AZKA, KENAPA lelaki itu bisa ada di sini?
"Kamu ...."
"Aku enggak sengaja lewat sini tadi. Dan kebetulan, aku merasakan ada aura kegelapan dan suara yang berasal dari sini. Jadi, aku samperin deh," terang Azka sebelum Zay meminta penjelasan dengan raut horornya itu.
Zay meneguk saliva. Kalau begitu ... bukankah itu berarti Azka menguping?
Kedua tangan Zay meraih bahu Azka dan mengguncangnya hebat.
"Katakan, kamu enggak menguping, 'kan? Kamu nggak tahu apa yang terjadi di dalam, 'kan? Katakan padaku, Azka!" bentak Zay. Tak hanya tubuhnya yang bergetar, tetapi suaranya juga.
Ketakutannya itu benar-benar tidak bisa diatasi. Bagaimana jika Azka mengetahuinya? Bagaimana jika ia memberitahukannya kepada orang-orang? Bagaimana jika—
Oh, sungguh menyebalkan! Overthinking-nya mulai lagi.
Sementara itu, Azka yang mulai pening karena tubuhnya terguncang meraih lengan Zay yang masih berlapis sarung tangan.
"Za-zay, stop dulu, oke? Aku pusing," ucap Azka.
Zay yang mulai sadar, perlahan menjauhkan tangannya dari bahu Azka. "Ma-maaf ...."
"Oke, pertama, aku minta maaf karena sudah menguping. Kedua, ehm, ya ... aku mendengar dan melihat apa yang terjadi di dalam lewat kaca," jawab Azka canggung.
"... kenapa? Kenapa, Ka?" Zay menatap Azka dengan kepala agak menunduk. Rautnya benar-benar terlihat frustrasi. Zay yang sudah lama tidak menangis, kini sesegukan pelan.
"Ah, Zay." Azka meringis. Hatinya diserang rasa bersalah. Melihat air mata yang mengalir di pipi Zay dan tatapannya yang frustrasi, Azka jadi semakin merasa bersalah dan tidak tega.
"Kamu—kamu pasti membenciku. Iya, 'kan?! Jangan munafik! Pasti sehabis ini kamu langsung menjauhiku, 'kan?!" pekik Zay sembari mengucek kelopak mata. Bahunya bergetar hebat. "Tapi—tapi ... jangan kasih tahu yang lain! Aku ... aku mohon, Ka ...."
Zay ambruk ke tanah karena sudah tak mampu menahan beban tubuhnya. Jemarinya memegang pergelangan tangan Azka yang berlapis kemeja dan lengan jas.
Hati Azka terenyuh. Dadanya ... entah kenapa rasanya sakit sekali melihat gadis di hadapannya menangis. Selama ini, ia selalu melihat sosok Zay yang tegas, dapat diandalkan, serta ramah dan murah senyum walaupun rautnya berbanding terbalik. Dan sekarang, Zay menangis karenanya?
Ingin rasanya Azka mengulurkan tangan dan memeluk sang gadis untuk menenangkannya. Dan Azka, benar-benar melakukan apa yang dipikirkannya.
Ia berjongkok, kemudian tanpa sadar tangannya terulur, meraih tubuh Zay dan mendekapnya. Telapak tangan kanan Azka mengusap bagian belakang kepala sang gadis dengan lembut.
"Tenanglah, Zay. Aku enggak lantas membenci kamu. Aku juga enggak akan memberi tahu ini pada yang lain. Kalau kamu minta rahasiakan, akan aku rahasiakan kok," ujar Azka.
Nadanya yang kalem begitu menenangkan, seperti air. Sukses membuat tangis Zay terhenti—ah, bukan. Dirinya bukan berhenti menangis karena perkataan Azka, melainkan karena lelaki itu tiba-tiba mendekap dan mengelus kepalanya. Zay terlalu syok. Belum pernah ia dapatkan perlakuan seperti ini sebelumnya.
Tangan Zay tidak bergerak untuk membalas dekapan Azka. Rasanya memang ... hangat. Namun, di sisi lain, ia marah. Ia marah karena Azka—yang notebene-nya orang asing—main asal menyentuh bahkan memeluknya.
Saat ini Zay masih dikuasai ego dan ketakutannya. Tangannya terangkat, kemudian menepis dan mendorong tubuh Azka untuk menjauh darinya.
"JANGAN MENYENTUHKU!" hardik Zay sambil memeluk tubuhnya sendiri. Air matanya keluar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaneishia ✓ [Proses Revisi]
FantasyDi dunia ini, sebagian besar manusia terlahir dapat mengendalikan elemen, tetapi ada juga yang tidak. Mereka yang terlahir dengan elemen disebut elementer dan yang tidak disebut nonelementer. Elementer dan nonelementer hidup berdampingan. Namun, per...