Waktu berjalan begitu cepat, tanpa terasa sudah seminggu lebih Jan dan Anneta tinggal di Bandoeng. Banyak hal yang mereka lakukan selama seminggu ini. Beberapa waktu ke depan Jan dan Anneta mulai disibukan oleh kegiatan barunya di Bandoeng. Anneta akan menjadi siswa di Lyceum Dago untuk melanjutkan sekolahnya yang sempat terhenti sedangkan Jan akan memulai pekerjaan di sebuah perusahaan ekspor-impor.
"Bagaimana perasaan kau hari ini? Mengingat hari ini kau akan memulai kegiatan belajar di Lyceum?" Tanya Karel pada Anneta.
Hari ini, Karel menemani Jan mengantarkan Anneta menuju Lyceum Dago untuk memulai hari pertama sekolah.
"Biasa saja, tidak ada yang istimewa" jawab Anneta malas.
Karel tertawa renyah sedangkan Jan mendengus kesal mendengar jawab gadis itu.
"Saya heran pada kau, Jan? Mengapa kau bersikeras menyekolahkan saya di Lyceum Dago? Mengapa bukan di HBS Belitong? Saya rasa dari rumah menuju HBS Belitong lebih dekat dibandingkan Lyceum Dago. Dan tentunya biaya tak semahal menyekolahkan saya di Lyceum, bukan" Anneta mengeluarkan uneg-unegnya yang selama ini ditahannya sejak sang kakak memutuskan dia bersekolah di Lyceum Dago.
"Tentu saja saya menginginkan yang terbaik untuk saudari saya. Maka dari itu kau harus bersekolah di Lyceum Dago bukan HBS!" tukas Jan tak sabaran. Sepanjang jalan menuju Lyceum Dago, Karel hanya tersenyum melihat berdebatan sengit antara kedua saudara tersebut. Sang kakak ingin berbuat sesuatu yang terbaik untuk adiknya sedangkan sang adik tak ingin kakaknya terbebani olehnya.
"Saya rasa mutu HBS Belitong sama baiknya dengan Lyceum Dago, Jan"
"Namun kesempatan kau untuk melanjutkan sekolah ke univeritas terbaik tak sebesar jika kau bersekolah di Lyceum."
Aneta mendelik curiga pada Jan. "Jangan katakan kau akan mengirim saya kembali ke Belanda setelah lulus dari Lyceum" tuduhnya dengan nada tinggi.
"Tentu saja itu akan saya lakukan, jika itu yang terbaik untuk kau, Anneta"
Gadis itu naik pitam.
"Kau sungguh tega pada saya, Jan! Aku tidak ingin kembali ke rumah itu! Tidak... tidak.... Dan tidak akan pernah!" raung Anneta yang mulai mengeluarkan air matanya.
Anneta menangis tersedu-sedu. Jan menghela nafas berat. Sedangkan Karel hanya bisa diam mendengarkan perdebatan yang berujung pada pertengkaran antar saudara tersebut. Tentu saja pria itu tau maslaah yang dihadapi kedua saudara tersebut, hanya saja dia tidak ingin ikut campur.
"Karel, bisakah kau menghentikan laju kendaraanmu sesaat? Aku butuh berbicara dengan Anneta sebentar" pinta Jan pada Karel.
Pria itu menghentikan sejenak lanju kendaraannya di dekat IjzermanPark dan meninggalkan Jan dan Anneta di dalam mobil.
"Anneta" ujar Jan lembut pada adiknya yang masih menangis tersedu-sedu. Perlahan Jan memeluk Anneta.
"Kau tau, kau satu-satunya keluarga yang saya miliki. Dan saya selalu menginginkan yang terbaik untuk kau Entah itu pendidikan, entah itu mengenai pasangan hidup kau kelak. Semua yang terbaik ingin saya berikan pada kau, Ann."
Anneta mengangguk pelan. Tentu kata-kata itu seirng didengarnya dari Jan dari dulu hingga saat ini.
"Jika suatu saat, hal yang terbaik itu kau kembali ke Belanda unutk melanjutkan pendidikan, tentu saja saya harus mempersiapkannya. Saya juga tak ingin jika kau kembali ke sana, kau akan tinggal di rumah itu lagi. Saya akan mencarikan tempat tinggal yang layak dan pantas untuk kau tempati. Saya berjanji untuk itu. Kau tak akan saya kembalikan ke rumah itu." Setelah penjelasan Jan, Anneta memeluk pria itu dengan sangat erat. Anneta sangat tahu bahwa saudara laki-lakinya rela mengorbankan apa saja asalkan dia mendapatkan hal terbaik.
Dari luar mobil sepasang mata menatap haru pada kedua saudara tersebut.
***
Hari pertama Anneta bersekolah di Lyceum dapat dikatakan sebagai sesuatu hal yang menyenangkan. Gadis itu dapat membaur dan mendapatkan beberapa teman di hari pertamanya. Hanya saja yang sedikit mengganjal adalah pada awal-awal, ketika gurunya memperkenalkannya.
SIswa pindahan umum diterima oleh Lyceum Dago. Mereka berasal dari berbagai daerah di Hindia-Belanda. Tentu alasannya adalah agar mendapatkan pendidikan yang memudahkan mereka untuk melanjutkan pendidikan ke universitas terbaik di Eropa. Tak jarang beberapa siswa HBS Belitong yang berada di tahun akhir memutuskan untuk pindah ke Lyceum Dago. Dapatkan dikatakan Lyceum merupakan jalur sutra menuju universitas terbaik. Itu alasan sebagian besar siswa pindahan. Namun keberadaan gadis itu di Lyceum sedikit memberi kejutan. Mungkin kasusnya sedikit menarik. Dia salah satu kasus unik yaitu siswa pindahan dari Belanda ketika siswa-siswa yang bersekolah di sana memimpikan meraih pendidikan di Eropa.
Anneta juga tergolong siswa yang tercerdas. Mungkin karena alasan itu pula, banyak yang tertarik untuk berteman dengannya. Tak jarang beberapa temannya mengundangnya untuk belajar bersama di rumah mereka. Gadis itu pun tidak keberatan. Diundang intuk belajar bersama sama artinya dia mendapat tambahan asupan gizi dengan cita rasa makanan yang beraneka ragam.
Kebanyakan dari teman-temannya tinggal di sekitar Dago, dengan rumah-rumah dengan ukuran yang besar serta halaman yang luas. Mirip dengan farmhouse miliknya di pinggiran Uttrech. Hanya saja halamannya tidak sebesar farmhouse milik keluarganya yang bisa mencapai puluhan hektar. Mendekati pusat kota, ukuran rumah dan ukurann rumah yang dimiliki keturunan eropa semakin mengecil. Hanya saja itu masih termasuk besar bila dibandingkan di Amsterdam. Kebanyakan rumah-rumah di kota itu menganut sistem flat. Bangunan besar yag dihuni oleh beberapa keluarga namun masih memiliki hubungan keluarga. Seperti keluarganya, memilik sebuah sebuah rumah besar di distrik Jordaan namun dihuni oleh beberapa pamannya yang memiliki kegiatan di Amsterdam. Rumah tersebut juga tidak memiliki halaman yang luas. Ketika Annet membuka pintu, langsung di sambut oleh ramainya lalu lalang orang di Rozengracht.
"Jan kau tau, di sini saya sering melihat rumah berukuran besar dengan halaman yang luas. Saya kira ini hal yang lumrah di sini" kata Anneta mengemukan isi pikirannya pada Jan.
"Hmm" Jan menanggapi perkataan Anneta. Entah apayang dimaksud oleh pria itu. Yang jelas pria itu sedang sibuk dengan kertas dan mesin tik-nya.
"Kau kembali tidak mendengarkanku Jan?" Tanya Anneta menyadari Jan tidak memberikan respon seperti yang diharapkannya. Dia menoleh dan mendapati kakaknya sedang mengetik sesuatu. Merasa diacuhkan, dia melepar boneka beruang coklat pada Jan dan mengenai puncak hidup pria itu.
"Anneta, jangan menggangguku" tegur Jan tidak suka dengan gangguan yang diberikan adik semata wayangnya tersebut. "Apakah kau tidak melihat aku sedang sibuk mengetik dengan mesin tik?"
"Ya... aku melihat. Tapi setidaknya kau dapat memberi tanggapakan atas pertanyaanku Jan" ujar gadis itu cemberut.
Jan mendesah pelan. Astaga, adiknya benar-benar menyusahkan apabila pemikirannya tidak ditanggapi.
"Di sini memiliki rumah seperti dengan halaman seperti Huis ten Bosch tentu saja bisa dilakukan. Di sini jumlah penduduknya tak sepadat Amsterdam. Tanahnya masih sangat luas. Sedangkan Amsterdam, kota itu terlalu kecil dan rentan terhadap pasang air laut."
"Terus mengapa kau tidak menyewa rumah-rumah dengan halaman luas seperti rumah temanku tapi malah kau menyewa ruangan di atas toko-toko jalan Braga ini?" Anntea melontarkan pertanyaan tak terduga.
Jan memutar matanya dengan malas. "Rumah sebesar ini saja saya terpaksa menggunakan jasa Bik Mira untuk membantumu merawat rumah ini. Bagaimana jika rumahnya lebih besar dibanding ini? Kau pasti tau jawabannya, gadis nakal."
Jan melihat jam dinding yang telah menujukan pukul 10 malam. Seharusnya gadis yang berada di depannya sudah berjalan-jalan di alam mimpinya. "Sudah saatnya kau tidur. Bukankah besok kau harus sekolah?"
Anneta mengangguk. Gadis itu berlari mendekati Jan lalu mengecup pipinya. "Welterusten Jan! Heb een fijne droom"
Laki-laki itu tersenyum lalu membalas dengan memberi sebuah kecupan singkat pada kening Anneta. "Goedenacht het kleine meisje! Heb een fijne droom. ik hou van jou!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zoekopdracht
Tiểu thuyết Lịch sửCerita ini mengangkat latar Kota Bandung pada tahun 1920-an. Setelah terpisah sekian belas tahun akhirnya Jan berhasil kembali ke tanah kelahirannya. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk kembali merasakan pelukan hangat seorang wanita. Hanya saja menca...