Tandjoeng Priok 1929
Jan menatap kegiatan hiruk pikuk keramaian di depannya. Dia dan Anneta akhirnya menginjakan kaki di tanah kelahiran mereka, Hindia-Belanda.
"Kau tahu Jan, aku tidak dapat mengingat dengan baik tentang tempat ini. Semua terasa sesuatu yang baru untukku" komentar Anneta ketika mereka menginjakan kaki di Pelabuhan Tanjung Priuk.
Tentu gadis kecil itu tidak dapt mengingat apapun mengenai apapun terkait kehidupannya ketika di Hindia-Belanda. Usianya begitu muda ketika harus dipisahkan dari iboek. Sedangkan Jan, pria itu berusia sekitar tujuh atau delapan tahun ketika keluarga Papa membawanya pergi. Ingatkan yang sangat menyakitkan untuk dia kenang ketika tubuh kecilnya ditarik paksa dari pelukan iboek. Sedangkan Anneta direnggut dari gendongan iboek serta tubuh iboek terhuyung hingga mengantam tanah. Masih jelas diingatannya teriakan ketidakrelaan dari iboek ketika dia dan Anneta dibawa. Dengan tubuh ringkihnya, iboek berlari mengejar mobil VW hingga tubuh itu tersungkur di antara kubangan lumpur. Jan hanya bisa meraung melihat tubuh iboek yang berbalur lumpur. Jan tak dapat melihat air mata iboek yang tersamarkan oleh hujan deras yang turun.
Terakhir kali pria itu melihat wajah teduh iboek
"Jan, kemana kita harus mencari iboek?" Pertanyaan Anneta menarik Jan kembali ke realitas. Berada di salah satu pelabuhan tersibuk di Hindia-Belanda sambil menenteng tas besar.
"Ternyata Hindia-Belanda begitu lembab dan panas. Tak seperti yang saya duga selama ini" gurutu Anneta yang entah ditujukan pada siapa. Mungkin lebih tepat ditujukan pada dirinya sendiri yang sedang beradaptasi dengan lingkungan.
Harusnya perjalanan menuju Hindia-Belanda dari Belanda dapat membantu gadis itu untuk beradaptasi dengan lingkungan. Namun nyata, gadis kecil pemarah itu masih menggerutu terkait perubahan cuaca yang dirasakannya.
"Bandoeng" jawab Jan datar. Bandoeng, Satu-satu kota yang selalu diingatnya dengan baik walaupun itu sekedar nama. Tak banyak yang dapat diingat Jan dari Bandoeng, selain sebuah akta yang mencatut nama kota itu sebagai tempat kelahiran. Entah alasan apa yang membuat pria itu yakin bahwa dia akan bertemu iboek di Kota itu.
"Apa? Bandoeng? Apakah itu nama suatu daerah, Jan? Ataukah..."
"Jika kau terus mengoceh seperti ini, saya akan meninggalkan kau di tempat ini, Anneta Margareth Pauline," potong Jan sambil memberikan tas miliknya pada seorang jongos. Pria itu pusing mendengar tiap ocehan yang keluar dari mulut adiknya yang cerewet ini.
"Kau berani melakukan itu pada saya?" tanya Anneta terbelalak tak percaya Jan akan tega melakukan itu padanya.
"Tentu saya berani melakukan itu!" jawab Jan tegas. "Tak ada Papa yang akan menghukum saya, ataupun Opa Erik yang akan mencermahi saya mengenai etika berhadapan dengan wanita terhomat."
"Kita di Hindia-Belanda, Anneta!" lanjut Jan memberi penekanan di kata 'Hindia-Belanda'.
"Saya tahu itu, Jan!"
"Ketika kau memilih mengikuti saya melakukan perjalanan ke Hindia-Belanda, secara tidak langsung kau memilihku sebagai walimu, pengganti Papa. Oleh karena itu, Juffrow Anneta Margareth Pauline van Hendrik, tolong patuhi setiap pernyataan dari saya " Jan berjalan meninggalkan Anneta menuju kendaraan yang akan mengantarkannya ke tempat selanjutnya.
Anneta, mengikuti langkah saudara laki-lakinya dengan perasaan dongkol setelah menyerahkan barang bawaannya pada jongos yang dari tadi menunggu gadis itu menyerahkan barang bawaan. 'Dasar Jan, kau menyebalkan!'
***
Jan menatap Anneta yang terlihat antusias dengan perjalan mereka dari Batavia menuju Bandoeng.
"Jan, alangkah indahnya pemandangan di temppat ini" seru Anneta yang menatap pemandangan indah di luar kereta.
"Jan, itu apa?"
"Apa yang mereka sedang mereka lakukan, Jan?" Masih banyak pertanyaan lainnnya dilontarkan gadis itu pada Jan yang membuatnya memutar bola matanya dengan malas. "Gadis kecil yang benar-benar mengganggu!" gerutu Jan melempar novel Sherlock Holmes yang dibacanya.
"Hei... Tuan Jan yang terhormat, saya merasa tidak mengganggu Anda! Dari tadi saya memperhatikan pemandangan indah di luar kereta. Benar kata guru seni saya, Hindia-Belanda menjadi inspirasi pelukis eropa sehingga menciptakan aliran mooi-indisch!" ujar Anneta tidak terima dikatakan sebagai pengganggu oleh Jna.
"Secara fisik kau tidak mengganggu, Anneta! Namun suaramu yang berisik itu mengganggu ketenanganku!"
Anneta menatap novel yang dilemparkan Jan. Dia terbelalak mendapati bacaan yang dibaca saudara laki-lakinya itu. "Kau masih suka membaca serial misteri Sherlock Holmes?"
"Hmm"
"Apakah kau masih berpikir menjadi penulis cerita misteri seperti Sir Arthur Conan Doyle?" tanya Anneta sambil mengangkat serial misteri yang tadi dibaca oleh saudaranya itu.
"Saya harap di Hindia-Belanda, cita-cita saya dapat terlaksana"
"Semoga, Jan! Setidaknya di tanah ini, kita tidak perlu terbebani dengan nama besar yang kita sandang." Ujar gadis itu dengan optimis. "Ayolah ini yang kita lakukan seperti imigran-imigran lain, Jan! Mencari penghidupan yang lebih baik di tanah seberang. Kau tau berapa banyak orang-orang eropa yang meninggalkan daratan itu menuju Amerika atau Hindia-Belanda demi penghidupan yang lebih baik."
Jan menatap keoptimisan Anneta dalam perjalanan ini. Mungkin hingga saat ini, halangan rintang belum dirasakan gadis itu dalam perjalanan menuju Hindia-Belanda sehingga rasa optimis masih menyelimuti dirinya. Namun hal berbeda yang diraskan Jan, optimistis laki-laki itu mulai tergerus dengan beratnya perjalanan yang dialaminya agar tiba di tanah ini.
Membantu Anneta melarikan diri dari asrama, menyuap petugas imigrasi sehingga mereka diperbolehkan untuk mengikuti pelayaran MS Christiaan Huygens menuju Hindia-Belanda, adaptasi dirinya yang buruk terhadap lingkungan lembab dan panas selama perjalanan ataupun ketika menginjakan kaki di tanah Hinida serta mabuk laut yang dideritanya selama perjalanan, menyebabkan pria itu lebih realistis dalm menyikapi perjalanan mereka ini
"Semoga Anneta... Semoga hidup kita lebih baik di sini!" Sebuah pengaminan berbalut pengharapan yang diucapkan pria itu sambil memeluk satu-satunya keluarga yang ia punya saat ini.
"Saya harap demikian, Jan! Saya berharap kau lebih banyak memamerkan senyum kau yang menawan itu. Ik hou van je, broeder" Anneta membalas pelukan Jan.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Zoekopdracht
Fiction HistoriqueCerita ini mengangkat latar Kota Bandung pada tahun 1920-an. Setelah terpisah sekian belas tahun akhirnya Jan berhasil kembali ke tanah kelahirannya. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk kembali merasakan pelukan hangat seorang wanita. Hanya saja menca...