Hoofdstuk Een

9 1 0
                                    

MS Christiaan Huygens 1929

Seorang pria berusaha mengabaikan mual dan pening yang diraskannya selama perjalanan ini. 'Sebentar lagi... sebentar lagi. saya akan kembali, kembali pada iboek' ucapnya dalam hati untuk menyemangati tubuhnya yang tak mampu menahan kerasnya hidup selama di kapal.

"Apa yang kau pikirkan hingga memesan kapal kelas III?" dengus seorang wanita muda yang menatapnya dengan sebal.

"Dapatkah kau menutup mulut kau yang menyebalkan itu, Anneta?" ujar pria itu pada gadis yang dipanggilan Anneta. "Ocehanmu hanya membuatku semakin buruk"

"Jan, mulut ini mulut saya. Suara ini suara saya. Kau tak punya hak unutk melarangku dengan tubuhku" balas Anneta sewot.

Jan merapalkan cacian pada Anneta dalam bentuk gumaman yang dia yakin tak akan didengar oleh gadis itu. "Tak ada yang menyuruh kau untuk ikut denganku kembali ke Hindia-Belanda"

"Tak ada yang menyuruh saya untuk ikut dengan kau, Jan. Saya mengikuti kau atas keinginan saya sendiri" gerutu Anneta" Yang kau carikan itu juga iboek saya juga, Jan"

Jika Anneta sudah berkata begitu, Jan tidak dapat berbuat banyak. Jan hanya menatap adiknya itu dengan sedikit prihatin. Bersamanya menuju Hindia-Belanda menggunakan kapal laut MS Christiaan Huygens selama berhari-hari bukan sesuatu yang menyenangkan. Terlebih demi menghemat dana, Jan terpaksa menggunakan tiket kelas III.

"Kau menyesal ikut dengan saya pulang ke Hindia-Belanda?" tanya Jan menatap Anneta dengan seksama.

Anneta memutar matanya dengan malas. "Kau bilang menyesal Jan? Jangan bercanda. Perjalanan kita sudah sejauh ini mana mungkin ada kesempatan untuk saya menyesal. Lagi pula dibanding saya tinggal di sana bersama istri dan anak-anak Papa yang menyebalkan itu, lebih baik saya kembali ke Hindia-Belanda" Omel gadis itu sembari duduk di kasur Jan. "Yang saya khawatirkan itu keadaan kau, Jan."

"Jangan terlalu hirau dengan keadaank saya, Anneta. Saya baik-baik saja" ucap Jan mencoba menghentikan ocehana bernada khawatiran dari adiknya tersebut. "Hanya saja, saya sedikit mabuk laut"

"Baiklah, Jan. Saatnya kau tidur. Tak lama lagi, kita akan tiba di Hindia-Belanda" Kata Anneta sambil merebahkan badannya di samping Jan. Tak lama suara dengkuran halus terdengar. Anntea telah terlelap dalam tidurnya sedangkan Jan masih menahan rasa mual sambil menatap langit-langit kamar yang di tempatinya.

Deburan ombak yang menghatam badan kapal, menemaninya dalam kesendirian malam. Ingatannya memutar kembali kisah hidupnya.

Kata sebagian orang, Jan dan Anneta termasuk anak Indo-Eropa yang beruntung dari sekian banyak peranakan ras Asia-Kaukasian lainnya karena Sang Papa mengakui keberadaan mereka sebagai anak kandungnya. Selain itu, Sang Papa memberikan kepastian hukum atas diri mereka melalui nama keluarga yang mereka sandang. Jan Sebastian Marcus van Hendrik dan Anneta Margareth Pauline van Hendrik.

Namun yang keberuntungan yang mereka katakan, menjadi petaka besar untuk mereka berdua. Di usia mereka yang masih muda, mereka harus terpisah dari iboek mereka yang merupakan warga kelas tiga di negara koloni ini. Menjelang usia sekolah, Jan dibawa oleh keluarga van Hendrik ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya, begitupula Anetta. Sejak itu pula keduanya tidak pernah melihat wajah iboek, perempuanya yang bertaruh nyawa agar mereka dapat melihat dunia.

***

Malam semakin larut, namun Jan tetap tidak dapat memejamkan matanya unutk beristirahat. Sedangkan Anneta gadis itu tidur seperti biasa. Lasak. Berputar ke sana ke mari mengikuti keinginan hatinya. Dalam hati, Jan berharap gadis itu tidak menendang tubuhnya yang membuatnya harus mencium lantai kamar yang dingin ataupun membuat bagian tubuhnya yang berhargai kesakitan. Jika itu terjadi Jan bersumpah akan membuat gadis 15 tahun itu menyesal untuk mengikutinya.

Malam ini laut sedikit bergejolak. Kru kapal telah mengkatakan kemungkinan mereka menghadapi badai yang biasa terjadi di Samudera Hindia. Tentu keadaan yang tidak menguntungkan untuk laki-laki itu. Mualnya semakin menjadi namun tak ada lagi isi perut yang dapat dia keluarkan. Rasa pening semakin menguasai tubuhnya. 'Sial berapa lama lagi saya harus bertahan?' umpatnya kesal.

Jika saja... jika saja...

Jika saja keluarga Papa sedikit memiliki hati nurani untuknya dan Anneta...

Jika saja istri papa berserta saudara-saudaranya menanggapnya dan Anneta bagian dari mereka...

Tentu saja Jan tidak akan berpikir untuk melakukan perjalanan ini. Mungkin dia memilih untuk melanjutkan usaha keluarganya.

Bagi Jan perjalanan menuju Hindia-Belanda merupakan gerbang awal pria itu meraih kebebasannya sebagai manusia. Selama ini, pria itu terbelenggu dengan segala aturan yang diberlakukan oleh keluarga besar Papa. Hidup di Belanda sama artinya pria itu harus menjaga nama baik keluarga van Hendrik. Segala tindak tanduknya menjadi sorotan setiap anggota keluarga van Hendrik. Tak ada pujian jika dia melakukan sesuatu yang benar sedangkan hinaan akan diterimanya jika melakukan sesuatu yang salah. Hinaan itu semakin terasa berlipat ganda dengan statusnya sebagai anak yang lahir bukan dari istri sah Papa melainkan seorang babu Hindia yang ditemui Papa ketika bertugas di koloni itu.

Opa Karel, salah satu orang tua yang dihormati di keluarga van Hendrik pernah berkata, "Jika bukan karena benih keturunan van Hendrik yang tercecer di rahim babu itu, Sudah pasti aku tak sudi membiarkan mereka untuk tinggal di sini."

"Kau dan adikmu, sudah seharusnya belajar bagaimana menjadi seorang Belanda," titahnya pada Jan ketika bocah laki-laki itu menginjakkan kakinya di kediaman keluarga besar van Hendrik.

Hal itu tak terjadi padanya melainkan pada adiknya, Anneta. Untuk mendapat pengakuan, Anneta berusaha keras menjadi seseorang gadis Belanda yang anggun. Hal yang bertolak belakang dengan karakaternya yang tomboy. Tak ingin gagal untuk mendapatkan pria yang baik, Mama menyekolahkan Anneta di sekolah khusus putri di pinggiran kota Uttrech di umur 12 tahun.

Mengikuti Jan melakukan perjalanan ke Hindia-Belanda merupakan keputusannya pribadi wanita muda itu. Bagi Anneta, mengikuti Jan ke Hindia-Belanda dapat membebaskan gadis itu dari tuntutan menjadi wanita bermartabat dari Mama serta saudari-saudarinya. Memiliki saudari-saudari yang menikah dengan keluarga terhormat di Eropa, membuat keluarga menuntut hal yang sama pada gadis muda itu. Sesuatu yang tidak ingin dia jalani. Terlebih beberapa bulan sebelum kepergiannya, pernikahannya dengan salah satu anak anggota parlemen Belanda telah diatur. Anneta tidak menginginkan pernikahan yang dipaksakan tersebut. Apalagi jika itu berdasarkan kerjasama perdagangan ataupun demi menjaga nama baik.

***

ZoekopdrachtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang