Mereka menghabiskan satu minggu di Bali dan satu minggu di Lombok. Mereka menikmati kebersamaan mereka meski jarang saling berbicara. Plan masih dalam dukanya dan Mean paham dengan hal itu. Jadi, ia hanya berada di sampingnya mendukungnya dan membantunya jika diperlukan.
Mereka tinggal di sebuah bungalow di tepi pantai di Lombok dan pagi itu, Mean tak mendapati Plan di sisinya. Mereka tidur bersama satu ranjang, Mean memeluk Plan dari belakangnya dan saat ia bangun ia tak mendapati seseorang dalam pelukannya itu. Ia bangkit dengan cepat, mencari ke semua ruangan di dalam bungalow dan setelag tak ada, ia akhirnya keluar dari bungalow.
Mean berjalan di pesisir pantai mencari Plan dan ia mendapati perempuan itu tengah duduk di atas pasir menatap laut dengan cincin pemberian Antoine di tangan kanannya. Plan menatap sedih jauh ke tengah laut da jelas tatapannya itu kosong.
Mean menghentikan langkahnya mengamati Plan dari kejauhan dan kemudian setelah diam sejenak akhir ia memutuskan untuk duduk di sebelah Plan. Plan kaget dan ia berusaha menyembunyikan cincinnya dengan cepat.
"Kau tak perlu menyembunyikannya. Aku sudah tahu!" ujar Mean sambil tersenyum. Plan merasa kikuk, tapi akhirnya ia menggenggamnya.
"Cincinnya indah. Ia pasti berusaha dengan keras membelinya sehingga itu cocok dengan tanganmu," ujar Mean sambil tersenyum.
"Dia satu-satunya orang yanga menyayangiku selain adik dan kakakku," ujar Plan sambil menatap cincin itu.
"Bukan hanya dia, Plan. Aku juga sayang kepadamu. Dan aku masih hidup," sahut Mean dengan lembut.
"Mean, aku!" Plan diam.
"Pakai saja cincinnya. Dia sengaja memberikan itu kepadamu, bukan?" tanya Mean lagi. Plan menganggukkan kepala.
"Tapi jangan di jari manis tangan kirimu. Itu tempat cincin dariku," ujar Mean lagi. Plab menatap Mean kaget.
"Maafkan aku, Plan! Kurasa aku mencintaimu dan aku tak ingin melanjutkan sistem ini," ujar Mean lagi.
"Mean, kau sungguh-sungguh dengan yang kau katakan?" Plan menatapnya dalam.
"Iya, aku sungguh-sungguh," jawab Mean mantap.
"Kau, ungh...," Sahut Plan dan ia tidak melanjutkan bicaranya sebab ia merasa mual dan ingin muntah.
"Kau kenapa, Plan?" tanya Mean saat ia menutup mulutnya dan menahan muntah.
"Ah, mual sekali!" ujar Plan. Ia beranjak dari duduknya dan berlari menuju bungalow yang mereka sewa. Mean mengikutinya dengan cepat. Ia membawa air hangat dan membawa obat gosok.
"Sini, minumlah! Mungkin kau terlalu lelah, Plan. Kau belum sarapan, bukan?" sahut Mean lagi.
"Aku tak mau sarapan," ujar Plan dengan nada yang amat lesu dan wajahnya menjadi pucat.
"Kau harus makan walaupun sedikit. Tapi untuk saat ini, berbaring saja. Kugosok punggungmu pakai ini, mau?" tanya Mean menunjukkan obat gosok hangat.
"Oke," ujar Plan dan ia berjalan menuju kamar dan berbaring. Mean mengelus punggung Plan lembut dengan obat gosok itu dan Plan mulai tenang. Mean memijit pelipis Plan san Plan mulai merasa nyaman. Ia memejamakan kembali matanya.
Mean baru saja akan merebah di belakang Plan, memeluknya, tiba-tiba Plan membuka matanya dengan wajah yang kaget.
"Meaan!" pekik Plan dengan agak keras dan suara yang agak khawatir.
"Uhm," gumam Mean. Ia bangkit kembali dari hampir rebahannya. Plan menoleh dengan wajah cemas.
"Ada apa?" tanya Mean dengan wajah heran.
"Tolonh belikan testpack!" Plan menatap Mean dengan wajah khawatir.
"Test... pack??" Mean kaget. Ia meneguk ludah. Ia menatap Plan, lalu tersenyum.
"Oke," sahutny dengan mantap. Ia bergegas keluar, mencari toko dan apotek terdekat melalui google maps dan ia berhasil menemukannl beberapa. Ia berjalan ke arah toko sesuai dengan petunjuk google map dan tak lama berselang ia sudah kembali dengan beberpa test pack di tangannya.
"Aku tak tahu mana yang baik, jadi, aku..., " ujar Mean. Ia tak menyelesaikan bicaranya sebab Plan mengambil salah satu dari tangannya dan berlari menuju ke kamar mandi.
Beberapa saat keheningan menimpa kedua orang itu. Di kamar mandi, perempuan itu dengan harap-harap cemas, mengangkat test pact dan melotot setelah beberapa menit. Jelas dua garis biru tertera pada sebuah bagian di sana. Sementara itu, di luar sang lelaki juga menunggu tak tenang. Ia berharap dua garis biru itu menampakkan dirinya pada permukaan test pack agar apa yang diinginkannya terjadi.
Plan keluar dari kamar mandi. Ia berjalan dengan ekspresi pada wajah yang tak bisa lagi digambarkan. Ia mendekati Mean dan memberikan test pack itu kepadanya, lalu berjalan ke arah ranjang berbaring. Mean menerimanya dan dengan cepat mengamatinya dan tersenyum lebar.
Ia menoleh ke arah Plan yang tengah berbaring menatap Mean yang tersenyum dan berjalan ke arahnya.
"Plan, kau hamil!" nada Mean penuh dengan kebahagiaan. Ia meraih tangan Plan dan menciumnya hangat.
"Ini akhir perjalanan kita, na!" ujar Plan sambil menatap Mean. Mean menganggukkan kepala.
"Kita menikah?" Mean bertanya dengan mantap.
"Kita masih kuliah," ujar Plan.
"Aku tak peduli. Kita akan segera menjadi orang tua. Kita akan melanjutkan kuliah setelah menikah dan membangun keluarga," ujar Mean lagi.
"Kau begitu yakin hubungan kita akan berhasil," ujar Plan sambil menatap Mean.
"Aku mencintaimu, Plan. Tidak apa-apa kau belum mencintaiku. Aku akan menunggu," ujar Mean lagi sambil tersenyum bahagia. Ia memeluk Plan.
"Mean," lirih Plan. Mereka masih pada posisi mereka
"Uhm," gumam Mean sambil melepaskan pelukan.
"Jangan berkhianat kepadaku dan jangan meninggalkan aku kalau kau sudah memilihku," bisik Plan.
"O, Baby. Aku janji aku tak akan pernah meninggalkanmu meski kau mengusirku dan tak lagi mencintaiku," ujar Mean sambil mengelus kepala Plan lembut dan perlahan. Plan menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Mereka berciuman lalu berpelukan.
Mereka memberitahu Perth dan Por sebab mereka akan membatalkan sistem Challenge dans selanjutnya menerima perjodohan mereka. Semuanya berbahagia.
Mereka kembali ke negara mereka. Lombok, Indonesia adalah tempat terakhir kunjungan mereka dalam sistem Challenge. Mean dan Plan menjadi salah satu pasangan yang gugur di antara pasangan lainnya yang pernah mencoba sistem itu.
Mereka kembali pada kehidupan normal mereka setelah mengurus semua hal pembatalan dan menikah secara sederhana. Setelah menikah, mereka tinggal di apartemen yang Mean beli dan melanjutkan kuliah.
Sudah lima tahun sejak pernikahan berlangsung. Suatu hari Neena datang kepada Mean dan mengharapkan agar Mean mau kembali kepadanya. Mean bersikap sangat dingin kepada perempuan yang pernah mencampakkannya ini dan menolaknya mentah-mentah. Ia bahkan menegaskan bahwa ia tak ingin berhubungan lagi dengan Neena dalam hidupnya.
Mean dan Pkan dikaruniai tiga anak dalam waktu lima tahun itu. Dua anak lelaki dan satu anak perempuan yang bernama, Dee, Tee, dan Kot. Mereka tinggal dengan tenang dan keduanya sudah jelas memiliki ikatan yang kuat seperti cinta mereka.
Satu kisah yang cukup berat tapi pada akhirnya mereka bisa bersama. Sekali lagi Mean dan Plan berakhir bahagia.
Tamat