Ten

345 63 13
                                    

Cai Ding memegangi tangan Kapten Chen dengan erat, tidak peduli dengan kekehan beberapa orang yang melihat tingkah menggemaskan pemuda manis itu.

"Masuk dulu, oke! Hanya sebentar," Cai Ding meminta seraya menarik-narik tangan pemuda tampan yang memegangi dahi.

"Tidak bisa, A-Ding. Letnan Liu sudah menungguku!" Kapten Chen mencoba menjelaskan, melepas genggaman di lengan, dan mengusap rambut Cai Ding lembut.

Cai Ding tampak tidak suka. Ia mengentakkan kakinya kesal dan meninggalkan Kapten Chen tanpa satu kali pun menoleh ketika pemuda bermata bermata elang itu memanggilnya.

Pemuda manis itu menggerutu, menaiki tangga seraya mengomel ke sana sini. Ia sudah mirip dengan ibu-ibu penjual bubur bebek yang sering mangkal di ujung gang.

Beberapa orang yang berpapasan hanya bisa menggeleng seraya mengulum senyum. Tidak sedikit yang memberikan pemuda itu candaan hingga membuat Cai Ding kian kesal.

"Apakah pawangnya sedang libur? Kenapa putra kesayangan kita tiba-tiba berubah masam?" Paman tua yang kebetulan baru pulang dari toko, sengaja mengejek pemuda yang bibirnya sudah maju beberapa senti hingga menyerupai chinchilla. Cai Ding yang mendengar itu hanya menoleh, memejamkan mata seraya menengadah dan meremas-remas boneka singa kecil di tangan.

"Perlukah Paman Tua ini mengajak pemuda yang sedang berada di bawah untuk naik ke atas?"

Beberapa candaan yang membuat Cai Ding kian kesal, justru menyusul seperti virus yang tidak terkendali hingga membuat pemuda manis dengan poni sebatas alis itu menyegerakan membuka pintu seraya mengabaikan beberapa ucapan tetangga di sekitar rumah.

Pemuda manis itu menutup pintu, tubuhnya merosot seperti tengah kehilangan tenaga. Ia mati-matian menetralkan napas yang tidak beraturan. Pikirannya berputar seolah hilang kendali. Ada sesuatu yang mulai mengganggu hatinya. Ia memejamkan netra serupa rusa miliknya sejenak, mengabaikan sapaan mama Cai Ding yang tampak kebingungan karena putranya pulang dalam keadaan yang tidak seperti biasanya.

"Apakah kamu dipecat?" Sebuah pertanyaan yang meluncur tanpa adanya penyaring dari Nyonya Cai. Pemuda bergigi kelinci itu tidak menanggapi. Ia masih setia dengan posisi duduk seraya menengadah dengan kedua mata terpejam.

"Ma, aku lapar." Cai Ding membuka mata dan terkekeh sembari menatap wanita paruh baya yang sedang berkacak pinggang ke arah pemuda manis tersebut.

"Aiya, cepat bangun dan mandi!" Nyonya Cai membantu putranya untuk berdiri, mengambil handuk yang tadi sempat ia cuci, lalu memberikan kepada pemuda pemilik senyum menawan itu meskipun secara tidak Cai Ding sadari, boneka singa yang sejak tadi ia pegang, membuat Nyonya Cai terkekeh lirih.

*****

"Tidak ingin pulang?" Letnan Liu menepuk bahu Kapten Chen yang tampak serius membaca beberapa laporan kriminal yang terjadi satu minggu belakangan. Raut muka serius  sekaligus cemas terlihat jelas di wajah tampan yang pemuda itu miliki.

"Sepertinya, aku akan menginap. Aku butuh berpikir dengan benar." Kapten Chen menengadah seraya tersenyum. Lalu, kembali menjatuhkan netra elangnya ke laptop di hadapannya dan dibalas dengan sebuah anggukan ringan dari Letnan Liu.

Kapten Chen melihat beberapa foto yang terlihat secara berulang di layar hingga suara dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia melirik sekilas, tidak memperhatikan nama yang tertera di layar dan mengabaikan begitu saja. Ia lebih memilih fokus memeriksa laporan yang beberapa saat lalu sempat ia diskusikan bersama rekan beda profesi itu.

Hampir dua jam Kapten Chen bercengkerama dengan layar pipih yang membuat mata pemuda itu terasa lelah. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan lalu menyisir rambut kebelakang seraya menautkan jemari di belakang kepala, memutar-mutar kursi dan melihat ke arah jendela yang terbuka.

Pemuda bermata elang itu menegakkan duduk, mematikan layar laptop setelah memastikan semua data tersimpan dengan benar. Ia berdiri, mengenakan jaket, dan membawa langkah kaki yang terasa berat untuk mencari minuman hangat.

Ia berjalan seraya melihat ke sekitar, mencari-cari letak warung emperan yang sekiranya menjual kopi hangat.

"Paman, tolong buatkan aku satu gelas kopi hangat." Kapten Chen menyerahkan uang sembari tersenyum, menunggu dengan sabar kopi hangat yang ia pesan sambil melihat ke sekeliling.

Sebuah kedai pangsit yang berada tidak jauh dari tempat pemuda tampan itu membeli kopi, secara cepat membawa pikiran Kapten Chen yang seperti terhimpit batu, tiba-tiba terasa begitu ringan.

Senyum manis serta tingkah menggemaskan dari pemuda manis pemilik tahi lalat di bawah bibir, membuat pikiran kusut perlahan menghilang. Langkat kakinya seolah bergerak sendiri, menuju tempat makanan, dan membeli dua bungkus pangsit hangat untuk ia berikan kepada Cai Ding.

"Dua bungkus, Bibi."

******

Cai Ding duduk di sisi ranjang yang berdekatan dengan jendela kecil yang sengaja ia buka. Pemuda manis itu mengeringkan rambut seraya tersenyum kecil. Secara perlahan wajah manisnya memerah. Ia menunduk, mengingat-ingat betapa manis perlakuan pemuda bermata elang yang beberapa hari ini mengikuti.

Boneka singa kecil menjadi tokoh utama untuk hati ini, pelukan hangat seperti di film-film, ciuman di pipi, serta kata-kata manis yang dulu sempat ia benci, sekarang berubah menjadi sesuatu yang merdu dan sangat ia rindukan.

"Singa Mesum! Sedang apa kamu sekarang?" Cai Ding meletakkan handuk di lutut. Rasa dingin yang merambat di pipi ia abaikan karena posisi kepala yang ia letakkan miring seraya kedua tangan memeluk lutut.

Angin sepoi menampar helaian rambut dan bulu mata lentik Cai Ding hingga bergerak-gerak seolah sedang menari. Angannya mulai berselancar ke sana sini tidak tentu arah.

Mencoba berbicara dengan rasa yang sekiranya mampu menjawab pertanyaan di benak pemuda manis dengan ribuan bintang seolah sedang bertaburan di atasnya. Pada detik berikutnya, suara Nyonya Cai dari luar pintu, membuat pemuda manis itu terkesiap.

"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, A-Ding!" Nyonya Cai membuka pintu yang memang tidak dikunci dan masuk begitu saja bersamaan dengan pemuda tampan bermata elang di belakang Nyonya Cai.

"Pangsit hangat."

TBC.

Cai Ding (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang