KEDUA TELAPAK tangan menutup masing-masing telinga. Kelopak mata terpejam, sedangkan bibir mungil berwarna kemerahan terkatup rapat. Gadis kecil itu meringkuk dengan seluruh tubuh bergetar, mencoba melindungi diri dari beberapa kerikil dan batu serta sandal jepit yang dilemparkan kepadanya.
Tak peduli dengan kulit kuning langsat yang sudah tergores sana-sini, bahkan ternoda cairan merah, si Gadis Kecil tetap terdiam di tempat-terlalu takut untuk sekadar bergerak atau lari dari sana barang selangkah.
Suara benturan dari lemparan kerikil yang meleset terdengar jelas di telinga si Gadis Kecil. Tubuhnya nyaris menempel dengan tembok di belakang karena tersudut. Sementara beberapa langkah di depan, lima orang anak mengelilingi si Gadis Kecil sembari melempar sesuatu yang ada di genggaman atau sekitarnya.
Tak hanya suara benturan yang terdengar, tetapi juga gelak tawa dan lontaran kata-kata pedas dan kejam yang sedari tadi ia coba abaikan.
"Pembunuh! Kecil-kecil kok sudah bunuh orang?"
"Dasar anak iblis!"
"Anak setan kali!"
"Bukannya sama saja, ya?""Kekuatan kamu aneh!"
"Serem, ih!""Kata mama aku, jauh-jauh dari dia. Jangan dideketin, nanti kena sial!"
"Bukan sial lagi, yang ada nanti kita dibunuh dia!""Kenapa kamu enggak mati saja ikut ayah kamu?"
"Tahu. Ayah kamu, kan, pembunuh. Nyusul saja gih, biar bahagia sama ayah kamu di neraka!""Kok diam saja, sih? Enggak asyik. Katanya kuat, tapi ternyata lemah banget, tuh!"
"Sampai meringkuk lagi. Payah!"
Sungguh! Ia sangat ingin mengabaikan kata-kata durjana yang terlontar padanya. Namun, apa daya semua itu masih tetap terdengar jelas meskipun ia sudah menutup telinga rapat-rapat. Tanpa sadar ia menggigit bagian bawah bibirnya hingga mengeluarkan sedikit darah.
Nyeri, tetapi tidak senyeri hidupnya.
Ini memang bukan kali pertama ia mendapat perlakuan tak mengenakkan seperti ini. Biasanya anak-anak itu akan sengaja membawanya ke rumah kosong yang terkenal angker, lalu mengunci dirinya di sana ditemani dengan kecoak, tikus, dan beberapa hewan menjijikan lainnya hingga keesokan hari.
Kadang pula ia akan ditenggelamkan di kali yang begitu keruh atau dikubur hidup-hidup. Tak ada yang dapat ia lakukan karena anak-anak itu menggunakan kekuatan elemen mereka.
Entah ini keberuntungan atau bukan, tetapi ia tidak pernah mati dengan segala perlakuan yang diterimanya, termasuk sekarang. Barang kali nasib baik sedang berpihak padanya-walaupun ia tidak tahu apakah hal itu harus disyukuri atau tidak
Tetapi satu hal yang pasti, betapa inginnya ia bertindak.
Ia ingin melarikan diri, tetapi kakinya mati rasa.
Ia ingin menangis, tetapi air matanya tidak keluar.
Ia ingin menyanggah perkataan mereka, tetapi bibirnya kelu.
Ia ingin mendongak dan menatap tajam mereka, tetapi kepalanya hanya bisa tertunduk dalam-dalam.
Ia ingin membalas perbuatan mereka, tetapi tak kuasa-tangannya bahkan sulit bergerak karena tremor yang menghantam.Dan di antara semua ketidakberdayaan itu, sebuah suara bertindak, menggantikan angan-angan si Gadis Kecil.
"Loh, kalian? Lagi apa?"
Hening sejenak.
Si gadis kecil mencoba mengangkat kepala sedikit. Namun, sebuah kerikil memelesat cepat ke arahnya dan sukses menggores pipi kanan bagian atas-tepat di bawah mata. Degup jantungnya berpacu cepat. Nyaris saja kerikil itu menggores-parahnya lagi, masuk-ke dalam matanya.
"Ya Tuhan!" Suara itu terdengar kembali dan memekik tertahan. "Kenapa Kakak lempar kerikil itu ke dia? Kalau kena matanya bagaimana?"
Si Gadis Kecil membeku mendengar suara anak kecil yang terdengar polos-dan tidak asing-menginterupsi. Ia meneguk saliva. Dengan keberanian yang tersisa, ia kembali menoleh ke depan sambil memegang pipi kanan. Netra agak sipitnya membesar kala kehadiran seorang anak perempuan seusianya membuat lima anak yang tadi sedang menimpuknya menghentikan aksi mereka.
Kehadiran anak perempuan itu membingungkan si Gadis Kecil. Pasalnya, raut anak perempuan bertampang polos itu tampak terkejut dan-jika si gadis kecil tidak salah lihat-terdapat gurat cemas yang ditujukan kepadanya.
"Yaya? Kenapa kamu ada di sini?" tanya salah satu dari lima anak yang kelihatannya paling tua. Ia tampak gugup. Batu berukuran sedang yang tadi digenggamnya disembunyikan di belakang tubuh.
Begitu pun dengan anak-anak lain yang juga terkejut akan kehadiran anak itu.
Si Anak Perempuan tak membalas. Kaki pendeknya melangkah mendekati gadis kecil tanpa memedulikan beberapa pasang mata yang menatapnya horor. Ia berjongkok begitu sampai di hadapan gadis kecil berpenampilan lusuh itu.
"Kamu enggak apa-apa?" Si Anak Perempuan mengulurkan tangan.
Si Gadis kecil menatap anak perempuan itu tanpa berkedip. Entah kenapa ia seperti disinari dengan kehadiran anak ini. Auranya begitu terpancar dan bersinar secerah mentari sampai-sampai ia mungkin harus memakai kacamata hitam untuk menutupi sinarnya.
Akan tetapi sekarang, hal itu tidaklah penting. Ia baru menyadari suatu hal ketika melihat wajah si anak perempuan: kalau anak ini adalah seorang elementer cahaya yang langka dan katanya diberkati Tuhan. Pantas lima anak tadi langsung terdiam.
Menyadari hal itu, si Gadis Kecil menyunggingkan senyum miring dan terkikik-kikik, membuat enam orang anak menatapnya aneh.
Elementer cahaya. Anak yang diberkati. Dan dicintai banyak orang.
Berkebalikan dengan dirinya.
Si Gadis Kecil mencoba berdiri dan menopang tubuh dengan kaki bergetar yang terlihat bisa ambruk kapan saja. Uluran yang diberikan kepadanya ditepis dengan kasar. Si Anak Perempuan tersentak, cepat-cepat ia menarik tangannya.
Dengan langkah gontai, si Gadis kecil berjalan melewati si Anak Perempuan.
"Kamu enggak usah sok suci dan menolongku. Anak yang dicintai banyak orang seperti kamu lebih baik enggak dekat-dekat sama anak setan kayak aku."
• • •
Revisi: 23 Mei 2022.
![](https://img.wattpad.com/cover/242117734-288-k685579.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaneishia ✓ [Proses Revisi]
FantasyDi dunia ini, sebagian besar manusia terlahir dapat mengendalikan elemen, tetapi ada juga yang tidak. Mereka yang terlahir dengan elemen disebut elementer dan yang tidak disebut nonelementer. Elementer dan nonelementer hidup berdampingan. Namun, per...