Nine

353 62 14
                                    

Cai Ding berjalan sembari mengentakkan kaki di sepanjang trotoar. Ia kesal sekaligus malu, menjadi tontonan beberapa pasang mata hingga mendapat ledekan dari anak di bawah umur.

"Jangan buru-buru, A-Ding." Kapten Chen berusaha menyamai langkah pemuda yang sudah lebih dulu meninggalkan dirinya seraya membawa boneka singa, Itu pun kecil.

"Aku marah!" Cai Ding berucap sarkas, menoleh sebentar sambil merengut dan meneruskan langkah.

"Lalu?" Chen Yu menahan tawa.

"Pokoknya aku marah!" Cai Ding mengepalkan kedua tangan dan berjalan lebih cepat.

"Cai Ding!" Pemuda bermata elang itu memanggil sekali lagi.

"Apa?!" Jawaban Cai Ding tetap sarkas.

Kapten Chen yang sudah hilang kesabaran, berlari, dan menarik tangan pemuda itu hingga tubuh keduanya bertabrakan.

"Jangan menyentuhku!" Cai Ding memerintah.

"Dengar dulu, A-Ding!" Kapten Chen memeluk tubuh pemuda itu kian erat. Boneka singa kecil yang berada di tangan Kapten Chen beberapa saat lalu, sudah berpindah ke dalam pelukan keduanya. Kasihan sekali, terjepit.

Cai Ding yang masih marah, lebih memilih menghindari tatapan mata pemuda tampan yang sedang memeluknya. Bibirnya mengerucut seperti orang minta dicium.

"Biasakan dirimu untuk mendengarkan orang lain ketika berbicara," Kapten Chen menyingkirkan rambut depan Cai Ding, "aku hanya ingin bilang, motornya berada di sebelah sana." Pemuda tampan itu menoleh sambil menunjuk sepeda motor besar milik Kapten Chen.

Wajah Cai Ding tiba-tiba berubah merah. Kapten Chen yang melihat tingkah pemuda manis itu terbahak, mencubit hidung pemuda itu gemas. Cai Ding seketika menunduk, menyembunyikan wajah di dada pemuda tampan itu. Pada detik berikutnya, tubuhnya terlihat bergetar, mendongak dan menampilkan tawa yang begitu manis hingga membuat Kapten Chen sedikit terbengong. Meskipun pada akhirnya, mereka terbahak bersamaan.

Untuk sesaat, mereka lebih memilih mengistirahatkan tubuh sambil menetralkan napas karena tawa hingga perut mereka terasa kram.

"Omong-omong, sejak kapan kamu menyukaiku, Kapten Chen?" Cai Ding meletakkan dagu di kedua lutut yang ia peluk sambil melirik pemuda tampan di sebelahnya. Kapten Chen menegakkan tubuh, meletakkan kedua tangan di belakang dan menggunakan untuk menyangga tubuh dengan wajah menatap langit.

"Sejak ... Apakah itu penting?" Pemuda itu menggeser duduk hingga kedua lengan menempel, begitu mepet hingga napas hangat mereka saling bertabrakan. Sangat romantis. Ingin sekali penulis mengikat tubuh keduanya hingga tidak lagi terlepas.

"Aku hanya melihat seorang pemuda ceroboh dengan segala sifat unik yang ia miliki hingga membuat hatiku yang telah lama mati kembali hidup." Sebuah ciuman lembut menyentuh pipi sehalus porselen milik Cai Ding.

Untuk pertama setelah beberapa kali pertemuan keduanya, Cai Ding memberikan reaksi yang berbeda atas perlakuan Kapten Chen yang menurut pemuda manis itu tidak pantas. Ia memejamkan netra serupa rusa miliknya, merasakan kehangatan yang perlahan merambat hingga menyentuh titik-titik lembut di lubuk hati.

"Maaf," Kapten Chen mengusap kepala Cai Ding. Ia berdiri seraya memegangi jemari pemuda itu dan membawanya lebih dekat ke arah sepeda motor yang sedang menganggur karena menunggu tuannya.

Angin malam terasa lebih hangat. Dua insan berparas rupawan sedang terdiam, memahami perasaan masing-masing agar tidak ada keraguan di dalamnya. Cai Ding memeluk tubuh tegap Kapten Chen dengan seulas senyum di sepanjang perjalanan. Baginya, kata-kata yang terlontar dari mulut pemuda mesum yang sedang ia peluk, membuat pikirannya terasa berputar nyaris tidak terarah.

"A-Ding, sudah sampai." Kapten Chen mengusap punggung tangan pemuda manis yang sedang memeluk tubuhnya. Ia melepas helm dan meletakkan di tangki motor besar yang sudah terparkir dengan baik.

"A-Ding, apakah kamu tidur?" Pemuda itu tidak menjawab, justru mengeratkan pelukan di tubuh Kapten Chen. Namun, tidak berselang lama, suara dering telepon di saku Kapten Chen membuat pemuda manis itu melepas pelukan. Ia mengernyit, kegiatan yang baru saja ia sukai telah terganggu.

"Turunlah, dulu. Aku harus segera menerima panggilan dari Letnan Liu." Kapten Chen meminta.

"Tidak mau! Terima saja. Lagi pula, aku tidak akan mengganggu." Cai Ding meringis hingga kedua mata indah miliknya menyipit.

Perwira polisi itu menggeleng beberapa kali, terkekeh seraya mencium pipi Cai Ding sekali lagi. Lalu, menggeser tombol hijau dan mulai berbicara dengan seseorang yang tengah menghubungi.

"Katakan!" Kapten Chen mendengar penjelasan Letnan Liu dengan hati-hati. Ia menjawab sesekali dan mengangguk ataupun memberikan jawaban panjang. Cai Ding memerhatikan orang yang tampak serius menerima panggilan telepon tersebut. Ia tersenyum-senyum. Bisa jadi karena pemuda manis itu mulai terpesona dengan ketampanan pemuda di hadapannya. Namun, sebuah luka di pipi Kapten Chen, membuat pemuda manis itu terhenyak.

Tangan pemuda manis itu terulur, secara perlahan menyentuh luka di pipi yang sedikit panjang dan kontras dengan warna kulit perwira polisi yang putih.

"Luka ini?" Sepersekian detik berikutnya, Kapten Chen seolah membeku. Ia buru-buru menyudahi panggilan telepon dan menoleh, menyimpan telepon genggam di saku dan memegangi jari pemuda bergigi kelinci yang sedang bergerak pelan mengikuti bekas luka.

"Apakah tidak akan bisa hilang, Chen Yu Gege?"

TBC.

Cai Ding (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang