ZAY MULAI waswas ketika Pak Erik memanggil namanya. Firasatnya buruk. Dan hal itu dibenarkan oleh pertanyaan Pak Erik yang seakan menikam tepat di jantungnya. Ia tak menyangka akan ditanyakan seperti itu oleh orang yang baru saja dikenalnya.
"Jadi, Zay, kenapa kamu menyembunyikan identitasmu?" Pertanyaan dengan nada dingin dilontarkan. Tiada senyum yang menghiasi wajah. Hanya tatapan setajam elang yang begitu mengintimidasi Zay dan membuatnya menunduk saking tidak tahan dengan tekanannya.
"Jawab saya, Zay," tutur Pak Erik tegas. "Kamu ... juga elementer kegelapan, 'kan?"
Belum ada jawaban dari Zay. Lidahnya kelu. Pikirannya kacau. Namun, ia harus tetap bersikap profesional.
Zay menggeleng sembari bersedekap. "Apa maksud Bapak? Saya seorang nonelementer, semuanya tahu itu."
Pak Erik menaikkan satu alisnya. "Yakin?"
Anggukan mantap Zay berikan. "Sangat yakin, Pak!" jawabnya tegas. "Kenapa Bapak menanyakan itu?"
"Saya cuma ingin memastikan."
"Dan sekarang Bapak sudah mendapatkan jawaban. Kalau tidak ada urusan lagi dengan saya, saya pamit undur diri."
Pak Erik tak menjawab, hanya bersedekap dengan raut tak puas. "Nanti saya akan panggil kamu lagi."
Zay menaikkan satu alisnya. Apakah itu artinya Pak Erik sudah mempersilakannya pergi?
Yah, anggap saja begitu.
"Saya permisi," ucap Zay, kemudian berlalu, meninggalkan Pak Erik sendirian yang terus menatap punggungnya dari jauh.
Sementara itu, pikiran Zay kini tidak tenang. Seorang guru magang baru, tiba-tiba saja memanggilnya dan menanyakan perihal elementer kegelapan. Atas dasar apa Pak Erik menuduh dan menanyainya begitu?
Jangan salahkan Zay jika kesan pertamanya pada guru baru itu sudah buruk di matanya. Ditambah lagi setelah kejadian tadi. Bagus! Ia semakin tidak suka pada Pak Erik.
Zay memilih untuk mengalihkan pikirannya dengan mengerjakan tugasnya di ruang OSIS. Setidaknya, berkutat dengan kertas-kertas itu seratus kali jauh lebih baik daripada harus berhadapan dengan Pak Erik.
Kala Zay memasuki ruang OSIS, hanya desiran angin dari AC yang menyapa. Tiada bising selain dari mesin pendingin ruangan, jam dinding, dan seruputan minuman. Ruang OSIS tidak ramai seperti biasanya. Hanya ada Firlo yang duduk di bangkunya, tengah meminum sekotak susu cokelat dengan satu tangan menggenggam fail yang berisi dokumen dan membacanya.
Oh, lihatlah! Rajin sekali dia. Padahal hari ini OSIS sedang tidak ada rapat atau pertemuan informal, tetapi Firlo menghabiskan waktu istirahat setelah pulang sekolah dengan berpacaran dengan berkas.
Yah, sebenarnya, Zay pun sama saja. Ia memang lebih sering mendekam di ruang OSIS daripada di asrama. Bukan tanpa alasan. Ruang OSIS jauh lebih baik daripada kamar asramanya yang berantakan.
Menyadari kehadiran seseorang, Firlo menghentikan kegiatan dan mengalihkan atensinya pada Zay yang baru duduk berhadapan dengannya.
"Oh, Zay? Tumben."
Zay memasang wajah masam. "Mood-ku lagi buruk, Fir."
Raut Firlo menjadi serius. "Ada apa, Zay? Cerita padaku!" pinta Firlo. Terdengar agak memaksa, tetapi itulah Firlo. Zay sudah agak terbiasa dengan tabiat rekan sesama nonelementernya.
Zay menimang sejenak, apakah ia harus menceritakan hal ini pada Firlo atau tidak. Di satu sisi, ia takut Firlo akan langsung men-judge-nya. Di sisi lain, ia percaya Firlo tidak akan melakukan itu. Lagi pula, Zay sudah mengenal Firlo selama satu setengah tahun. Pada akhirnya, ia memilih bercerita.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kaneishia ✓ [Proses Revisi]
FantasyDi dunia ini, sebagian besar manusia terlahir dapat mengendalikan elemen, tetapi ada juga yang tidak. Mereka yang terlahir dengan elemen disebut elementer dan yang tidak disebut nonelementer. Elementer dan nonelementer hidup berdampingan. Namun, per...