tiga

33 10 3
                                    

"Tadi gua denger dari UKS, kayaknya pengumuman yang kata lo di suruh Bang Doy pake suara cowok? Lo berubah jadi cowok apa gimana? Perasaan suara lo nggak se-berat itu deh."

Pulang sekolah saya dengan Amber sedang mampir di warung makan Bu Jum. Katanya tadi Amber laper tapi kebetulan uang sakunya tinggal sepuluh ribu, nggak mungkin banget ke mekdi bawa uang sepuluh ribu buat makan ayam sama nasi yang mewah. Berakhir-lah makan di warung deket sekolah, sepuluh ribu dapat nasi, sayur, lauk, sama es teh se gelas. Lumayan.

"Tadi bukan gua yang ngomong." Jawab saya sambil menyeruput es teh yang kebetulan nggak pakai sedotan, hitung-hitung mengurangi sampah sedotan di muka bumi ini hahaha.

"Terus siapa? Bang Doy nggak jadi nyuruh lo? Tapi suara Bang Doy kan lebih alus lagi. Tadi suaranya kayak berat banget gitu."

Saya menghela napas, meletakkan gelas di meja makan, saya yakin kalau saya mengatakan fakta--Amber akan langsung menghujani saya dengan berbagai pertanyaan yang sudah pasti juga saya malas menerangkannya.

"Jangan bilang.." Kalimatnya tergantung, saya menyerit menatap Amber yang sedari tadi lip-tint nya nggak kunjung luntur. Keren banget brand-nya.

"Yang ngomong tadi Kak Jeno." Jawab saya sarkas lalu kembali meminum sisa teh yang sayang banget kalau harus di biarin nggak habis.

"TUHKAN ANJING, LO MAH NGGAK CERITA-CERITA IH."

"Gua harus cerita apa emangnya?"

Amber menepuk pundak saya lalu kembali bicara santai, sudah sama vibes nya seperti Mario Teguh yang sedang memberikan motivasi atau mirip-miripnya dengan motivator dadakan yang di undang menjelang ujian dan selalu mengisi acara dengan, "Coba bayangin, pas pulang nanti orang tua kalian..." Hahaha, nyatanya sudah nggak mempan untuk kaum yang benar-benar sudah patah semangat seperti saya.

"Ya lo cerita udah sampe mana pendekatannya, jangan diem mulu. Lo nggak makasih apa gua udah cerita banyak tentang lo ke Jeno sampe anaknya kesel sama gua??"

"Oh anjing lo yang ngasih tau ke Kak Jeno. Eh panggil Jeno aja deh, udah agak aneh kalo manggil Kak Kak kak." Kata saya.

"Lah udah nggak jadi perbudakan senior lagi lo? Bagus deh."

"Tapi sumpah deh gua manggil Jeno nggak pake Kak lagi karena kesel sama dia."

Perempuan di hadapan saya lantas tersedak minumannya sendiri, "Hah baru sehari lo udah ngapain aja sama Jeno?"

"Dia yang ngapa-ngapain, bukan gua."

"Dia ngapain lo bego? Haduh anak gua nggak kenapa-kenapa kan?"

Saya berdecak lalu menarik ponsel dari saku saya, membuka layar kunci yang menunjukkan pukul empat sore dan saya masih belum sampai di rumah. 

"Dia bilang gua cakep."

Amber makin memanas, dia menoyor kepala saya  tanpa alasan valid. Masa iya tau saya di puji cakep lalu se-enaknya dia menoyor kepala saya dengan lumayan keras seperti orang mengamuk? Oke ini aneh  banget. "Apaan bego, kok lo malah noyor gua sih?"

"Itu tandanya dia suka sama lo, aduh lo nggak bisa nge-logikain apa gimana sih?"

Saya kembali menghela napas lalu memasukkan kembali ponsel saya ke dalam saku, "Hadeh, suka apa emang orangnya aja yang fuckboy?"

"Sejak kapan pandangan lo ke Jeno jadi begitu? Perasaan kemarin-kemarin nggak deh. Eh lo nggak habis di jedotin ke tembok kan sama Jeno?"

"Dia bilang gua cakep tuh masih ada lanjutannya."

"Apa?"

Saya bangkit sambil menggendong tas, begitu juga Amber yang mengikuti sekaligus mendengarkan saya dengan baik.

"Karena gua mirip mantannya."

"Bajing?

-

Sudah seharian saya di hadapkan dengan hari yang benar-benar gila mengusik jiwa dan batin saja. Kalau di simpulkan, hari ini sekolah lalu perkara Bang Doy hingga Jeno dan saya yang mulai agak risih di meet pertama kalinya. Oh iya, hari ini hari pertama kali saya bertemu langsung sama Jeno tapi dalam artian benar-benar berhadapan.

Sebelumnya nggak pernah, hahaha.

Tapi apa yang saya dapat hari ini? Bukan euforia yang jatuh di kepala saya, malah beban over thinking yang makin bertambah banyak. 

Apa tadi katanya? Mirip mantan? Di kira harga toko kali di sama-samakan.

Tapi apa juga katanya tadi? Cakep? Sinting.

Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan kisah saya sebagai admirer yang sudah berlangsung selama 2 tahun. Hah, dua tahun serius? Saya baru sadar sudah lumayan lama, mulai dari saya masuk sekolah hingga Jeno yang kalau di pikir-pikir juga sudah masuk tahun terakhir sekolah, sebentar lagi. Dan--sepertinya takdir saya memang begini-begini saja. Mengawali dan mengakhiri cerita SMA saya dengan malas-malasan belajar tanpa prestasi dan tidak menoreh sedikitpun cerita yang menarik. Apa lagi drama percintaan konyol yang niatnya mau saya  bangun dengan Jeno? Hahaha, saya bodoh banget.

Sudah jelas tidak mungkin.

Kalau mungkin-pun saya bakal menolak.

Jujur sih, saya lebih menilai sikap daripada visual apa lagi ketenaran seperti yang Jeno bilang tadi. Kalau begitu berarti Jeno jatuhnya sudah menilai saya sebagai tukang pansos? Hah, saya langsung diskualifikasi dari tipe saya.

Dan di pukul satu pagi ini juga saya menatap langit-langit kamar yang sama sekali tidak aesthetic seperti milik orang lain sambil bicara pelan,

"Oke Jeno, bye. Gua nggak suka lagi sama lo. Lo di first meet udah ngeselin banget bangsat. Bye."

Tingg

Saya yang paling nggak bisa ngebiarin notif masuk di biarin langsung ngambil hp di laci, untung nggak jauh-jauh dari kasur.

Kaget banget saya,

"Sorry gua nggak terlalu care sama lo karena mau move

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Sorry gua nggak terlalu care sama lo karena mau move."


to this :

to this :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

oke,

bismillah,

saya mau klarifikasi.

"SORRY GUYS, GUA TARIK OMONGAN GUA YANG TADI. INI TYPINGNYA GANTENG BANGET ASU???"

your songs - JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang