10 - Sebuah Perdebatan

112 17 0
                                    

Lebaran masih ada dua minggu lagi. Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Mungkin karena Samira akhir-akhir ini sangat sibuk. Setiap hari kerjaannya menatap layar pipih ponsel miliknya untuk mengurus pembeli toko daringnya yang semakin banyak karena biasanya hari-hari menjelang lebaran memang hari panen untuk para penjual sandang. Apalagi setelah lebaran biasanya juga banyak pasangan yang menikah sehingga permintaan untuk pembelian seragam batik untuk penerima tamu pernikahan banyak berdatangan. Samira mana mau menolak rezeki. Meski dia terpaksa harus berpanas-panasan ke supplier untuk kulakan batik, dia tetap semangat karena membayangkan keuntungan besar di depan mata. Maklum, Samira belum mampu membeli mobil sehingga sementara ini Samira kulakan dengan menggunakan motor matic miliknya. Rumah saja masih mengontrak kok mau gegayaan beli mobil. Namun, tidak mempunyai mobil bukanlah masalah besar bagi Samira. Samira toh belum perlu membeli mobil juga. Yang jadi masalah, Zahira kadang ngambek karena diabaikan oleh ibunya yang sibuk mengurus segala tetek bengek terkait toko daringnya. Untungnya sebatang es krim bisa meluluhkan ngambeknya dengan mudah. Kalau tidak, Samira bisa kelimpungan. Zahira juga bukan tipe anak yang manja sehingga ketika ibunya sibuk ke sana kemari untuk berbelanja ia ikut kemana pun ibunya pergi dengan patuh asal es krim sudah di tangan.

Meski lelah karena harus mengurus toko daring saat berpuasa, Samira bersyukur Tuhan masih memberinya rezeki melimpah. Tidak semua orang berkesempatan mendapatkan rezeki seperti dirinya.

"Capek banget, Bu?" tanya Mas Ganjar ketika melihat Samira tampak masih berleha-leha meski hari menjelang magrib. Kaki Samira seperti habis ikut Tour de France— pegal-pegal rasanya— setelah seharian mondar-mandir mengurus bisnisnya.

Samira mengangguk. "Nanti makannya GoFood aja ya, Yah."

"Eh, ga usah. Biar Ayah aja yang masak," cegah Mas Ganjar. "Jadi uangnya bisa kita hemat buat yang lain."

"Ha? Emang ga papa?" Samira jadi tak enak hati. "Ayah, 'kan, kerja seharian masa harus masak juga?"

"Emangnya Ibu juga ga kerja seharian? Ngurusin Zahira, ngurusin rumah, belum lagi ngurusin toko. Pasti hari ini banyak pesenan lagi, 'kan?"

Samira mengangguk mendengar tebakan suaminya yang tentu saja benar.

"Nah, berarti ga papa sekali-kali Ayah yang masak," ucap suami Samira yang penuh pengertian itu. "Ada bahan apa aja di kulkas?"

Samira memeluk suaminya dengan sayang. Dia memang tidak salah menikahi pria ini.

"Makasih ya, Yah."

"Sama-sama, Bu."

"Itu ada sayur-sayuran: kol, kubis, bayam, kangkung, wortel, timun, tomat, toge, ga tau apa lagi. Ayah yang abis panen, 'kan, kemaren. Terus lauknya ada tempe, tahu, ikan. Terserah Ayah deh mau dibikin apa." Mas Ganjar mengangguk mendengar penjelasan istrinya. Sepertinya dia sudah punya ide akan memasak apa setelah ini.

Sementara sang suami mengambil alih urusan memasak, Samira kembali mengecek ponselnya. 

Oh iya, hampir aja lupa, batin Samira lalu memberikan catatan mental pada dirinya sendiri tentang sesuatu yang harusnya dibicarakan dengan sang suami segera.

"Alhamdulillah," ucap Samira dan Mas Ganjar bersamaan diikuti oleh suara kenes milik Zahira begitu mereka bertiga selesai berbuka puasa sekaligus makan malam.

"Nanti Adek mau bantuin Ibu cuci piring ga?" tanya Samira pada sang anak yang dibalas oleh anggukan riang bocah itu.

Nyatanya, membantu mencuci piring versi Zahira hanya berupa mengusap-usap piring-piring bekas makan dengan air setelah dicuci menggunakan sabun. Tapi tak apa. Setidaknya Samira sudah membiasakan Zahira untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jangan sampai Zahira seperti dirinya yang baru mengerti soal urusan rumah tangga setelah menikah.

REUNI (The Story After Balada Mahasiswa: FRNDS) | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang