagumi satu sama laim bahwa mereka sangat menawan dalam balutan busana tradisional negara itu.

Sekembalinya ke hotel, mereka melakukannya seolah itu adalah hal biasa dan tak perlu lagi ada rasa malu untuk ditutupi dan dijelaskan bahwa mereka menginginkan satu sama lain.
Setelah melakukan perjalanan yang pertama, mereka berpisah selama satu bulan sampai perjalanan selanjutnya ditentukan.

Perth dan Por kebanjiran pujian. Pasalnya, mereka berhasil membuat keduanya melakukannya. Seharusnya yang dipuji itu buah arbei bukan Perth dan Por, tapi pemerintah memberikan itu kepada mereka sebab sang pasangan mulai menunjukkan saling tertarik saat pada periode mereka.

Mean dan Plan baru seminggu minggu berpisah dan suatu pagi saat Plan baru keluar dari rumahnya untuk berbelanja, ia mendapati Mean berdiri di depan apartemen Plan di depan mobilnya.

Plan memang memilih tak pulang ke rumah keluarganya sebab ia ingin sendiri dan tak mau diganggu oleh siapapun. Akhir-akhir ini, ia merasa selalu cepat lelah dan sakit dan nafsu makannya tengah tinggi setinggi rasa marahnya juga.

Ia pikir dengan keadaannya yang seperti itu, ia lebih baik sendiri dan tak melihat ayahhnya sebab jelas mereka tak akan pernah bersama dalam satu halaman.

Mean jelas tahu alamat apartemen Plan sebab pemerintah menyediakan informasi semuanya tentang calon istrinya itu. Dulu, informasi itu tak bermakna apa-apa untuk Mean, tapi sekarang setelah Mean merasa bahwa ia memiliki perasaan yang istimewa terhadap Plan, semuanya menjadi sangat penting.

"Ada apa?" Wajah Plan terlihat sangat kaget. Ia menghampiri Mean.

"Naiklah, aku akan mengantarmu," ujar Mean. Plan mengernyitkan alisnya.

"Tidak perlu, Mean, aku bisa melakukannya sendiri. Bukankah ini waktu bebasmu? Seharusnya kau gunakan dengan siapapun atau melakukan apapun yang kau mau," ujar Plan lagi.

"Aku ingin menghabiskannya denganmu dan melakukan apa saja bersamamu," ujar Mean.

Plan semakin bingung.

"Aku tahu kau bingung. Naiklah. Nanti kita bicara," ujar Mean lagi sambil membuka pintu mobil.

Plan diam sejenak. Ia menatap Mean lalu melakukan yang Mean minta. Mereka naik mobil dan Mean membawa Plan ke pasar tradisional. Ia menemani Plan berbelanja dan pulang bersama.

Mereka memasak dan makan bersama dan Plan menunggu untuk berbicara tentang apa saja yang ia ingin bicarakan. Ia tentu saja penasaran, tapi ia tak memaksakan diri untuk bertanya kepada Mean bertanya tentang hal yang ingin ia bicarakan itu.

Setelah mereka lebih santai dan duduk di depan balkon, Mean barulah  menyuarakan isi hatinya.

"Aku sudah berpikir tentang ini. Uhm, aku tidak ingin melanjutkan sistem ini," ujar Mean dengan tenang. Ia menatap Plan, berharap reaksi di wajah Plan sama dengan yang ia pikirkan, yaitu mengutarakan tanda setuju.

Sayangnya, itu tak terjadi. Plan menganga. Ia mengalihkan tatapannya dari Mean ke arah pemandangan gedung kota di depannya dengan reaksi wajah kaget dan bingung. Ia kemudian menunduk seolah tengah berpikir.

"Mean, kurasa kau terbawa suasana. Neena mencampakkan dirimu. Kau patah hati dan sekarang kupikir kau sedang dalam keadaan galau. Kita sudah dewasa. Kita bercinta karena kita sama-sama menginginkannya, bukan? Kau memerlukan itu. Aku juga dan hanya karena kita kompatibel di ranjang tak berarti kita harus menikah, Mean. Juga, bukankah Neena bilang dia akan bercerai sesudah menikah lima tahun. Mungkin kau perlu bicara lagi dengannya dan memastikan semuanya. Jangan terburu-buru mengambil langkah yang nantinya akan kau sesali. Kalau kita menikah, lantas setelahnya kau bersama dengan Neena dan meninggalkan aku, bukankah itu tak adil bagiku? Bukankah artinya kau menyakiti diriku dan anak kita, nantinya?" Plan menjelaskan sambil menatap Mean.

"Aku bicara ini denganmu karena aku sudah bicara dengannya, Plan. Bukan untuk memastikan, tapi menegaskan bahwa aku tak ingin ada dia dalam kehidupanku lagi dan aku harus sejujurnya menyerah dengan pikiranku dan mengiyakan bahwa pilihan pemerintah adalah yang terbaik untukku. Kau tak ingin mencoba membangun hubungan ini denganku, Plan?" Giliran Mean menatap Plan.

"Mean, aku belum siap berpikir ke arah sana dan meski kita dekat, aku tak pernah berpikir bahwa kita akan bersama seperti suami dan istri," ujar Plan dengan nada yang agak sedih.

"Kita bisa memulainya pelan-pelan, kalau kau mau. Aku tak keberatan menunggu, kecuali kau memang merasa bahwa aku bukan orangnya. Sama seperti saat kau menjelaskan kepadaku tentang kau dan Antoine," terang Mean.

"Entahlah! Bisakah kita tidak melanjutkan pembicaraan ini. Aku mulai tak nyaman, Mean," ujar Plan dengan nada memohon dan ia memang terlihat gusar.

"Baiklah, maafkan aku. Aku tak akan memaksamu. Tapi, bisakah kau pikirkan ini. Pelan-pelan saja, aku tak keberatan," ujar Mean lagi.

"Uhm," gumam Plan. Mean tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Mereka diam sejenak dan saling memandang kemudian tersenyum.

"Plan," lirih Mean.

"Uhm," gumam Plan sambil melirik ke arah Mean.

"Kalau aku minta, kau akan memberikannya kepadaku?" ujar Mean sambil menggaruk kepalanya dan dengan wajah yang tampak malu.

"Oo, kau mau?" tanya Plan memastikan sambil tersenyum.

"Iya," ujar Mean nyengir.

"Okay. Sekarang?" tanya Plan.

"Iya," sahut Mean.

"Okay," bisik Plan. Ia beranjak dari kursinya dan berjalan ke dekat Mean dan mendekatkan wajahnya ke wajah Mean dan mencium bibirnya dengan cepat.

Ia duduk di pangkuan Mean dan mengalungkan kedua tangannya du leher Mean.

"Kau mau melakukannya di sini?" bisik Plan.

"Di kamar," lirih Mean.

"Ayo," bisik Plan.

Mereka berjalan ke dalam kamar sambil berciuman dan menanggalkan pakaian masing-masing.

Bersambung





CHALLENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang