Teror berupa surat dan bunga mawar semakin jadi membuat Fera dan Dion kepikiran dan selalu dihantui rasa takut. Fera selalu drop dan ingin rasanya menghentikan semuanya akan tetapi, dia tak tahu harus mulai dari mana. Satu-satunya kunci ialah Fera harus menemukan akar permasalahan yang selama ini terjadi. Tapi di mana?
Beberapa hari terakhir. Fera dibuat takut sebabnya teman terdekatnya kecelakaan. Siapa lagi kalau bukan Dion. Fera menjenguknya dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi Dion menceritakan semuanya. Saat ia pulang dari bermain di malam hari tak sengaja sebuah mobil menabrak motornya dan Dion sampai terguling di aspal. Beruntung Dion diselamatkan oleh orang asing dan dibawa ke rumah sakit terdekat, menjalani serangkaian perwatan sampai sekarang. Fera mengeratkan genggaman tangan Dion.
"Ini pasti ada hubungannya sama orang itu Yon. Gue nggak tahu apa maksudnya melakukan ini semua. Gue capek, pikiran gue terkuras. Satu sisi gue harus tenang dan satu lainnya membuat gue takut seperti sekarang ini lo terluka pasti ada hubungannya sama gue Yon. Gue ...," ungkap Fera dengan emosi meledak. Dion memeluknya erat.
"Ini bukan salah lo Fer, ini kecelakaan oke. Gue yang nggak hati-hati mangkanya jadi kayak gini. Jangan nangis."
Fera meredam emosinya berakhir dengan tangisan. Dion menenangkan Fera mungkin ini satu-satunya cara membuat Fera bernapas.
Dion dipulangkan karena luka-lukanya sudah membaik. Fera ikut bersamanya. Fera tertidur dalam mobil. Dion menatap keluar jendela. Malam ini sunyi tanpa rembulan menghiasi.
Angin berhembus kencang. Sedetik kemudian hujan turun. Pak Jaya-supir pribadi Dion keluar mobil sambil membawa dua payung. Fera digendong, sedangkan Dion berjalan di sisinya. Pintu rumah terbuka, mereka masuk ke dalam kemudian berjalan menuju kamar. Dibaringkan tubuh Fera perlahan. Pak Jaya undur diri dan Dion duduk di pinggir kasur. Ditatapnya lama wajah Fera, Dion ikut merasakan sakit di dadanya melihat Fera seperti ini. Dion bangkit dan duduk di meja. Tangannya meraih bingkai foto.
Foto Fera dan Dion yang tersenyum. Dion mengusap foto itu dan kembali menyimpannya. Dion beranjak dari kursi dan berdiri di balkon. Dipandangnya langit yang menurunkan hujan, hawa dingin menyelimuti. Dion merenung sambil memainkan tangkai bunga mawar.
Terakhir sepucuk surat tertulis
Waktumu sudah habis
Aku akan mengambilnya dan menjadikannya satu-satunya milikku seorang.Dion mencengkeram kuat tangkai mawar sampai patah lalu kelopak bunganya tercerai-berai. Dion menatap bunga yang terjatuh, dia berjongkok seraya mengambil satu kelopak. Setetes embun meluncur tanpa jeda.
Dion menangis dalam diam. Sekali lagi dia tak bisa melindungi Fera. Dion tak berdaya dengan semua ini. Dia merasa lemah dan putus asa.
Rafka, gumamnya.
Satu-satunya orang yang Dion ingat yaitu saudara kandungnya yang kini telah tiada.
Gue harus apa? Sudah cukup gue kehilangan lo jangan ada lagi yang kehilangan. Gue takut Raf, please bantu gue ....
Dion berbalik badan menghampiri Fera yang tertidur. Tangannya mengusap lembut pipi Fera. Dion memeluknya erat.
Maafin gue Fer karena gue lo jadi sering kepikiran dan sakit. Akan gue usahain lo kembali seperti semula menjadi Fera yang periang dan pastinya selalu baik-baik saja.
Dion menutup matanya. Dia pun tertidur di samping Fera tak menyadari sepasang mata merah menatapnya sedari tadi. Ada kilatan kerinduan dan keinginan balas dendam.
Sosok yang akan menyakiti dan tak mengenal ikatan ini akan menyerang mereka yang berontak dan pastinya tak patuh. Semua aturan yang dibuat harus ditaati.
Berjalan perlahan tangannya siap menerkam, sedikit lagi dan sampai. Cengkeraman di leher Fera kuat. Tubuhnya terangkat dan melayang. Fera berontak, masih menutup mata akan tetapi Fera merasakan sakit yang luar biasa. Fera melebarkan matanya seketika melihat mata merah menyala jangan lupakan seringainya yang menyeramkan. Ekor matanya melirik Dion yang terlelap dengan susah payah tangan Fera meraih Dion seraya memanggil namanya.
"D-Dion ... to-long."
Cengkeraman tangannya semakin kuat. Fera tak sanggup lagi, dengan napas tersengal. Fera berucap, "Selamat tinggal."
Pusaran hitam mengelilingi Fera masuk ke dalam sana, sedetik kemudian bayangan itu mendengar teriakan.
"Rafka Adinata," panggilnya dingin. Bayangan itu membeku. Sesosok pemuda berdiri di belakangnya.
"Lepasin Fera! Sekarang juga!" perintahnya. Bayangan itu mengabaikannya dan fokus membuka gerbang hitam. Fera menatap pemuda itu sayu.
Pusaran hitam membesar. Fera terhisap ke dalamnya. Bayangan itu ikut masuk akan tetapi, lengannya ditarik sang pelaku bukan lain ialah Dion.
"Gue mohon Raf. Lepasin Fera. Please ... jangan sakiti dia, Fera nggak salah jangan hukum dia atas kesalahan yang tak diperbuat. Gue mohon Raf ... demi gue," pintanya sambil menangis.
Bayangan itu menyentak tangan Dion dan tubuh Dion terpental menabrak lemari. Alhasil Dion terbatuk dan terjatuh ke lantai. Matanya menatap Fera sendu.
Dion berdiri kemudian berjalan gontai menghampiri mereka.
Tangannya meraih tangan Rafka kini mereka berhadapan. Dion tersenyum tipis."Akhirnya ... kita ketemu lagi ya, meski harus seperti ini-gue kangen lo Raf! Udah ya, sudah cukup bermainnya," bujuk Dion dengan napas menipis. Bayangan di depannya tak bergeming. Tangan satunya mencekik leher Dion. Dia tak berontak melainkan pasrah.
Dion tak menyangka bahwa pelaku dari teror selama ini adalah saudara kembarnya. Itu artinya Rafka masih hidup dan memilih bersembunyi di balik layar. Rupanya sang kembaran mengincar nyawa Fera dikarenakan wajah Fera yang mirip dengan orang yang dibenci. Semua surat dan tangkai bunga mawar adalah permainan kecil yang dibuat olehnya. Dion mengetahuinya saat melihat buku diary miliknya. Sehari sebelumnya saat Dion tertabrak tak sengaja dia bertemu dengan bayangan yang mirip saudaranya, tetapi Dion tahu bahwa itu dirinya, Dion sangat mengerti tabiat seorang Rafka
Rafka suka bermain petak umpet dan yang kalah akan dipermainkan. Dion tak ingin Fera menjadi mainannya, sekuat tenaga Dion menghalangi jalan Rafka.
Cengkeramannya semakin kuat. Fera dan Dion saling pandang terus tersenyum samar. Bayangan-Rafka menggeram lalu menabrakkan keduanya sampai mereka tak sadarkan diri. Mereka terjatuh ke lantai dengan suara nyaring.
Dion membuka matanya sambil berkata, "Gue tahu lo baik dan akan seperti itu sampai kapanpun." Pandangan mereka kembali bertemu dan keduanya memilih diam.
At Gedung Tua
Rafka sang bayangan membawa Dion ikut bersamanya sebagai pengganti nyawa Fera. Dengan senang hati Dion mengikuti ke mana pun Rafka pergi.
Sebuah pintu menjulang tinggi dengan ukiran kayu beserta patung mengelilingi. Tatapan Dion kosong seakan sudah dihipnotis. Rafka membuka gerbang sebuah cahaya bersinar. "Mulai sekarang ini tempat yang akan kita tinggali."
Dion mengangguk pelan. Kakinya melangkah ke dalam. Bayangan-Rafka menatap punggungnya yang perlahan menghilang ditelan kegelapan. Dion menoleh ke belakang dan mendapati Rafka tersenyum ke arahnya. Pintu kayu tertutup rapat untuk selamanya.
TBC
Yoyo, akhirnya terungkap pelaku yang sebenarnya rupanya dia ....
Akankah Dion terlepas dari genggamannya dan berhasil kabur atau memilih tinggal dengan kembarannya?
Apa yang akan Fera lakukan demi menyelamatkan Dion?
Penasaran?
See you next part~
KAMU SEDANG MEMBACA
Topeng Kaca [END]
Mistero / Thriller[FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] Tanggal 09 Maret 2021 Rank #2 - Jerit dari 10 cerita Tepat jam 12 malam seorang gadis berdiri di atas gedung. Tatapannya kosong dan hidupnya berakhir saat itu juga. Semuanya terjadi begitu saja bagaikan kaset rusak. Teriak...