BAGIAN TIGA PULUH TUJUH

22 5 0
                                    

Lara

"Arumi penyebab semuanya, Ayah. Arumi penyebab kecelakaan itu. Arumi yang membunuh papanya Lara juga Ibu. Arumi penyebab semuanya, Ayah," teriak Arumi histeris.

"Arumi, apa yang telah kamu lakukan sampai semua itu terjadi?" tanya Mama dengan wajah terkejut. Sementara Lara di pintu kamar, terbelalak mendengar teriakan pengakuan Arumi, bahwa dialah penyebab kecelakaan yang dialami papa Lara lima tahun yang lalu.

Arumi masih menangis histeris. Lara menyandarkan punggungnya pada dinding kamar. Tubuhnya serasa lemas dan kakinya tak lagi bisa menopang tubuhnya. Tuhan, apa rencanamu pada kami? Kenapa aku malah dijadikan satu keluarga dengan mereka yang merenggut Papa? benak Lara.

Arumi masih menangis tersedu-sedu. Ayah kebingungan. Mama terkejut. Lara memandangan semua itu dengan perasaan campur aduk. Ia sama sekali tak tahu mana yang harus ia tanggapi terlebih dahulu.

"Arumi, sudah. Jangan menangis lagi. Kamu juga tidak bermaksud demikian, kan?" kata Ayah.

"Arumi, kalau kamu menangis terus, Mama jadi kesulitan berpikir jernih," ujar Mama.

Tangis Arumi perlahan mereda. Sisa senggukannya yang terdengar. Tiba-tiba Mama yang tadinya berdiri, panik mencari kursi dan duduk.

"Mas, Mas, dadaku," kata Mama sambil memegangi dada kirinya.

"Kirana!" Ayah bangkit dan menghampiri Mama.

"Mas, tolong," rintih Mama.

"Lara, Arumi, Ayah akan membawa Mama ke rumah sakit dulu." kata Ayah. Ia segera mengambil dompet Mama dan kunci mobil.

"Mama," kata Lara saat Lara menghampiri Mama. Arumi pun berhenti menangis dan terlihat panik. Mama meraih tangan Lara, meminta bantuan Lara agar ia bisa bangkit.

Perlahan Lara membawa Mama ke mobil. Ayah telah menunggu di sana. Bersama Ayah, Lara membantu Mama masuk ke kursi penumpang di belakang Ayah.

"Kalian di rumah dulu. Nanti Ayah kabari perkembangannya," kata Ayah. Lara mengangguk mengiyakan. Tak lama kemudian, Ayah menyalakan mobil dan berangkat.

Setelah mobil Ayah tak terlihat oleh pandangan mata, Lara merasa kakinya sangat lemas. Ia mencari dinding untuk bersandar dan tak lama, ia jatuh terduduk

"Lara!" pekik Arumi menghampiri Lara. "Ayo masuk dulu," ajak Arumi. Lara berusaha bangkit dengan bantuan Arumi. Ia menuju ruang tamu dan susuk di kursi tamu.

"Arumi, bagaimana dengan Mama?" tanya Lara khawatir. Arumi diam saja.

"Aku takut, Rum," kata Lara.

Arumi berdiri dan menghilang ke dalam rumah. Tak lama kemudian, Arumi kembali dengan segelas air putih.

"Lara, minum dulu," kata Arumi seraya menyodorkan air itu.

Arumi memosisikan diri di sebelah Lara dan membantu Lara minum air putih. Perlahan, Lara meneguk air putih yang rasanya pahit di mulut Lara. Setelah tiga tegukan, Lara menjauhkan air itu dari dirinya. Arumi meletakkan gelas air putih Lara di atas meja.

Lara menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Ia merasa ingin menangis, namun seperti ada yang menahan air matanya. Lara sangat ingin menangis histeris seperti Arumi tadi, tetapi ia tak dapat melakukannya.

"Arumi, aku tidak mau kehilangan Mama," kata Lara.

"Tidak, kita tidak akan kehilangan Mama. Mama akan baik-baik saja," balas Arumi.

Lara mengambil bantal di kursi tamu. Ia membenamkan wajahnya di bantal itu, ia benar-benar ingin menangis.

"Lara, menangislah! Jangan ditahan, ayo menangis," kata Arumi lembut sambil mengusap-usap punggung Lara.

Lara mengangkat wajahnya. Sedetik kemudian ia berteriak, "aaaaaaaaaaaaaarggghhhhh!"

"Bagus! Bagus begitu," kata Arumi. Tak lama kemudian setetes air mata jatuuh ke pipi Lara.

Lara menghapus air mata itu. kemudian bulir-bulir air mata lainnya mulai menyusul. Arumi segera menyerahkan sekotak tisu kepada Lara sambil membiarkannya menangis.

"Aku takut, Arumi. Aku takut," kata Lara sambil menangis. Makin lama akhirnya tangisan Lara makin kencang.

"Aku tahu," balas Arumi pendek.

Potongan-potongan adegan muncul di hadapan Lara. Potongan adegan dari kejadian lima tahun yang lalu. Adegan saat Lara harus ke rumah sakit karena Papa mengalami kecelakaan, adegan saat Lara harus melihat Papa yang sedang dirawat di unit perawatan intensif karena kritis, adegan saat Lara akhirnya dapat menemui Papa karena kondisi Papa membaik, adegan saat Papa memegang tangan Lara untuk pertama kali setelah kecelakaan terjadi, sekaligus untuk terakhir kalinya, dan potongan-potongan adegan hidupnya yang lain.semua silih berganti tayang di hadapan mata Lara.

Ponsel pintar Arumi berdering. Arumi mengambil ponsel itu dari saku piyamanya. Nama "Ayah" ada di layar ponsel Arumi.

"Halo, Ayah?" kata Arumi saat menyalakan ponselnya.

"Ada, di sebelah Arumi. Mungkin dia nggak pegang hape," kata Arumi lagi. "Oke," lanjutnya.

"Nih, Ayah mau bicara sama kamu, Ra," ujar Arumi sembari menyodorkan ponselnya. Lara terdiam kemudian ingat bahwa ia meninggalkan ponselnya di kamar. Mungkin itu sebabnya Ayah menelepon Arumi.

"Iya, Ayah?" jawab Lara.

"Mama sudah ditangani oleh dokter. Kata dokter, kita sudah bagus, cepat tanggap membawa Mama ke IGD sehingga penanganan untuk Mama tidak terlambat. Sekarang Mama masih di ICU, tapi kondisinya tidak mengkhawatirkan. Dokter hanya ingin melihat perkembangan Mama dengan insentif," jelas Ayah. Raut kelegaan mulai merona di wajah Lara

"Mama benar-benar tidak apa-apa, Ayah?" tanya Lara khawatir.

"Um... sebenarnya, sih... begini saja, kalian siap-siap dulu. Tolong siapkan pakaian dan perlengkapan Mama. Nanti Ayah akan kabari lagi, kalian berdua ke rumah sakit naik taksi, ya. Bawakan perlengkapan Mama. Tapi nanti, kalau semua sudah jelas, ya. Ayah menelepon hanya mau ngasih tahu ke Lara dan Arumi, kalau Mama sudah ditangani tim dokter dengan tepat waktu," kata Ayah.

"Iya, Ayah," jawab Lara tak tahu harus membalas apa. Ia menyerahkan ponsel itu kepada Arumi.

"Apa kata Ayah?" tanya Arumi.

"Kita disuruh siap-siap dan menyiapkan perlengkapan Mama terus nyusul ke rumah sakit. Tapi Ayah nyuruh kita nunggu instruksi lebih lanjut," jelas Lara.

"Oh, oke. Sini aku bantu kamu ke kamar. Kamu istirahat di kamar saja, ya. Tiduran. Aku mau mandi dulu, habis itu kita nyiapin perlengkapan Mama," kata Arumi. Lara mengangguk.

Arumi membantu Lara berdiri. Tak mudah karena kaki Lara masih terasa lemas. Lara berpegangan erat pada lengan Arumi yang memapahnya hingga ke kamar dan membantunya duduk di tempat tidurnya. Lara memilih berbaring karena tubuhnya benar-benar terasa lemas.

"Aku mandi dulu, ya. Habis itu kita siap-siap," kata Arumi yang dibalas anggukan Lara.

Arumi meninggalkan kamar dengan Lara sendirian di sana. Lara yang masih memandang langit-langit kamarnya dengan pandangan kekhawatiran seakan-akan langit-langin kamar itu akan runtuh setiap saat, tapi Lara tak dapat menghindari reruntuhannya. Segala kekhawatiran muncul di benak Lara.

Bagaimana dengan nasibku jika ada apa-apa sama Mama? Apakah aku akan tinggal bersama Eyang? Apakah Arumi dan Ayah masih mau menerimaku dalam keluarga mereka? pikiran demi pikiran aneh silih berganti menguasai otak Lara. Itu semua karena ia trauma akan kehilangan orang tuanya. Kejadian lima tahun lalu, masih meninggalkan trauma yang dalam bagi Lara.

-bersambung

Karena Kita adalah KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang