3. young

21 3 0
                                    


"iya sayang, besok aku sempetin jemput"

Anjing, bangsat. Itulah kata-kata yang keluar dari mulut gue setelah gue lewat depan kamar orang tue gue. Gue benci sama hal seperti ini. Pingin gue lupa ingatan, tapi gimana caranya. Masa gue harus kecelakaan dulu terus kepala gue harus kebentur biar lupa ingatan. Asik juga kayaknya.

Dimata orang lain keluarga gue emang terlihat harmonis, terlihat tidak pernah ada masalah apapun yang bakal merubuhkan keharmonisan. Tapi itu dimata orang lain, bagaimana gue yang ada di dalam keluarga ini.

Ayah. Ayah selingkuh dari bunda. Dan yang tahu fakta ini hanya gue. Gue benci kebenaran ini. Gue benci diri gue sendiri.

Gue sampe mikir, apa yang kurang dari bunda sampai-sampai ayah berpikiran untuk selingkuh. Kalau secara logika gue, ayah menikahi bunda otomatis ayah akan menerima apa adanya bunda, menerima kelebihan dan kekurangan bunda. Tapi saat ini kenapa?

Apa karena bunda sudah tua, dengan begitu ayah bosan sama bunda? Ayah juga semakin menua, tidak dengan bunda saja. Egois.

Dengan keadaan seperti ini, bunda tetap percaya sama ayah. Kenapa bunda tidak curiga dengan perilaku ayah yang tidak seperti biasanya? Bunda lebih egois.

Hal ini gue pendam sendiri sedari gue menginjak di bangku SMP tahun terakhir. Awal gue tahu ayah selingkuh dari bunda, saat gue tak sengaja meminjam HP ayah dan aku salah focus dengan salah satu notifikasi yang muncul.

Di sana tertulis,

Sayang : iya pah, nanti mama telfon ya.

Cringe. Benar-benar membuat gue jijik. Gue sadar bahwa itu bukan pesan dari bunda. Dari caranya mengirim pesan pun bukan seperti bunda, dimana bunda memanggil dirinya adalah bunda bukan mama.

Gue ingin bertanya waktu itu, namun tertahan oleh ketakutan. Aku masih memikirkan bunda.

 Disinilah gue menjadi dewasa karena keadaan. Hal yang seharusnya gue belum tahu, dengan seenaknya mulai meyadarkan gue dengan kedewasaan.

Gue menjadi seseorang yang mempunyai jiwa dewasa, dibalik sifat manja gue. Semua, ayah, bunda, maupun abang gue masih menganggap gue anak kecil sampai sekarang. sampai gue menginjak bangku tahun akhir SMA.

"dek, bantu abang kamu." Ucap bunda ke gue ketika gue sedang memainkan HP, untuk membantu abang gue yang sedang kesusahan memasang sprei kasurnya.

"nggak ah, udah besar gitu cowok lagi. Masa nggak bisa pasang sprei sendiri." Jawab gue.

"adekk, kalau disuruh itu nurut."

"bundaa, abang udah besar nanti kebiasaan kalau dibantuin terus, kapan bisanya coba."

"bunda cuma minta tolong buat kamu bantu abang pasang seprei, bukan bantu abang sama tugas pekerjaanya."

"bund-" ucapan gue terpotong Ketika ayah tiba-tiba datang.

"Ra bunda cuma minta tolong sama kamu, nggak ada salahnya kan." Ucap ayah ke gue.

Tanpa membalas perkataan ayah, gue langsung menuju kamar abang gue. Untuk membantu memasang seprei. Hanya persoalan memasang seprei doang, yang nyuruh satu rumah, gue lagi yang disudutkan.

"Lo udah gede, cowok lagi. Masa pasang sprei kagak bisa. Gimana nanti lo berkeluarga." Ucap gue ke abang gue setelah masuk kamarnya.

"ya istri gue lah yang masang, masa gue suaminya." Jawab abang gue.

"jadi suami itu yang bisa diandelin sama keluarga dong, terutama istri. Bukan cuma kerjaan, cari nafkah doang yang dipikirin. Pekerjaan rumah juga dipikirin. Kalau prinsip lo kayak gitu, kagak ada cewek yang mau jadi istri lo nanti."

(n) RealmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang