Jan membelai lembut tubuh seorang di yang di peluknya. Dari tadi pria itu memperhatikan lekuk indah tubuh itu. Pikirannya melayang pada hal yang dilakukannya pada sosok yang meringkuk nyaman dalam pelukannya. Ini bukan kali pertama dia menikmati kenikmatan dan keindahan ciptaan Tuhan dari jenisnya.
Tak salah dalam dalam kitab kejadian yang menerangkan mengenai sejarah dunia dan asal usul manusia, disebutkan Eve merupakan sosok wanita yang ciptakann untuk menenmani Adam. Sosok yang membuat imam Adam terguncang. Tak hanya karena sensualitasnya juga karena kemampuannya merayu Adam hingga akhirnya menuruti keinginan Eve untuk memakan buah terlarang dan menyebabkan mereka terusir dari Surga. Sosok Eve, sang penggoda Adam ditemukan Jan dalam diri Malia.
Hanya ucapan lirihnya memanggil nama Jan serta tatapan sayunya membuat kewarasan Jan menghilang seketika. Sesuatu yang harusnya dilakukannya bersama istrinya kelak, dilakukan dengan penuh suka cita dengan Malia. Tak hanya sekali melainkan berkali-kali hingga lelah menghinggapi mereka dan mengantarkan mereka pada mimpi yang indah.
Pagi ini ketika mendapati dirinya memeluk erat tubuh polos Malia, rasa yang tadi malam ia rasakan kembali muncul. Rasanya berkali-kali lipat ketika Jan menatap tubuh polos wanita itu. Sesekali dia mencium beberapa bagian tubuh yang menyita perhatinannya sejak malam tadi untuk membangunkan wanita yang masih tertidur pulas. Terakhir, Jan mencium lembut bibir wanita dalam pelukannya.
"Hmm... kau sudah bangun rupanya" tanya wanita dengan malas.
"Sedari tadi, Malia" jawab Jan merapikan beberapa helai rambut menutupi wajah wanita itu yang membuatnya sedikit terganggu. Malia meringsek masuk lebih dalam di pelukan Jan.
"Aku sangat malas untuk membuka mata" ujarnya sambil mengendus-endus dada Jan yang polos. Tak lama, jadi itu menjilat bagian sensitif yang membuat Jan mengerang.
"Ma..lia..." ujar Jan yang mulai kesulitan mengendalikan dirinya.
"Hmm..." balas wanita itu tanpa menghentikan apa yang dilakukannya.
Tak lama, Malia membalik keadaan. Sekarang wanita itu berada di atas Jan dan memimpiin permainan yang mengantarkan mereka berdua pada surga dunia.
***
"Jan..."
"Hmm..."
"Kenapa kau diam saja?" tanya Malia penasaran. Setelah pergumulan mereka, Jan hanya terdiam sambil memeluk tubuh.
"Saya cukup bingung dengan semua ini, Saya..."
"Ini keinginanku, Jan. Tak perlu memikirkan harus membayarku atau apapun. Kita melakukan ingin karena kita menuntaskan kebutuhan, tidak lebih "
"Tak perlu khawatir"
"Malia"
"Ya?"
"Sejak kapan kau melakukan 'itu'?"
"Ketika aku berusia 18 tahun. Ketika itu aku memutuskan keluar dari rumah. Aku membutuhkan uang untuk bertahan hidup serta membiayai jabang bayiku"
"Jabang bayi"
Malia menghela nafas berat. Mata wanita itu menerawang mengingat kembali masa-masia itu. "Pertama kali aku melakukannya dengan kekasihku, seorang pribumi. Dia salah seorang anak perkebunan di mana pamanku menjadi administraturnya. Sialnya, yang kami lakukan menghasilkan sesuatu. Lebih sial lagi bagiku, pria itu terlalu pengecut untuk menentukan langkah yang harus kami jalani selanjutnya."
Malia menggeliat mencari posisi nyaman dalam pelukan Jan yang mulai terasa mengganggu. Dia memilih untuk persandar dengan nyaman di dada Jan sambil menyembunyikan mukanya. "Ketika aku merasa jabang bayi itu milikku serta aku harus melakukan sesuatu untuk melindunginya dari Paman dan bibiku murka. Aku memutuskan keluar rumah di Kawasan perkebunan di selatan Bandung. Keluar dari rumah bukan sesuatu hal yang mudah untuk gadis 18 tahun tanpa punya keterampilan. Hanya tubuhku yang dapat kuandalkan. Selanjutnya kau tau apa yang kulakukan."
"Jabang bayi kau?"
"Tak lama setelah aku melakukan pekerjaan itu, dia pergi." Jawab Malia. Namun kali ini, wanita itu menatap kosong dinding kamar hotel. Hal yang tak luput dari perhatian Jan. Menceritakan kehidupannya yang hamil di luar nikah oleh seorang pribumi cukup berat namun Malia terlihat santai sambil sesekali memancing birahi Jan.
Ketika dia membahas jabang bayi-nya yang pergi, kehampaan tanpa jelas di raut wajahnya. Aura kehilangan masih terasa hingga saat ini.
"Malia, saya minta maaf..."
"Tak perlu meminta maaf, Jan. Itu bukan salahmu" potong Malia. Wanita itu mengubah posisinya. Dari berbaring berubah menduduki tubuh Jan yang tidur terlentang. Posisi seperti ini, mereka saling menatap. Tak ada yang bisa disembunyikan di antara mereka. "Mungkin itu yang terbaik untuk dia. Punya ibu sepertiku mungkin bukan sesuatu yang baik untuknya."
Jan merengkuh wajah Malia, lalu membawanya dalam pelukkannya. Perasaan ingin melindungi perempuan ini, tiba-tiba menyeruak. Tak hanya itu, Jan ingin menjadi orang tempat perempuan ini berkeluh kesah dan menemaninya dalam melewati hari-harinya yang berat. Perasaan yang berbeda dengan apa yang dirasakannya bersama Pauline.
***
Karel menatap Jan penuh curiga di ruang tamu rumah Jan. Dia tidak menemukan sahabatnya itu di kantor tadi pagi. Beberapa kali dia menelepon ke rumah Jan, namun tidak ada jawaban. Takut sesuatu hal yang buruk terjadi, Karel menyusul Jan ke kediamannya. Dia mendapati sahabatnya menggandeng mesra Malia dan berpisah di mulut Gang Corde.
"Dari mana saja kau?" tanya Karel curiga.
"Kurasa itu bukan urusan kau, Karel."
"Kau bersama sundal itu tadi malam?" tuduh Karel.
"Sudah saya bilang itu bukan urusan kau!" balas Jan dengan nada tinggi. "Kau tak punya urusan dalam mengatur kehidupan saya Karel!"
Suasana penuh emosi menyelimuti ruang tamu kediaman Jan. Karel merasa peringatannya mengenai Malia diabaikan begitu saja oleh Jan. Dia tidak ingin Karel mengalami keadaan yang menyedihkan seperti yang dialami kakaknya dulu. Sedangkan Jan merasa sahabatnya itu terlalu ikut campur dalam urusan pribadinya. Bergaul dengan siapapun itu merupakan hak preogratifnya. Karel tidak punya hak untuk ikut campur terkait itu.
Karel menghembuskan nafas lelah. Memang bukan urusannya terkait kehidupan pribadi Jan. Dia sudah berusaha memperingatkan dan mengingatkan Jan, namun semua itu kembali pada pria itu. Memasukkannya sebagai pertimbangan atau tidak.
"Kau benar, kehidupan pribadi dan siapa temanmmu di sini, emang bukan urusan saya." Ujar Karel lelah.
"Hanya saja, Jan. Saya mohon kau professional dalam bekerja. Kau tahu hari ini seharusnya kau bekerja untuk mempersiapkan dokumen yang diminta oleh Anthony van Hoff. Saya harap kau dapat memisahkan antara kesenangan pribadimu dengan pekerjaaan. Jangan sampai mengganggu pekerjaan, Jan." Karel meninggalkan Jan yang terdiam di ruang tamunya.
Karel berharap sahabatnya itu berpikir mengenai yang terbaik dalam hidupnya.
"Jika kau sudah tenang, temui saya di kantor. Banyak hal yang harus kita bahas terkait pekerjaan." Kata Karel sambil menurun tangga rumah Jan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zoekopdracht
Historical FictionCerita ini mengangkat latar Kota Bandung pada tahun 1920-an. Setelah terpisah sekian belas tahun akhirnya Jan berhasil kembali ke tanah kelahirannya. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk kembali merasakan pelukan hangat seorang wanita. Hanya saja menca...