BELIAU? SIAPA?
Tidak, daripada itu ... Pak Erik benar-benar licik!
Sekarang, pria itu tengah melangkah mendekatinya. Dan begitu ia sampai di hadapan Zay, maka, yang Zay lakukan adalah mengalihkan topik sebelum Pak Erik membahasnya lagi.
"Kenapa Bapak bisa terpental jauh kayak begitu?"
"Jangan pura-pura bodoh, Zayra."
"Saya benaran tidak mengerti, Pak. Kenapa Pak Erik terpental, kenapa kegelapan tadi raib, dan kenapa Bapak bertepuk tangan."
"Kamu tahu semuanya. Anak beasiswa seperti kamu tidak mungkin sebodoh itu karena tidak menyadari hal remeh tadi, 'kan?"
Zay mendesis. Umpatan yang ditujukan kepada Pak Erik tak henti-henti ia lontarkan dalam hati Guru ini sangat menyebalkan!
Pak Erik bersedekap dan menyuguhkan senyum yang bagi Zay sangat menjengkelkan.
"Jadi, Zay, saya tanya sekali lagi. Kenapa kamu menyembunyikan identitasmu?""...." Tak ada balasan dari Zay. Hanya lirikan sinis yang tertuju pada sang guru.
"Kenapa kamu membohongi semua orang?"
"...."
"Sampai kapan kamu mau mengelak?"
"A ...." Pertanyaan ketiga, Zay membuka mulut. "Saya benci Pak Erik."
Namun, respons Zay bukanlah jawaban yang diinginkan Pak Erik. Ujaran kebencian itu bahkan senada dengan rautnya. Sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Zay tidak berbohong kalau ia benar membenci Pak Erik.
Mengabaikan kebencian Zay yang beriringan dengan aura kehitaman yang mengelilingi tubuhnya, Pak Erik hanya memasang wajah datar.
"Jadi kamu tetap tidak berniat menjawab, nih?""Iya! Untuk apa saya mengatakannya sama Bapak? Enggak ada untungnya buat saya!" Emosi Zay mulai tidak terkontrol. Ia jadi makin tidak peduli jika yang sekarang di hadapannya adalah seorang guru.
Persetan dengan guru!
Gigi Zay bergemeletuk. Andai ia bisa, sudah pasti ia akan melenyapkan Pak Erik sekarang juga.
Raut Pak Erik semakin menyeramkan. Namun, Zay tidak peduli dengan itu. Ia sudah tidak takut lagi dengan hawa intimidasi sang guru. Malah, rasanya ia juga menyeramkan. Aura pekat sudah hampir menguasai seluruh tubuhnya.
"Redakan dulu amarahmu, Zay. Jangan sampai kamu dikendalikan sama kegelapan itu sendiri. Kamu yang harusnya memegang kendali atas diri dan elemenmu sendiri, bukan mereka."
"...."
Zay memang marah pada Pak Erik, tetapi ucapannya ... ada benarnya juga. Ia bahkan bisa melihat dan merasakan aura pekat yang mengelilingi dirinya.
Oh, sungguh sialan.
Harusnya ia minum pil penahannya tadi. Gara-gara auranya sudah lama tidak keluar, bagaimana bisa ia mengabaikan hal yang terlihat sepele, tetapi fatal seperti ini? Botol kaca berisi pil yang ada di lacinya masih terisi agak penuh. Sehabis ini ia harus langsung meminumnya, titik.
Dengan susah payah, Zay mencoba mengembalikan keadaan seperti semula dan menyembunyikan auranya. Kali ini Zay merasa cukup beruntung karena di sini hanya ada ia dan Pak Erik seorang. Setidaknya, tidak ada murid maupun guru SMA Bhayangkara yang tahu, selain mereka.
"By the way, Zay. Saya punya beberapa alasan kenapa kamu harus mengaku. Dan kamu salah kalau berpikir tidak ada untungnya buat kamu," celetuk Pak Erik menjawab pertanyaan Zay sebelumnya.
"Kita sesama elementer kegelapan. Apa yang mau disembunyikan lagi, sih? Padahal, kamu sendiri juga tahu, kan, kalau seorang elementer kegelapan bisa merasakan dan mengetahui aura dan hawa keberadaan dari elementer kegelapan lainnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaneishia ✓ [Proses Revisi]
FantasyDi dunia ini, sebagian besar manusia terlahir dapat mengendalikan elemen, tetapi ada juga yang tidak. Mereka yang terlahir dengan elemen disebut elementer dan yang tidak disebut nonelementer. Elementer dan nonelementer hidup berdampingan. Namun, per...