Sebuah Peringatan

41 29 5
                                    

Keesokan Harinya

Kepala Dion menjadi sasaran singa lepas. Lebih tepatnya dijadikan sasak tinju oleh Fera dikarenakan dirinya berani melupakannya.

Apa salah dan dosaku sayang?

Dion yang baru tiba di depan gerbang rumah Fera sudah diomelin habis-habisan jangan lupakan cubitan serta bacotannya yang terus-menerus terulang. Masih dengan raut wajah kesal Fera menatap Dion sinis. Dion hanya pasrah bisa jadi Fera lagi datang bulan, Dion memaklumi kondisinya dan tak mau berdebat juga.

Telinganya sudah dikasih siraman rohani olehnya. Mau tidak mau Dion mengikuti kemauan Fera. Bebas.

"Buruan jalan!" perintah Fera.

Dion menyalakan mesin motor dan melesat pergi meninggalkan rumah Fera menuju ke sekolah. Selama di perjalanan mereka memilih diam. Angin sepoi-sepoi menyapa dan sekilas numpang lewat.

Lima belas menit motor hitam sampai di parkiran. Fera turun duluan dan melengos masuk ke area sekolah. Dion bernapas lega setidaknya kekesalan Fera memudar tanpa harus melihat kegantengannya yang semakin hari semakin meningkat.

Dion melenggangkan kakinya menyusuri koridor banyak kau hawa yang berdecak kagum melihat pangeran lewat sampai mereka berteriak histeris memanggil namanya. Dion ber- kiss bye. Mereka semua senang.

Sesampainya di kelas Dion disambut dengan tikar merah dan angin kencang yang menerbangkan rambutnya. Dion semakin terbang tapi sayang yang namanya haters pasti ada salah satu temannya mencemooh dirinya.

"Alay banget anjir. Geli gue liatnya," cela Ozi. Dion mendengus sebal.

"Iri bilang bos," balas Dion sinis.

Ozi Syahputra teman sebangku Dion ini suka sekali menghina lewat kicauannya yang pedas dan tanpa disaring terlebih dahulu. Pokoknya kalau Ozi sudah bersuara bakalan ambyar.

"Makin tenar aja nih bos. Bagi tipsnya dong," pinta Farel.

Dion berdehem lalu berkata, "Tampan, mapan dan nggak kismin."

"Anjir, tertohok gue. Mundur alon-alon dah," ucap Farel lesu. Teman-temannya yang lain malah menertawakan Farel serta memberi jempol ke arah Dion. Hanya Ozi yang acuh tak acuh.

-----

Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh bel berbunyi waktunya istirahat. Dion berkumpul dengan teman-temannya. Tadinya ingin ke kelas Fera mengajaknya pergi ke kantin akan tetapi, diurungkan pasti Fera masih kesal padanya daripada kena amuk mending Dion menepi.

Di sepanjang koridor. Banyak kaum hawa yang terang-terangan menatap Dion tanpa berkedip. Teman-temannya pun ikut jadi pusat perhatian. Dion melangkahkan kakinya ke barat. Sesampainya di kantin. Dion melihat Fera berjalan seorang diri. Dion berinsiatif mendekatinya berniat mengangetkan eh malah senjata makan tuan.

"Elah, seharusnya lo kaget dong," protes Dion saat ditatap datar oleh Fera.

Mereka duduk di pojokan. Dion menatap Fera raut wajahnya sudah tidak kesal lagi itu artinya Dion aman. Fera diam saja tanpa bersuara. Dion jadi khawatir lantas mencolek bahu Fera dan ia pun menoleh.

"Masih kepikiran? Apa gimana? Jangan diam mulu takutnya lo kesurupan setan burik doang," ujar Dion seraya memainkan kedua alisnya.

Fera menghela napas pelan.
"Gue pun gak tahu sedang mencoba melupakan. Namun, tak bisa. Pusing kepala gue."

Dion mengusap punggungnya.
"Kalau berat jangan dipendam sendiri. Ntar lo sakit, sini cerita sama babang tampan."

Fera menoyor kepala Dion. "Bangbangtut elo mah," cibirnya. Dion cengengesan.

Perlahan Fera menceritakan semuanya yang telah dia alami akhir-akhir ini tentang mimpinya yang berkaitan dengan sekolah ini serta bermacam suara terdengar walau samar. Dion mengusap dagunya mulai berpikir siapa tahu ia menemukan jawaban. Sialnya sulit dipecahkan.

"Tetap semangat! Saran gue sih, jangan terlalu dipikirin ngikutin arus aja. Biasanya kan lo begitu. Nggak terlalu diambil pusing," saran Dion dan Fera menatapnya intens.

Dion merinding disko saat ditatap serius seperti itu. "Gue tau gue ganteng. Mulai kepincut nih ye," celetuknya dan dihadiahi cubitan pedas.

"Tumben lo berpikir positif bisanya nething mulu," hina Fera. Dion mendengus. Melihat Fera kembali tersenyum sudah cukup untuknya. Fera dan Dion membeli pempek dan cimol. Mereka makan bersama.

------

"Fera," panggil guru yang lewat. Fera mendekat dan ia disuruh mengambil bola di gudang. Guru itu pun pergi akan tetapi, ada yang aneh dengan raut wajahnya. Dia tak berekspresi sama sekali lebih tepatnya berwajah datar.

Fera menggelengkan kepalanya. Langkahnya menuju ke arah gudang sambil bersiul meramaikan suasana karena arah ke gudang cukup sepi dan gelap. Fera berhenti saat melihat bayangan yang menatapnya tajam. Fera mundur tiga langkah ingin berbalik sayangnya dia terlempar ke dalam gudang.

Fera berteriak histeris akan tetapi, tidak ada satupun yang mendengar. Pintu gudang tertutup. Fera meraba sekitar dan menemukan pentungan bisbol dan mengarahkan ke depan.

"Siapa lo dan mau apa?"

Bayangan itu tak menjawab melainkan melangkah pelan mendekat ke arah Fera. Tangan Fera bergetar. Dia berjongkok dan merampas pentungan itu dan melemparnya ke lantai sampai bersuara nyaring.

Dagu Fera dicengkeram dan dia berbisik mengerikan, "Hidupmu akan berakhir dari sekarang, tidak akan ada yang menyelamatkan nyawamu."

Fera mengepalkan tangannya terus meninjunya keras dia mundur beberapa langkah.

"Hidup mati seseorang bukan elo yang ngatur karena lo bukan Tuhan. Orang kayak lo seharusnya dimusnahkan dari dunia ini," desis Fera tajam.

Bayangan itu tertawa terbahak-bahak. "Jika aku mati, orang terdekatmu akan menghilang ... ikutlah denganku. Kita buat dunia baru dan pastinya hanya kita yang menghuni," bisiknya ke telinga Fera. Fera dibuat kaget saat bayangan itu berada di belakangnya.

Rambut Fera diusap dan dijambak secara bersamaan. Fera meringis tapi sayang dia tak peduli. "Sampai jumpa lagi meski kau menghindar aku akan selalu mengawasimu, camkan itu!"

Angin kencang datang beserta Jendela kecil yang terbuka. Bayangan itu berubah menjadi gumpalan angin lalu pergi. Fera terbatuk dan mengeluarkan sisa tenaganya.

Akibat hantaman tadi membuatnya lemas dengan susah payah Fera menggapai pintu akan tetapi, semuanya gelap. Fera jatuh pingsan.

----

Fera mengerjapkan matanya perlahan tertutup dan terbuka lagi sampai matanya melihat dengan jelas barulah Fera membuka matanya lebar. Dia bangkit dan merasakan sakit di seluruh tubuhnya.

"Kamu nggak apa?" tanya perempuan bersurai hitam. Fera menoleh dan penglihatannya masih buram.

"Istirahatlah, kau aman sekarang," ucapnya lembut. Fera memegang kepalanya yang sakit mau tidak mau Fera memilih beristirahat.

Perempuan bersurai hitam menatapnya sendu. Dia menggenggam tangan Fera. "Dia kembali dan siap menghancurkanmu. Berhati-hatilah. Kuatkan hatimu agar tidak goyah dan pertahankan apa yang harus dipertahankan. Jangan takut. Jadilah kuat," pesannya lalu perempuan tak dikenal itu pergi. Bisikan lain memberinya peringatan. Fera menutup matanya ia tertidur pulas.

----

Dion menatap keluar jendela. Pikirannya selalu terfokus ke masalah Fera. Dion pun ikut mengkhawatirkan keadaannya. Apa yang harus dia lakukan agar Fera terlepas dari masalah yang kini dialaminya? Dion harus menghentikan semuanya sebelum ia kehilangan satu-satunya orang berharga dalam hidupnya. Fera sangat berarti untuk Dion.

Gue harap lo baik-baik saja. Fer!

TBC

Sanggupkah Fera menghadapi semuanya?
Akankah Dion menemukan jawaban yang selama ini membuatnya penasaran?

Yuhu, I am is back 👐

Jangan lupa tinggalkan jejaknya ~

See you next part 🙆

Topeng Kaca [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang