thirteen

309 57 16
                                    

Tangan terikat dan juga mulut tersumpal dengan sapu tangan membuat Cai Ding tidak bisa berbuat banyak. Ia beberapa kali ingin berteriak, mengumpat, menendang, bahkan memukul jika perlu, tetapi akhirnya harus berakhir dengan suara yang tertahan di tenggorokan.

"A-Ding, tenang dulu. Biarkan aku menjelaskan semua. Itu tidak seperti yang kamu lihat!" Kapten Chen memperpendek jarak keduanya. Cai Ding memalingkan wajah. Pemuda itu enggan untuk menatap netra tajam yang seolah-olah mampu menguliti tubuh pemuda manis tersebut saat itu juga. Tubuh si kelinci bergeser agar tidak terlalu dekat. Kapten Chen yang melihat tingkah takut-takut dari Cai Ding hanya mampu mengembuskan napas kasar seraya memijat pelipis.

"Dia Liu Yifei." Kapten Chen melepas penutup mulut Cai Ding agar pemuda itu bisa berbicara dengan benar. Berteriak juga tentunya.

"Adik Letnan Liu." Kapten Chen menarik pinggang sang kekasih lalu memberikan sebuah pelukan erat.

"Jangan pernah mengatakan untuk berpisah, A-Ding. Itu sangat menyakitkan." Pemuda bermata elang itu mengeratkan pelukan di tubuh Cai Ding. Sebuah kalimat yang sangat tidak ia duga terlontar begitu saja dari mulut pemuda manis dengan poni sebatas alis itu.

"Kalian terlihat begitu dekat. Apakah aku harus baik-baik saja melihat hal itu?" Cai Ding menunjukkan kedua tangan yang masih terikat ke hadapan Chen Yu hingga membuat pemuda tampan tersebut terkekeh.

"Maaf, aku lupa jika tanganmu masih terikat." Kapten Chen membuka borgol yang melingkar di tangan pemuda bergigi kelinci tersebut, meletakkan borgol di atas nakas bersamaan dengan kunci, lalu menciumi pergelangan tangan Cai Ding yang tampak memerah.

"Maaf, aku tidak akan mengulangi itu lagi. Berjanjilah jangan pernah meminta untuk berpisah." Nada bicara Kapten Chen begitu lembut, sarat dengan sebuah penyesalan. Pemuda manis itu sedikit merasa bersalah, tetapi keinginan untuk mengerjai sang kekasih tidak satu kali pun hilang dari pikiran usil yang Cai Ding miliki.

"Aku berhak untuk mengakhiri hubungan kita, bukan?" Cai Ding mengembuskan napas lelah. Ia melirik Chen Yu yang tengah memberikan ekspresi sebuah keterkejutan. Pemuda tampan berpangkat kapten tersebut menggeleng beberapa kali.

"Tidak, tidak, tidak. Aku tidak akan pernah setuju untuk itu!" Chen Yu menarik tengkuk Cai Ding hingga bibir mereka bertabrakan. Netra terpejam, napas tertahan, degup jantung menggila menjadi pengiring perbuatan dua insan berparas tampan di kamar berukuran luas, tempat Chen Yu tinggal.

Cai Ding membiarkan saja. Ia masih ingin bermain-main dengan sang pemilik hati hingga dirinya benar-benar merasa puas. Chen Yu menyudahi ciuman itu ketika mendapati tidak ada balasan dari si empunya wajah manis yang sedang ia peluk. Raut muka sendu dan juga penuh rasa kecewa karena merasa tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki, membuat Kapten Chen melepas pelukan di tubuh Cai Ding secara perlahan.

"Pergilah," Chen Yu berdiri, "jika memang itu yang kamu inginkan!" Pada detik berikutnya, sebuah pelukan melingkar di pinggang Chen Yu dengan begitu erat. Suara Isak tangis terdengar samar. Cai Ding menyembunyikan wajah manis yang ia punya di punggung sang kekasih seraya mengucapkan kata maaf secara berulang. Ia tidak tahu Jiak Chen Yu akan memberi sebuah reaksi yang tidak ia duga.

"Aku hanya bercanda, aku hanya bercanda. Aku tidak sungguh-sungguh dengan apa yang aku ucapkan!" Pelukan itu kian erat. Mereka berdua berada dalam posisi tersebut cukup lama hingga tengah malam kian merajai. Embusan angin menerbangkan gorden kamar dengan jendela yang terbuka, memperlihatkan pekatnya malam di luar sana bersamaan dengan rintik hujan yang turun kian deras.

Chen Yu melepas pelukan pada tubuhnya lalu berjalan menuju jendela kaca besar itu dan menutup secara perlahan. Ia mundur beberapa langkah sembari bersedekap. Netra sewarna malam yang ia miliki tengah menatap derasnya hujan di luar sana. Cai Ding duduk di tepian ranjang sembari meremas lututnya sendiri.

"Aku tidak satu kali pun memohon untuk sebuah hubungan jika itu memang tidak benar-benar aku inginkan, A-Ding." Chen Yu masih enggan untuk melihat ke arah sang kekasih. Ia masih betah dengan air mata langit yang turun dengan tidak ada jeda sama sekali. Pemuda manis dengan poni sebatas alis tersebut menunduk kian dalam, menyesali perbuatan yang ia lakukan beberapa saat lalu ketika berniat untuk mengerjai Chen Yu.

"Chen Yu Gege. Aku hanya bercanda. Jangan membuatku takut." Pemuda itu naik ke tempat tidur serat menekuk lutut. Chen Yu menghadap ke arah Cai Ding. Ia menyandarkan bahu di permukaan kaca jendela, menatap dalam-dalam kepada pemuda manis yang sudah menjadi pemilik hati kapten Chen.

"Aku tidak pernah menjadikan sebuah hubungan untuk bermain-main, Bunny. Tidak akan ada hasil yang benar-benar baik ketika kamu memutuskan untuk sekadar menguji seberapa besar cinta kekasihmu." Chen Yu berjalan mendekat ke ranjang. Ia duduk di tepian ranjang sembari menaikkan satu kaki.

"Katakan! Apakah kamu benar-benar menerimaku sebagai kekasihmu?" Suara Kapten Chen dalam dan penuh penekanan. Ia menunggu jawaban sang kekasih yang sedang terisak di hadapannya. Meskipun pada kenyataannya, ia tidak suka jika Cai Ding menangis. Secara tidak langsung itu sangat menyakiti pemuda bermata elang tersebut.

Cai Ding tidak memberi sebuah jawaban, tetapi tindakan yang pemuda manis itu lakukan setelahnya, sudah menjawab semua pertanyaan Chen Yu yang merasa ragu dengan perasaan sang kekasih selama mereka memutuskan untuk menjalani sebuah hubungan.

Sebuah pelukan erat melingkar di leher perwira polisi tersebut. Kata maaf secara berulang dan juga ciuman-ciuman singkat di seluruh wajah dan juga bibir membuat perasaan Kapten Chen menghangat. Cai Ding memeluk orang terkasihnya dengan begitu erat. Tidak ada niatan melepaskan walaupun pemuda singa itu meminta.

"Hei, lihat aku, A-Ding. Jangan menyembunyikan wajahmu!" Cai Ding menggeleng beberapa kali sembari mendorong tubuh perwira polisi tersebut hingga terlentang di pembaringan. Cai Ding seperti anak kecil. Ia begitu ketakutan. Mencintai seseorang hingga begitu dalam seperti sekarang adalah hal yang baru untuk pemuda itu. Perasaan cemburu, kesal, takut kehilangan, membaur menjadi satu hingga sifat kekanakan yang ia miliki menguasai begitu saja.

"Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, Chen Yu Gege! Jangan mengatakan hal itu lagi. Aku hanya bercanda, aku bercanda. Sungguh!" Cai Ding menegakkan kepala, mengusap air mata yang keluar, sembari menatap netra indah sang kekasih.

"Aku tahu dan aku pun bercanda untuk itu." Chen Yu terkekeh, mengubah posisi keduanya hingga Cai Ding berada di bawah perwira polisi tersebut. Netra Cai Ding mengerjap lucu. Mungkin, menggoda sang kekasih akan menjadi kebiasaan baru untuk Kapten Chen setelahnya.

"Haiz, jangan menangis! Kamu terlihat jelek!" Tangis Cai Ding justru kian keras hingga membuat Kapten Chen terbahak sembari menciumi pipi pemuda manis pemilik netra kecokelatan tersebut secara berulang.

"Maaf, sudah membuatmu cemas. Kamu bisa membunuhku saat itu juga jika aku benar-benar berselingkuh." Chen Yu menyatukan kedua dahi mereka, membelai pipi Cai Ding yang basah, lalu memeluk sang pemilik hati begitu erat. Mereka melewati malam panjang tersebut dengan saling menyelami perasaan masing-masing.

******

"Aiya! Anak itu sudah berani menginap di rumah kekasihnya!" Mama Cai Ding memukul boneka singa kecil di kamar putranya.

TBC.

Cai Ding (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang