08. AKSARA MATEMATIS

91 22 38
                                    

teruntuk   si   ulung,
nomor   satu    yang
pandainya           tak
tanggung-tanggung.

carik       ini       hanya
sekedar   jawab   atas
segala     yang    masih
gantung.  seharusnya
sih tidak membuatmu
bingung.         selamat
bergelimun,         dan
semoga     beruntung.

dayana, 2017


sebentang netra teruna agustus berpendar sayup-sayup, hampir redup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


sebentang netra teruna agustus berpendar sayup-sayup, hampir redup. semenjak seperempat jam lalu obsidiannya memerhati bubuhan aksara matematis pada secarik olahan pulp, hingga dirasa kelopaknya hendak mengatup.

sementara daksa lain yang jua satu ruangan, namun berbeda angan pula menggurat gestur rebahan. mengawang pikir dengan pola netra yang turut terbang pada langit-langit kamar berona terang.

nalarnya keterlaluan pekat, padahal yang dibayang ialah orang-orang terdekat.

"menurutmu keputusanku ngomong gitu ke ayah bener ngga sih, jun? aku takut bikin ayah kecewa nanti."

topiknya tidak cukup berat, pun seketika berhasil memenuhi brainstem lamat-lamat. entah beberapa waktu yang telah lewat, teruna penggagas senyum menawan sedikit membagi keluhannya pada sang kepala keluarga —yang saat itu tengah menikmati secangkir teh hangat.

perihal temali rasa yang ia rajut bersama soraya telah retas tanpa ada satu puing pun yang bisa dikutip 'selamat'.

"jadi sebenernya kamu nyuruh aku pikirin maksudnya ini atau masalah kamu sama soraya sih, lang?" protes arjuna dengan mengangkat potongan kertas pembuat pening sirahnya.

"lagian kenapa dayana harus buat beginian sih, padahal kan tinggal bilang iya atau engga doang. mumet ndasku!!" keluhnya lagi.

benar. coretan berupa rangkaian angka itu hasil buah tangan dayana yang katanya berupa jawab dari apa yang erlangga tebar. tapi baru menilik saja sudah membuat otak arjuna serasa terbakar.

konstelasi praja agustus masih membara agni pada lingkar-lingkar merah yang erlangga tandai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

konstelasi praja agustus masih membara agni pada lingkar-lingkar merah yang erlangga tandai. praduganya kuat tutur dayana adalah iya, tapi bagaimana pun bukankah erlangga harus bisa menerangkan bila dayana bertanya perihal pencocokan korelasi?

jawabannya sudah jelas ada, pun yang belum terpecah ialah titik awalnya darimana dayana mendapat angka 100 dan 1 yang dilabel sebagai objek terka?

"kamu udah duduk bareng dayana hampir 4 bulan loh lang, masa kamu masih ngga paham sama pemikiran dia?" labium arjuna masih ngedumel, hastanya membolak balik kertas tadi selaras memberengut sebel.

"kamu udah sahabatan sama dayana semenjak embrio  loh jun, masa kamu masih ngga paham sama pemikiran dia?" 

"asu!" sungut praja empat belas bulan lebih tua, tidak terima ungkapan miliknya ditimpal kembali padanya, walau atas dasar fakta.

disingkirnya kertas sejauh tujuh senti dari titik sebelumnya. meluruh hasta yang semenjak tadi gatal hendak menimang akustik milik erlangga.

semenjana teruna ulung jua si peringkat pertama masih menerka, "tunggu, kamu bilang apa tadi?"

"ASU!"

manik kembar si teruna tokoh utama berotasi malas, "jancok bukan yang itu!"

"halah wis sekarepmu!!"

selalu, tempramen seorang arjuna memang meledak-ledak ketika didebat. kini jemarinya diberi sibuk memetik akustik sembarangan dengan iras yang menahan kesal lagi basirahnya mengumpat.

pikirnya, daripada berselisih paham lebih baik mengabaikan dengan niat yang kuat dan menutup mulut rapat-rapat.

"3 bulan itu 90 hari berarti kalo 4 bulan, seharusnya 100 hari lebih kan jun aku duduk bareng dayana?! iya kan jun?!!"

hening.

tak ada sahutan dari lawan wicara yang agaknya sengaja menjeda konversasi mereka. murka tak mendapat dukungan berupa suara, si teruna oktober beranjak merenggut carik yang sudah setengah kusut —mirip seperti surai halomnya.

kembali ia memerhati torehan tangan dayana lepas sebelumnya menyamankan tumpuan awak pada dinding dekat jendela.

"ruang sampelnya itu hari ke 100 kita duduk bareng. jumlah kejadiannya itu kegiatan kita selama duduk bareng, nagih uang kas, ngantin bareng, ngerjain pr bareng, berangkat sekolah bareng, dan satu kelompok pas nyanyi sama sekelasnya dery. harusnya 100 lebih sih tapi bisa jadi dayana pakai 100 biar jadi lebih sederhana, iya ngga sih, jun?!"

arjuna melongo, bukan apa-apa. hanya saja seharusnya erlangga tahu kalau sebagian gumpalan otak kepunyaan kawannya itu telah hangus bahkan hanya dengan melihat rumus matematika, fisika, dan kimia.

dengan kata lain, 'ndasku mumet!' yang akan jadi konklusi dari penjabaran ketiga mata pelajaran tersebut.

"kon ngomong opo seh? aku ngga paham sama sekali."

anantara sisipan sekon, teruna oktober menabur tatapan sengit pada arjuna seolah meniup kerang tanda berperang. bisa jadi ada kesal yang merayap musabab rekan sejawatnya sedang dalam mode error 404.

mencebik ranum, lantas obsidian gulitanya bergeser pandang. "oh, peluangnya cuma satu, jun." tuturnya bernada lusuh dipenghujung klausa.

sontak tempurung si agustus mendongak dicerca debaran yang tak kalah berlari dalam benaknya. bukan cuma erlangga, tapi ia juga kiranya memahami rasa penolakan —sebab pernah menerima itu dari rania. bukan satu dua kali. bukankah amat sangat tidak etis untuk membahasnya di saat begini?

"eh —"

lagi, teruna pemilik nama pewayangan jua dijuluk gelar pemanah eminen dibuat tersentak. sedang si pelaku membiarkan soraknya mengambang tak beriak.



































































"—tapi kok frekuensi harapannya tak terhingga?"





FIN—

Sedia PeluangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang