Mereka berciuman hangat dan mesra diselingi desahan dan rintihan di antaranya. Mean memejamkan matanya merasakan kenikmatan itu. Sang perempuan ini benar-bensr membuat naganya kecanduan dan kini ia tak mungkin bisa beralih kepada yang lain. Oleh karena itu, cara satu-satunya adalah dengan membuat Plan menjadi miliknya, apapun caranya.
"Aaah, aaaah, nnngh, Meaaaan, nnnngh, hmmmmm," rintih Plan. Ia memejamkan matanya dan terus mengimbangi permainan Mean yang semakin panas.
"Hmmmmm, Plaaan, nnnnngh, so goooood" lenguh Mean. Ia juga memejamkan matanya.
Keduanya berpacu dalam kegiatan yang menghabiskan banyak tenaga, membuat keringat bercucuran dan kelelahan pula, tapi juga bahagia sensasi kenikmatannya yang luar biasa. Mereka masih tenggelam dalam permainan mereka dan berhenti setelah lima babak. Keduanya terkulai kelelahan dan tidur berpelukan.
Mean membuka matanya saat ia mendengar suara bel. Ia bangun dan kemudian mengambil kemejanya dan mengancingkan beberapa bagian pada bagian depan kemejanya. Ia berjalan ke arah pintu, membukanya dan mendapati Est dan Jump berdiri di depan pintu dengan wajah kaget dan panik.
"Phi Mean!" teriak keduanya kompak. Mereka bertatapan sejenak dan kemudian menatap Mean.
"Ada apa?" tiba-tiba suara Plan dari belakang Mean dengan nada kaget dan khawatir. Ia memakai baju piyama yang menutupi hanya sampai bagian paha atasnya.
"Phi, Pho di rumah sakit." Est langsung memberitahu maksud kedatangan mereka pada dini hari itu. Plan terkejut. Ia langsung pergi ke kamarnya dengan cepat mengenakan pakaian dan membawa kunci mobil.
"Aku menyetir," ujar Mean.
"Tidak perlu, Mean. Ini urusan keluarga." Plan menjelaskan.
"Aku ingin menemanimu. Dan itu final. Kau tak boleh membantah," ujar Meam dengan nada keras kepala.
"Tsk! Terserah!" sahut Plan
Mereka bergegas menaiki mobil."Apa yang terjadi?" Plan bertanya saat mobil melaju di jalan. Ia melihat ke jok belakang yang diduduki kedua adiknya.
"Pho ditembak orang tak dikenal saat ia keluar dari klub," sahut Jump dengan suara pelan.
Ia menatap Mean sejenak dan menatap Plan, seolah menanyakan apakah boleh membahas soal keluarga di depan orang yang bukan keluarganya. Plan biasanya tak suka. Plan hanya menganggukkan kepalanya sebab ia tak punya lagi waktu untuk berbicara kecuali saat itu.
"Di mana Antoine?" tanya Plan lagi. Ia menanyakan lelaki itu sebab Antoine adalah pengawal pribadi ayahnya sekaligus tangan kanannya. Jump dan Est bertatapan lagi. Mereka menatap Plan dengan sedih.
"Ada apa?" tanya Plan.
"Phi Antoine juga sama terlukanya dengan Pho, Phi. Uhm, kali ini baku tembaknya sangat besar. Phi God sedang menyelidikinya," ujar Est.
Wajah Plan terlihat sangat murung. Mean melirik sejenak dan dengan mudah menangkap aura itu. Ia hanya diam, mencoba terlibat sedikit mungkin dalam pembicaraan mereka yang jelas-jelas bukan kapasitasnya untuk ikut campur.
Setibanya di rumah sakit, mereka langsung bergegas menuju ruangan. Beberapa pengawal langsung menghormat kepada Plan saat mereka datang. Mean kaget sebab meski ia pernah tinggal bersama dengan keluarganya, ia tak pernah mengalami interaksi langsung seperti ini.
"Di mana Phi God?" tanya Plan kepada salah satu pengawal.
"Di sini," ujar God sambil menghampiri Plan dan God kaget saat mendapati Mean ada di sana.
"Khun Mean, permisi, aku akan pinjam adikku sebentar, na!" ujar God dengan nada sopan. Ia juga memberi tanda gerakan di kepala kepada Est dan Jump untuk bicara. Mean menganggukkan kepalanya.
Plan, Est, Jump mengikuti God dan mereka terlihat sangat serius dengan pembicaraan mereka. Mean yanh melihat mereka dari kejauhan merasakan bahwa sesuatu yang besar dan tentunya tidak bagus akan segera terjadi. Ia menatap wajah Plan yang terlihat begitu dingin dan serius. Aura seorang anak mafia terlihat begitu jelas di wajahnya.
Hampir setengah jam mereka berbicara dan mereka mengakhirinya saat dokter menghampiri mereka dan ikut terlibat dalam pembicaraan. Tetiba, Mean melihat Plan langsung berlari menuju sebuah ruangan. Mean yang cemas berusaha mengikutinya dan melewati God dan yang lainnya yang masih berbicara dengan dokter. God hanya menganggukkan kepalanya. Begitu pula Jump dan Est, seolah mendukung tindakan Mean dan dengan begitu Mean merasa lebih lega dan ia melanjutkan langkahnya.
Mean berlari mengikuti Plan dan ia terhenti saat ia mendengar suara tangisan Plan yang tersedu.
"Aku tahu kau tak pernah mencintaiku, tapi tolong terima cincin ini. Aku sengaja membelinya untukmu," sahut Antoine dengan suara yang lemah.
Ia seolah tahu ia tak akan bertahan. Terlalu banyak peluru bersarang di bagian tubuhnya dan sang doktet bahkan bilang bahwa Antoine terbilang kuat sebab ia masih bisa bertahan dengan kondisinya seperti itu. Plan hanya menerima cincin itu dan menganggukkan kepalanya. Ia menangis. Mean yang berada di belakangnya hanya diam.
"Maafkan aku!" ujar Plan dengan suara yang terisak.
"Tidak. Aku bahagia karena kau orang terakhir yang kulihat sebelum aku menutup mataku," sahut Antoine dengan suara lemah. Ia kemudian menutup matanya dengan air mata mengalir di kedua pipinya. Tak lama kemudian suara mesin itu berubah bunyi dan gelombang dalam layar mesin berubah datar.
Plan menangis keras dan ia memeluk tubuh Antoine dan menangis dan meminta maaf. Mean berjalan mendekati dirinya dan mengelus punggung Plan perlahan dengan mata berkaca-kaca. Plan menoleh dan ia menghambur ke pelukan Mean dan menarik sepuasnya.
Mean hanya diam dan mengelus punggungnya perlahan dan lembut. Setelah beberapa saat kemudian, Est menyusul Plan dan Mean ke ruangan.
"Phi, Pho sudah sadar dan ingin bicara denganmu," ujar Est. Plan menganggukkan kepalanya sambil mengusap air matanya di pipi.
Semuanya memasuki ruangan. Ayahnya kaget saat Mean berada di belakang Plan.
"O, kau ada di sini, anak muda!" seru ayah Plan meski suaranya dalam keadaan lemah, aura sebagai pemimpin masih tampak jelas tergurat pada wajahnya.
"Ah, maaf! Kurasa ini tentang keluarga. Aku sebaiknya tidak di sini!" ujar Mean sambil wai dan hampir akan pergi.
"Tidak. Kau boleh di sini. Kau akan menjadi saksi untuk apa yang akan kubicarakan kepada semua anakku," ujar ayah Plan.
Semuanya menatap ke arah Mean dan menganggukkan kepala, menyetujuinya.
"Aku tahu aku tak akan bertahan lama. God akan menjadi penerusku. Kalian bertiga bebas menjalani hidup kalian. Plan, aku tahu kita tak saling akur, tapi untuk terakhir kalinya, lelaki tua ini meminta maaf kepadamu. Semoga kau mau memberiku maafmu. Aku tahu sudah banyak hal yang kulakukan kepadamu dan aku tahu kau tak akan mau menerima sepeserpun dariku. Jadi, maafkan aku karena tak menjadi ayah baik untukmu," nada ayah Plan mulai lemah dan suaranya terputus-putus. Sekali lagi Plan menangis. Mean yang berada di sebelahnya langsung nerangkul bahunya menguatkannya.
Ayahnya berkata hal yang sama kepada anak-anak lainnya. Intinya, God yang akan mengurus dunia hitamnya sementara adik-adiknya yang lain bebas menentukan hidupnya. Setelah itu ayahnya meninggal dunia. Semua anak menangis dan keluarga Plan hari itu berkabung.
Ada dua pemakaman. Ayah Plan dan Antoine. Seminggu setelah pemakaman, Plan masih belun reda dari kesedihan. Ia mengurung dirinya di dalam kamar di apartemennya. Mean selalu mengecek keadannya dan memastikan bahwa ia baik-baik saja. Tak jarang Mean datang ke apartemen Plan dan menemaninya meski ia hanya bisa berada di sisinya, menunggu Plan yang lebih senang tenggelam dalam lamunannya.
Perjalanan kedua dimulai. Meski dalam keadaan yang tak menentu, Mean dan Plan melakukannya. Perjalananan kedua masih di sekitar Asia Tenggara. Mereka berkunjung ke Indonesia. Bali dan Lombok menjadi tempat yang dipilihkan untuk mereka.
Bersambung