Bab 06

54 13 105
                                    

INI GILA!

Apa Zay baru saja mendengar Pak Erik berkata 'bertarung'? Demi apa pun, Zay berharap telinganya salah dengar. Namun, Pak Erik malah mengulangi perkataannya.

"Bertarung dengan saya," titah Pak Erik. Benar-benar penuh penekanan seperti saat dirinya ditanya apakah ia elementer kegelapan.

Pak Erik bahkan sudah mengeluarkan auranya lagi—hal yang lumrah ketika seorang elementer hendak menggunakan kekuatannya.

"Tunggu, Pak! Apa-apaan ini? Saya lelah setelah sekolah dan mengurus tugas OSIS dan sekarang Bapak mengajak saya bertarung?" hardik Zay tajam. "Dan apakah Bapak sadar apa yang barusan Bapak katakan?"

"Saya sadar sepenuhnya, Zayra. Ayo bertarung dengan saya."

"Tidak! Bapak sungguh gila mengajak seorang nonelementer untuk bertarung!" Zay mulai melangkah mundur, dengan tatapan tajam yang masih ditujukan untuk Pak Erik. "Saya bahkan tidak bisa bertarung, Pak! Apa Bapak mau membunuh saya? Memang dasar ya, elementer kegelapan itu benar-benar seperti yang dirumorkan!"

Amarah Zay memuncak. Ia sudah tak bisa berkepala dingin. Mukanya memerah—entah karena marah atau sedih. Seluruh tubuhnya dihantam tremor. Netra kelam Pak Erik menatapnya dingin. Rasanya ... rasanya ia ingin mati saja saat ini juga! Persetan membuktikan dirinya bukan elementer kegelapan! Persetan! Ia sudah gentar. Padahal, harusnya ia sudah terbiasa dengan ini. Namun, mengapa? Mengapa elementer kegelapan itu menyeramkan?

"Mau ke mana kamu?"

Pak Erik mengulurkan tangan kirinya ke depan. Sesuatu yang padat dan pekat menahan punggung Zay yang hampir menempel pintu ruang latihan dan mendorongnya ke depan.

"Akh!" Zay terperanjat kala elemen berbentuk tombak panjang muncul di atas pundak kiri Pak Erik yang tengah bersedekap. Sedetik kemudian, tombak itu memelesat ke arah Zay.

Alih-alih panik, tubuh Zay seperti bergerak sendiri dengan menghindar ke samping, membuat tubuh Zay sedikit berguling. Tombak yang hendak menyerangnya berakhir menghantam lantai ruang latihan dan lenyap. Zay bergidik. Apakah ini instingnya?

Alih-alih menerima seperti dulu, lebih baik menghindar atau ... melawan. Namun, Zay langsung menyoret pilihan kedua.

"Hebat juga refleksmu."

Zay tidak tahu apakah Pak Erik benar-benar memujinya atau tidak dengan nada sinis seperti itu. Namun yang pasti, kini bukan hanya satu tombak yang memelesat ke arahnya, melainkan sepuluh!

"Bapak benar-benar ingin membunuh saya?!" pekik Zay sambil berlari dengan gesit untuk menghindari tiap tombak yang menghunjamnya.

Untuk kali ini, Zay merasa sedikit beruntung karena pernah mengikuti klub beladiri saat kelas sepuluh. Walau dua buah tombak berhasil menggores pipi kanan dan lengan kiri yang berlapis sarung tangan hitam.

"Sampai kapan kamu mau terus menghindar, Zay?"

"Kan sudah saya bilang, Pak, saya tidak bisa bertarung!"

"Kalaupun tidak bisa, setidaknya bertahanlah atau menyerang balik! Kalau ini pertarungan sungguhan, kamu pasti sudah mati!"

Sungguh! Kata-kata itu sama sekali tak membuat Zay tenang. Berbagai umpatan kepada Pak Erik, Zay gumamkan. Kalau pertarungan 'bohongan' saja sudah membuat nyawanya di ujung tanduk seperti ini, bagaimana dengan pertarungan sungguhan?

Ah, persetan dengan itu! Dia benar-benar sudah lelah terus berlari dan menghindari belasan tombak yang menghunjamnya lagi.

Di tengah-tengah kondisinya seperti ini, Zay malah merasa menyesal karena menu makan siangnya tadi. Semangkuk bubur dingin benar-benar tak cukup untuk mengisi energinya.

Kaneishia ✓ [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang