23. Penerimaan

430 30 14
                                    

Tubuh lemasnya bergerak sedikit untuk mencari kenyamanan yang sejak tadi menghinggapinya, dan kini menghilang entah kemana. Bukannya rasa nyaman, malah ngilu pada lengan kirinya lah yang ia dapati. Dengan berat hati, ia pun membuka matanya dan menemukan ruangan yang remang-remang dengan sepasang sahabat tidur di meja makan, menjadikan lengan mereka bantal diatasnya.

Kening Draco berkerut dalam, mengingat samar-samar apa yang terjadi siang ini sampai akhirnya berada di Rumah Sakit Sihir di New York lagi.

Yang ia ingat, ia melihat punggung Hermione dan Scorpius menghilang saat menaiki tangga. Dan ia beralih pada Rose dan Albus.

*

"Selagi mereka berbicara. Apa ada hal yang ingin kalian sampaikan juga?" tanya Draco sebelum minum jusnya.

Rose dan Albus saling pandang, bingung dan ragu terpampang di wajah mereka.

Draco melirik keduanya terlampau dalam. Dan saat ia benar-benar menatap mereka, wajah Rose kian memucat disaat mata Albus hanya melebar. "Apa benar kau dan Scorpius tidak ada hubungan lagi?"

"Sebenarnya aku dan Scorpie-- AW!" Rose menginjak kaki Albus. Yang diberi perlakuan hanya meringis dengan seluruh wajah yang ditekukkan.

"Dia bertanya pada ku. Bukan kau!" bisik Rose, geram. Albus mencibir sembari bersandar di kursinya, dan memilih menghabiskan minumannya dengan perlahan.

"Kau tidak terpaksa, kan?" Draco menganggap kejadian tadi tidak pernah terjadi. Kini ia benar-benar menatap Rose, tidak mempedulikan Albus yang nampak tidak nyaman di kursinya.

"Jika aku terpaksa, kenapa aku mengutarakan hal itu dengan lantang?" ucapan Rose memang ada benarnya. Tapi Draco belum bisa sepercaya itu, mengingat mata gadis itu saat terakhir kali mereka bertemu. Sesosok gadis yang memuja pemuda.

"Dan bagaimana kau yakin perasaan anak ku? Memangnya kau pernah memberinya mantra kejujuran atau semacamnya?" tanya Draco, lagi. Intonasinya kian menaik. Bersamaan dengan degupan jantung yang tiba-tiba terasa terpacu cepat, dan ia diam-diam mengatur nafasnya yang terasa ingin mengikuti ritme jantungnya.

Rose tersenyum tenang. "Mungkin kau tau, bahwa wanita memiliki insting yang kuat. Dan hari dimana aku memperhatikan Scorpius saat menatap Liona, adalah hari dimana aku menyadari tatapannya sangat berbeda dari cara ia menatap ku slama tiga tahun terakhir." ungkapnya.

"Aku masih ingat, malam natal disaat dia menanyakan kenapa aku belum menikah lagi setelah Astoria meninggal," bisik Draco, ia memandang piring yang membatasi mereka berdua. Dan ia bisa merasakan Albus bangkit, entah kemana, tapi ia tau Albus menyadari posisinya dan memutuskan tidak ikut campur. "aku pun menanyakan seberapa besar dia mencintai mu. Dan dia menjawab 'Sangat. Aku mencintainya, sangat'." Draco terkekeh kecil mengingat cara berbicara Scorpius kala itu dengan wajah tegasnya yang malah terlihat malu-malu. "Makanya, aku tidak seratus persen percaya saat kau bilang bahwa Scorpius malah memilih Liona ketimbang kau." sambungnya, menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan bersandar lemas di kursinya.

Kepalanya mendadak pening, dan ia dapat merasakan desiran darahnya yang terdengar jelas sampai gendang telinganya. Draco memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri dan bersiap diri menerima akuan Rose, apa pun itu.

"Kadang," Rose bersuara.

Draco membuka matanya, menatap kembali Hermione muda dengan wajah berpikirnya yang manis. Yang ia lihat adalah Hermione dengan jubah sekolahnya, rambut megarnya, dan wajah sok taunya. Bukan gadis Granger-Weasley berambut megar kemerahannya. Kepalanya tidak bisa membiarkan matanya untuk fokus, tapi telinganya mendapatkannya.

Crucio - DramioneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang