Dion membiarkan pendengarannya menangkap lagu yang berjudul Stuck With You untuk mengisi heningnya acara menyetir siang ini. Sekitar jam setengah dua tadi, sang Bunda menelepon untuk segera datang kerumah neneknya yang memakan waktu sekitar empat puluh lima menit untuk sampai disana.
Dion sebenarnya tidak tinggal di Bandung, ia adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas yang berada di Jakarta. Dirinya pergi ke Bandung sekarang ini semata-mata untuk menghadiri kumpul keluarga dengan tujuan merayakan ulang tahun neneknya, sekalian temu kangen dengan sanak saudara.
Dering telfon terdengar lagi untuk kesekian kalinya, lelaki itu mendesah. Mulai jengkel ketika melihat siapa yang menelefonnya. Dengan diawali nafas panjang dan hembusan pelan guna meredam emosinya, Dion mengangkat telefon tersebut "Waalaikumsalam, ibunda cantikkkk" katanya dengan menekan kata terakhir.
"Dion, dimanasih kamu? Ini Mama udah nanyain terus. Yang dari Jakarta aja udah pada sampe loh. Udah jalan dari hotel belum sih?" Suara Bunda di ujung sana terdengar jelas di telinga Dion
Lelaki itu membetulkan kacamatanya yang turun, "Iya ibunndaaa, Dion masih dijalan. Mobil yang ada di jalan raya kan bukan cuma mobil Dion aja, jadi gabisa kebut-kebutan"
Suara riuh terdengar di ujung telefon, bersaut-sautan dengan suara Bunda yang makin giat mencecarnya untuk cepat sampai ke rumah Nenek. Dion menghela napas panjang kala Bundanya mematikan telefon tersebut secara sepihak.
Ia tak habis pikir, apa sih yang membuat Bunda terlalu memburu-buru nya hingga menelfon berkali-kali? Ah jangan lupakan insiden tabrakan di taman hotel tadi akibat terburu-buru, bukannya bikin cepat malah jadi memperlambat. Padahal dari awal Dion sudah mengabari Bunda bahwa ia tidak bisa datang tepat waktu karena harus ikut online meeting untuk keperluan hima.
Dion mengingat-ngingat kejadian yang baru saja ia alami tersebut, dimana ia menabrak seorang perempuan asing lalu mengajaknya makan siang sebagai bentuk upaya dirinya bertanggung jawab. Padahal mengajak kenalan saja belum, tapi langsung mengajak makan siang. Sok akrab banget nggak sih? Dion jadi khawatir, perempuan berambut sebahu yang ia tabrak itu merasa terganggu atau menganggap dirinya annoying.
Instrumen piano yang berasal dari radio mobilnya berhenti berputar kala Dion sampai didepan pagar besar kediaman neneknya. Ia meng-klakson dua kali memberi kode kepada Pak Agus, selaku penjaga rumah untuk membukakan pagar sehingga mobilnya dapat masuk.
Pagar terbuka lebar diiringi dengan pemandangan taman kecil yang dirawat sendiri oleh neneknya. Ah, sudah lama Dion tidak kesini. Awalnya memang dia tinggal di rumah ini bersama kedua orangtuanya, namun semenjak lulus SMA ayahnya memboyong Dion sekeluarga untuk pindah ke Jakarta menyisakan Mama, Papa-sebutan untuk nenek dan kakeknya- serta Bi Rina si adik bungsu ayahnya yang belum menikah. Karena kepindahan itu pula, Dion jadi memilih untuk menuntut ilmu di salah satu Universitas di Jakarta. Dion lantas menginjak gas masuk ke pekarangan, tak lupa ia membuka kaca jendela bermaksud untuk menyapa Pak Agus yang telah lama tak dijumpainya.
Baru saja Dion menutup pintu mobilnya, suara teriakan terdengar. Teriakan dari seseorang yang dulunya memiliki suara melengking tapi sekarang malah terdengar lebih berat dari suaranya. Dion terkekeh, lalu menghampiri si kembar yang tengah duduk-duduk lengkap dengan raket badminton di tangan masing-masing.
"Mantap si Aa tambah kasep euy" sorak Naka lengkap dengan logat khas sundanya
"Ngapain pada diluar? Kumpul keluarga malah main badminton"
"Sore-sore enak A, adem. Didalem hareudang, sedang membahas topik berat"
Dion mengernyit, "kenapa gitu Bay?"
Naka melotot kala mendengar kaka sepupu yang berjarak tiga tahun darinya itu memanggilnya dengan sebutan 'bay'. Ya memang sih, 'Bay' adalah bagian dari namanya juga, tapi nggak keren aja gitu dipanggil 'Bay'.
"Naka A, jangan ngajak ribut gua lu sore sore" sungutnya yang hanya ditanggapi dengan kekehan kecil dari Dion.
Biru yang sedari tadi diam saja akhirnya membuka mulut, "A, lo buruan dah kedalem. Itu yang didalem dari tadi emang nungguin lo makanya ditelfon-telfon bunda terus kan dari tadi?" Nah, ini Biru. Pembawaannya tenang dan lebih suka to the point tanpa basa-basi. Berbeda dengan kembarannya yang terkesan selengean dan banyak omong.
Baru saja Dion akan bertanya kejelasan tentang perkataan Biru, suara menggelegar dari teras terdengar memanggil namanya. Membuat manusia yang hobinya bercanda bernama Naka tertawa keras. "IYAA BUN, YEUH A DION UDAH SAMPE" saut Naka setengah berteriak.
"Udah sono samperin. Selamat bertemu masa depan ya A" ledek Naka sambil menendang-nendang kecil betis Dion, bermaksud memerintahnya agar segera menghampiri Bunda.
Dion menghampiri Bundanya. Diawali dengan menyalimi tangan, hingga diakhiri dengan sang Bunda yang mendorongnya pelan untuk masuk ke ruang tamu. Cowok itu melongok, memunculkan bagian kepalanya berniat mengintip siapa saja yang berada disana.
Dengan sofa yang melingkari sebuah meja panjang, disana duduk Ayahnya, Mama, Papa, Bi Reni, Tante Dewi, Om Bara, dan.... Tante Siska, suaminya, serta... Revita.
"Aduh mampus gue" gumam Dion
Dari awal, Dion sudah merasa bahwa sikap Bunda yang terlalu memintanya untuk cepat datang agak aneh dan mencurigakan. Namun, Dion tidak berpikir bahwa yang sedang menunggunya bukan hanya Mama, Papa, serta keluarganya. Melainkan ada 'keluarga' lain yang turut serta hadir menunggu kedatangannya.
Revita. Nama itu, nama seseorang yang pernah mengisi hari-hari bahagia Dion. Ya, dia adalah mantan kekasih Dion yang sekarang dijodohkan kembali oleh orangtuanya. Revita adalah cucu dari sahabat Papa-kakek Dion-, mungkin keduanya sudah berjanji akan menjodohkan cucu-cucu mereka, atau bagaimana detailnya Dion tak mengerti. Yang jelas, Dion merasa dirinya selalu dikejar-kejar oleh kedua orangtuanya untuk dipaksa bertemu dengan Revita.
Dirinya tak tahu bagaimana perasaan Revita. Mungkin gadis itu terlihat baik-baik saja ketika dijodohkan dengan mantan kekasihnya, namun Dion tidak. Dion adalah lelaki dengan prinsip pantang balikan dengan mantan. Walaupun hanya mantan kekasih semasa SMP, tetapi tetap saja. Jawabannya tetap tidak.
Laki-laki tegap berkacamata itu terkesiap kala Bunda menepuknya dengan sedikit dorongan dari belakang, membuat kepalanya terlalu terdorong masuk dan terlihat jelas oleh orang-orang yang sedang bercengkrama di ruang tamu.
"Waduhh, si kasep cucu mama. Yang di tunggu-tunggu nih" Suara Mama terdengar melengking ditelinganya. Dion maju, menyalimi wanita cantik dengan kulit yang sudah terlampau keriput itu.
Mama menggeser duduknya, lalu memberi kode lewat tatapan mata, memerintahnya untuk duduk diantara Mama dan Revita yang kini tengah duduk malu-malu. Aduh, nenek-nenek ini sepertinya sangat bersemangat untuk menjodohkan cucunya.
Berakhirlah Dion duduk disana, merapatkan paha berusaha untuk telihat sopan. Dari jendela Dion bisa melihat Biru dan Naka yang duduk ditaman dengan si keparat Naka yang tengah meledeknya disertai dengan tawa. Rasanya Dion ingin menukar posisinya dengan Naka agar adik sepupunya itu diam. Menyenangkan sekali dia duduk duduk disana menikmati hembusan angin sore, sementara Dion disini harus menyimak dan sesekali menanggapi obrolan yang menurutnya tidak penting dan terkesan basa-basi. Tidak menarik sama sekali. Yah seputar bisnis, pertanyaan-pertanyaan mengenai kuliah, dan... sesuatu yang berhubungan dengan perjodohan. Dion kini berharap waktu cepat berlalu agar ia bisa terlepas dari obrolan sialan yang membosankan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Bandung
Fiksi Remaja"Inget Yan, di Bandung tuh bukan cuma ada asia afrika sama seblak aja. Disini juga ada cerita kita" Bayanaka pikir, semua cewek itu sama aja. Dia sempet mikir kayaknya lebih enak sendiri aja daripada punya pacar yang harus dikabarin tiap menit. Ter...