"Ayolah, Mas," mohon Silvi pada Tian.
"Belum tentu bisa, Vi. Kamu tau sendiri jadwal kerjaku selama ini kayak apa," kata Tian.
Silvi memasang wajah cemberut yang imut. Tian sampai gemas dibuatnya.
"Cuti barang tiga hari aja masa ga bisa sih?" mohon Silvi lagi.
"Lebaran aja kadang aku ga libur, Vi," sahut Tian lelah menanggapi permintaan istrinya.
Ia tak sampai hati melihat istrinya memohon-mohon padanya berulang kali tapi nyatanya memang tak semudah itu mendapat cuti di tempat kerjanya. Komandannya tak segampang itu memberi izin. Mereka semua sama di sana. Sama-sama banyak yang jauh dari orang tua, keluarga, anak, istri, dan handai taulan. Jika ia meminta keringanan diberikan cuti pastilah semua anggota kompi minta perlakuan yang sama. Andai saja ia bisa cuti dengan mudah tentu ia akan mengajukan cuti demi menemani istrinya pergi reuni. Tak apalah nanti ia akan bosan menunggu istrinya rumpi dengan kawan-kawan lamanya yang sering diceritakannya di rumah itu— yang bahkan tak ia hapal nama-namanya— asal istrinya bahagia. Tapi ....
"Jadi kita pun bakal lebaran di sini?" tanya Silvi makin muram.
"Kalo kamu mau pulang ya ga papa pulang aja. Kesian juga kalo Sena di sini berdua doang sama kamu. Nanti aku anterin tapi abis itu aku pulang lagi kemari soalnya udah dapet tugas jaga," jawab Tian yang memang tidak punya pilihan lain.
"Jadi Mas beneran ga bisa nih?" tanya Silvi untuk kesekian kalinya untuk memastikan.
Tian mendesah. "Kita liat nanti ya. Tapi aku ga bisa janji."
Silvi tidak mengangguk tidak pula menggeleng. Dia tidak menolak maupun mengiyakan. Hati Tian mencelos. Ia sudah mengecewakan istrinya. Padahal istrinya itu biasanya bukan tipe perajuk tapi entah kenapa kali ini dia merengek sedemikian rupa. Mungkin karena kesempatan ini sudah ditunggu-tunggu sekian lama olehnya.
"Mas, 'kan, waktu itu bilang kalo waktunya udah jelas aku tinggal kasih tau aja. Aku pikir pas Mas bilang gitu berarti Mas bisa nemenin aku selama di sana. Ga lucu dong kalo temen-temen pada bawa suami dan istri masing-masing tapi aku ke sana cuma bawa anak doang. Lagian aku pasti kerepotan kalo harus bawa Sena sendirian. Sena, 'kan, masih belum bisa jalan, Mas. Kalo aku pas kebelet pipis atau kemana gitu dan ga bisa minta tolong siapa pun gimana?" protes Silvi.
Tian merenungi perkataan istrinya. Benar juga sih apa kata istrinya itu. Ia jadi khawatir bagaimana nanti istrinya selama di sana tanpa dirinya.
"Ng, ya udah gini aja deh. Besok aku coba tanya komandanku gimana. Kalo emang ada keringanan mengjngat aku selama ini emang jarang ngajuin cuti, aku bakal ngajuin cuti dua atau tiga hari pas kamu mau ke sana. Gimana?" Tian akhirnya memberikan jawabannya semata agar Silvi lega. Tapi dia berjanji pada diri sendiri untuk benar-benar menanyakan perihal cuti itu pada komandannya besok.
Senyum di bibir Silvi pun terbit. "Oke, Mas!" Kecupan kecil pun mendarat di pipi Tian, membuat pria itu mendesah lega.
Sementara di belahan Waktu Indonesia Barat lainnya, Fanny pun juga sedang membujuk sang suami agar mengajukan cuti lebih panjang.
"Lebaran aja udah dikasih jatah libur seminggu, Yang, masa mau ngajuin cuti lagi?" tolak Keenan.
"Tapi kamu, 'kan, ga kerja di bagian pabrik jadi ga papa dong kalo misalnya minta cuti lagi." Fanny bersikeras.
"Justru karena ga kerja di bagian operasional aku ga bisa cuti karena ga ada yang gantiin. Kalo di bagian operasional malah banyak yang gantiin," terang Keenan.
"Terus nanti aku gimana? Reuninya gimana?" Fanny memasang raut wajah kecewa yang tidak bisa disembunyikan lagi.
"Masa aku harus batalin dateng karena kamu ga bisa cuti sih? Aku, 'kan, udah nunggu-nunggu kesempatan ini dari lama, Yang. Kamu tega ih!" Fanny memojokkan sang suami dengan perkataannya.
Keenan mendesah. Persoalan cuti ini sudah jadi bahan perdebatannya dengan sang istri tiap tahun. Dia sampai merasa bosan. Fanny selalu ingin libur lebaran lebih lama di rumah orang tuanya di Majalengka padahal jatah libur Keenan tak banyak. Keenan sadar dirinya terlalu sering berada di kantor untuk bekerja karena memang pekerjaannya menyita sebagian besar waktunya. Ia sempat mengutarakan keinginannya untuk mengundurkan diri saja dari perusahaan tempat ia bekerja tapi Fanny justru mencegahnya karena istrinya itu takut mereka akan menghadapi kesulitan finansial. Terlebih lagi perusahaan tempat ia bekerja telah memberikan penghasilan yang layak untuk dirinya dan keluarganya sehingga segala kebutuhan mereka tercukupi bahkan meski tinggal di dekat ibu kota yang notabene segala kebutuhan hidupnya serba mahal.
Habis akal, Keenan pun menggunakan cara yang sama untuk menanggapi rengekan istrinya kali ini.
"Kamu naik kereta aja ke Purwokerto. Nanti kamu minta tolong bibi buat jemput kamu dan anak-anak atau pake taksol juga ga papa. Nanti kalo kamu mau ke nikahan temen dan reuni, kamu bisa pake layanan taksol lagi. Syukur-syukur kalo ada salah satu temen kamu yang bawa mobil jadi kamu bisa dijemput di rumah bibi terus ke tempat nikahan dan reuni. Samira, mungkin. Coba tanya dia nanti ke Purwokerto naik apa. Kayak gitu aja gimana?"
Fanny yang mendesah kali ini. Wajahnya kentara sekali menunjukkan kekecewaan. Ia juga memang tak mau repot menyembunyikan rasa kecewanya agar suaminya sadar bahwa ia sedang protes. Apa gunanya gaji besar kalau bekerja bagai romusha begini? Minta hak cuti pun bahkan bagai menagih utang. Sulitnya minta ampun.
"Aku yakin anak-anak ga bakal repotin kamu kok," imbuh Keenan, mengira istrinya mendesah karena sedang membayangkan akan kerepotan mengurus kedua anaknya sendirian.
"Iya." Kemudian Fanny masuk ke kamar tidur lebih dulu dengan wajah ditekuk. Keenan jadi bingung. Apa barusan dia sudah salah omong? Keenan pun akhirnya menyusul sang istri ke dalam kamar.
"Aku udah salah omong ya, Yang?" tanya Keenan.
Istrinya itu malah hanya duduk di tepian ranjang masih dengan mulut yang terkunci tapi air mata justru sudah jatuh ke pipi. Keenan kalang kabut. Seingatnya ini bukan jadwal istrinya menstruasi. Kenapa dia jadi sensi begini?
"Kamu bilang aku boleh ikut reuni, 'kan?" tembak Fanny tiba-tiba.
"I-iya. Emang ada aku ngelarang kamu ikut? Nggak, 'kan?" Keenan jadi harus mengulang kejadian beberapa menit yang lalu dalam ingatannya, mengorek-ngorek apakah dia sudah luput mengatakan sesuatu yang terlarang yang membuat istrinya tidak lagi girang.
"Tapi kamu udah jelas ga bisa ikut. Terus buat apa nyuruh aku ikut reuni?" kata Fanny terisak.
"Y-ya ... Itu, 'kan, acara kamu, Yang. Aku ga wajib ikut. Aku udah bilang, 'kan, kalo kamu mau ikut silakan aja. Tapi maaf aku ga bisa anterin karena aku emang susah cuti. Kerjaan aku banyak, Yang, ga bisa ditinggal gitu aja. Kamu tau aku udah dapet seminggu libur dari kantor. Kalo aku masih cuti pula apa mereka ga kelimpungan?"
"Jadi kamu lebih milih kantor yang ga kelimpungan daripada istri sendiri?" cecar Fanny yang membuat Keenan makin serba salah.
Keenan mengusap wajahnya dengan sebelah tangannya. Ya Tuhan, berdebat dengan perempuan memang lebih menguras tenaga daripada mengurus pekerjaan bahkan meski itu pekerjaan lemburan.
"Oke. Besok aku coba ajukan cuti tiga hari. Tiga hari. Ga lebih! Oke?" tawar Keenan demi mengakhiri perdebatan.
Secercah senyum di wajah Fanny muncul. Perempuan itu pun sekonyong-konyong mendekat ke arahnya lalu memeluknya sambil berkata, "Makasih, Suami Gembulku!"
Keenan cuma mengangkat kedua alisnya sebagai respon. Betapa cepatnya perubahan emosi pada seorang perempuan, terutama istrinya. Hingga kini pun, ia masih tidak percaya jika Tuhan menciptakan perempuan dari tulang rusuk lelaki. Kalau memang istrinya itu tercipta dari tulang rusuknya bagaimana mungkin ia tidak bisa mengenali dan memahami bagian tubuhnya sendiri?
***
![](https://img.wattpad.com/cover/248589847-288-k54963.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REUNI (The Story After Balada Mahasiswa: FRNDS) | TAMAT
Художественная прозаSetelah sepuluh tahun kelulusan mereka, akhirnya Samira, Silvi, Tita, Fanny, dan teman-teman sekelas lain dipertemukan kembali dalam sebuah reuni. Karena keadaan tak lagi sama- usia yang sudah mulai menua, status yang sudah berubah, serta kesibukan...