One

639 105 8
                                    

Suasana sedikit ramai. Pengunjung toko terlihat lebih banyak dari biasanya. Orang-orang keluar masuk silih berganti. Petugas kasir tampak sibuk, sekadar untuk minum pun seolah mustahil karena terlalu banyak yang sedang mengantre.

Namun, hal yang membuat Cai Ding kesal adalah sebagian besar dari mereka datang hanya untuk menggoda atau berbuat usil dengan meminta nomer telepon ataupun alamat rumah. Cai Ding mati-matian menahan marah karena bagaimanapun ia harus profesional dalam bekerja.

"... Cai Ding, bisakah aku meminta nomor ponselmu? Alamat rumahmu? Nama kampusmu?"

Begitulah sekiranya beberapa pertanyaan yang membuat kepala Cai Ding berdenyut. Ingin sekali ia melempar buku yang sedang ia masukkan ke tas pembungkus milik beberapa pembeli di hadapannya.

"Maaf, Nona-nona yang baik. Bisakah kalian tidak menggangu waktu kerjaku?" Cai Ding mengembuskan napas lelah, "aku sungguh lelah jika harus berhadapan dengan kalian yang lagi-lagi ke sini hanya untuk berbuat usil seperti ini." Cai Ding berusaha sehalus mungkin dalam berbicara.

Beberapa di antaranya mengangguk mengiyakan. Namun, tidak sedikit yang berdecak kesal karena mendapat tanggapan yang di luar perkiraan mereka. Cai Ding sungguh maklum. Anak-anak usia remaja sering kali banyak bereksperimen dengan apa saja yang sekiranya menarik perhatian mereka.

Sesuatu yang sangat wajar sebenarnya. Wajah Cai Ding yang manis serta terlihat sangat bersahabat, menarik perhatian banyak kalangan. Jika bukan karena ia begitu membutuhkan sebuah pekerjaan, ia pasti lebih memilih untuk bersantai di rumah sambil melihat tv ataupun mengerjakan tugas kampus.

"Maaf, nona. Bisa tolong menyingkir sebentar? Aku ingin membayar buku." Suara berat yang terkesan seksi membuat beberapa gadis yang sedang berkerumun di depan meja kasir berhenti bergosip. Mereka memutar tubuh perlahan, melihat siapa pemilik suara yang begitu menggoda indera pendengaran mereka.

Mereka terdiam sesaat. Beberapa bahkan berbisik, melihat bekas luka di wajah pemuda bersuara berat itu yang sepertinya permanen. Sorot mata setajam elang, rahang tegas, serta perawatan tinggi membuat mereka sempat berpikir bahwa pemuda itu adalah seorang perwira perang.

"Bisakah?" Pemuda itu memohon, tersenyum sekilas yang tanpa ia sadari membawa pengaruh yang luar biasa untuk beberapa pasang mata si hadapannya.

"Eh, orang itu tersenyum!" Salah satu dari mereka berucap lirih, tetapi masih mampu didengar beberapa orang di sana. Bisa jadi pemuda itu pun juga mendengarnya.

Suasana kembali riuh. Beberapa gadis ada yang masih setia berkerumun di depan meja kasir. Mereka seolah melihat pemandangan yang langka. Melihat pemuda manis serta pemuda pemilik senyum menawan di saat yang bersamaan. Cai Ding sampai harus memijat pelipis karena lelah serta jengkel melihat mereka yang seolah enggan untuk beranjak dari hadapannya.

"Ayolah, aku sedang bekerja. Tidak bisakah kalian keluar dulu? Aku takut kalian akan membuat yang lain merasa tidak nyaman!" Cai Ding menjelaskan. Ia sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk menghadapi tingkah kekanakan manusia-manusia kurang kerjaan serta terkesan membuang waktu.

Namun, di detik berikutnya, kerumunan itu meninggalkan Cai Ding setelah sebuah kalimat sederhana terlontar dari pemuda pemilik senyum menawan tersebut.

"Ladies, bisa tolong tinggalkan kekasihku sebentar! Ia sedang sibuk, oke!" Pemuda itu tersenyum sekali lagi. Sebuah jurus yang ampuh untuk mengusir kerumunan karena pada akhirnya mereka harus menelan pil pahit mendengar pemuda manis yang selama ini mereka incar sudah memiliki kekasih yang tampan.

"Aiya, kami semua patah hati!" Sungguh sebuah ironi. Seorang Cai Ding harus kehilangan banyak penggemar karena ucapan seorang pemuda dengan luka di pipi yang telah mengaku sebagai kekasihnya.

"Bisa tolong bungkus ini untukku, Tuan---" Pemuda itu tampak sedang berpikir.

"Cai Ding, namaku Cai Ding. Lebih tepatnya aku penjaga kasir paling tampan dan aku bukan kekasihmu!" Cai Ding meninggikan suara yang ditanggapi dengan sebuah cengiran dari pemuda pemilik senyum menawan di hadapannya.

"Aku tahu. Tidak perlu berteriak. Seharusnya kamu berterima kasih karena bisa lepas dari sekumpulan rubah betina." Pemuda itu menyombongkan diri seraya tersenyum miring.

"Tidak dengan mengaku sebagai kekasihku!" Cai Ding tidak mau kalah. Namun, sebuah jari telunjuk menempel di bibirnya bersamaan dengan embusan napas yang terasa hangat menerpa wajah Cai Ding karena jarak wajah mereka yang sangat dekat.

"Jangan berisik, nanti orang lain bisa salah paham." Tangan pemuda itu terulur, mengambil bungkusan yang berisi buku dari tangan Cai Ding lalu membayar sejumlah uang.

"Terima kasih untuk bukunya. Bisa aku meminta nomor ponselmu, Tuan Cai Ding?" Pemuda itu sangat percaya diri.

"Jangan bermimpi!"

TBC.

Lagi-lagi pendek. *Stiker Zhan Ge gigit jari.

Cai Ding (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang