"JADI, ZAY," lelaki berbadan tegap yang dibalut seragam olahraga merah marun bersedekap, "kenapa kamu enggak hadir pas rapat Selasa kemarin, hmm?"
"Ehm ...." Gadis yang mengenakan seragam berbeda-batik merah marun dan rok putih di bawah lutut-hanya bergumam kecil dan mengabaikan lelaki berseragam olahraga yang menatapnya menyelidik.
Tatapan itu sama sekali tak membuat gadis yang dipanggil Zay gentar. Ia malah misuh-misuh dalam hati.
Baiklah, sekarang ia harus bilang apa? Berkata jujur? Tidak mungkin. Lelaki ini pasti akan menceramahi-atau setidaknya-berceloteh panjang kali lebar.
Bola mata sekelam malam tergulir ke atas, mencoba mencari kata-kata dan jawaban yang pas untuk dijadikan alasan.
Firlo masih menunggu. Punggungnya sudah bersender di lemari kaca tempat menyimpan piala yang ada di pinggir koridor. Tubuhnya condong menghadap lapangan, sementara kepalanya menatap Zay yang mendekap folder map bewarna merah di depan dada.
"Jadi-"
"Aku lagi enggak enak badan. Sebentar lagi akan diadakan turnamen dan tugasku kian menggunung. Kamu tahu? Entah kenapa itu membuatku pusing," sela Zay cepat.
Sebelum Firlo sempat membuka mulut lagi, Zay melanjutkan dengan nada menyesal, "Aku sudah bilang pada Iru. Maaf ya, enggak memberi tahu kamu sebelumnya."
Tidak benar, tetapi juga tidak salah. Anggap saja Zay setengah berbohong, karena nyatanya ia memang memusingkan tugas OSIS-nya yang bertambah banyak dua bulan menjelang turnamen.
Padahal, berkas yang baru selesai diurusnya lima hari lalu sudah diserahkan kepada pembina OSIS. Zay sudah senang mejanya di ruang OSIS akhirnya bersih dari kertas. Namun Tuhan sepertinya tidak bisa memberikannya istirahat karena keesokan hari, Firlo malah datang dengan membawa setumpuk kertas-yang Zay yakini adalah proposal turnamen-dan menaruhnya di atas mejanya.
Kalau begitu, bagaimana ia tidak pusing?
Akan tetapi, bagaimanapun juga, tidak hanya Zay yang sibuk. Firlo yang menjabat sebagai wakil ketua OSIS pun tampak disibukkan dengan proposal dan berkas. Terkadang Zay melihat lelaki itu berada di ruang guru, ruang tata usaha, atau ruang kepala sekolah.
Dipikir-pikir lagi, akhir-akhir ini Zay memang sudah agak jarang bertemu dengan Firlo. Dan suatu kebetulan baginya-atau mungkin kesengajaan bagi Firlo-ia bertemu lagi dengan lelaki itu setelah empat hari tidak berpapasan langsung.
Kini, Zay hanya bisa pasrah jikalau lelaki di depannya berceloteh mengenai alasan absensinya. Namun, siapa sangka ternyata jawaban Zay sama sekali tidak memuaskan Firlo. Walaupun samar, gadis itu dapat mendengar decakan tidak suka dari sang lawan bicara.
"Kamu enggak perlu berbohong. Apa salahnya jujur padaku, sih?" Firlo menegakkan punggung, membuat badan tegap itu menghadap Zay sepenuhnya. "Kamu tahu, Zay? Mengenalmu selama satu setengah tahun membuatku sedikit banyak mengetahui tabiatmu."
Zay menaikkan satu alis.
"Sudah kubilang, kan, kalau kamu ada masalah atau butuh bantuan, bilang saja padaku. Jangan seperti itu."
Berlainan dengan decakan tidak sukanya tadi, kali ini Firlo berkata dengan nada lembut-cukup aneh untuk seukuran lelaki bertampang sangar dengan plester di dua sisi wajah sepertinya. Arah pandang Firlo tertuju pada lengan bagian bawah Zay yang berbalut sarung tangan kain berwarna hitam.
Zay mendengkus kecil dan mencibir dalam hati, Kalau sudah tahu kenapa nanya?
Sejak Firlo mengetahui rahasianya, lelaki itu menjadi lebih cerewet dari biasanya dan terus berceloteh ini itu. Zay menduga, tanpa memberi tahu yang sebenarnya pun, Firlo sudah tahu setelah ia mengatakan alasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaneishia ✓ [Proses Revisi]
FantasyDi dunia ini, sebagian besar manusia terlahir dapat mengendalikan elemen, tetapi ada juga yang tidak. Mereka yang terlahir dengan elemen disebut elementer dan yang tidak disebut nonelementer. Elementer dan nonelementer hidup berdampingan. Namun, per...