fourteen

307 61 11
                                    

Cai Ding bersama sang mama tengah sibuk mempersiapkan acara untuk menyambut hari libur tradisional yang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun dari orang-orang terdahulu sekaligus menjadi bagian penting dari panen atau persembahan doa.

Festival Musim Semi yang juga dirayakan oleh komunitas etnis asli sekaligus perantau di akhir bulan Januari. Beberapa kembang api dari berbagai ukuran tengah siap. Kue-kue tradisional, lampion merah dengan goresan tinta keemasan sudah terpasang di balkon rumah susun sederhana yang Cai Ding miliki.

Ia begitu antusias menunggu malam datang. Untuk pertama kali dalam hidup, Cai Ding akan merayakan malam festival dengan sang kekasih. Semua persiapan ia lakukan dengan penuh kehati-hatian. Raut muka bahagia begitu kentara. Pemuda manis itu beberapa kali mengganti pakaian yang ia kenakan agar terlihat memesona ketika bertemu dengan Chen Yu.

"Ma, apa aku sudah terlihat tampan?" Mata Cai Ding mengerjap-ngerjap lucu, mendekat ke arah sang mama lalu mengambil lampion yamg yang berada di tangan Nyonya Cai untuk ia letakkan di depan pintu.

"Apakah kuenya sudah matang, Ma?" Cai Ding membuka pintu, meletakkan pada gantungan yang tersedia, lalu kembali masuk ke rumah untuk melihat kue yang tadi ia buat bersama mamanya. Netranya berbinar. Ia menggosok-gosokkan tangan, lalu mengambil kue untuk ia letakkan di piring dengan ukiran sedang.

Langkah pemuda tersebut begitu ringan, Cai Ding menuju meja persegi panjang dengan beberapa menu tersedia yang terlihat sempurna. Pemuda manis tersebut melihat jam dinding setelah meletakkan kue di meja lalu ia pun masuk ke kamar. Ia mengambil sweter oranye lalu memakainya. Terlihat sedikit kebesaran, tetapi membuat pemuda itu tampak begitu manis hingga Mama Cai Ding tidak tahan untuk melontarkan kalimat pujian.

"Hati-hati dengan langkahmu, A-Ding. Belum lagi dengan baju kebesaran yang bisa saja tersangkut di sembarang tempat." Mama Cai Ding menahan senyum lalu duduk di salah satu kursi yang berada tidak jauh dari meja. Cai Ding menggembungkan pipi, mengentakkan kaki, lalu keluar rumah setelah berpamitan.

"Aku keluar!"

Pemuda itu menuruni tangga rumah susun sederhana sambil setengah berlari bersamaan dengan raut muka kesal yang justru menjadi terlihat menggemaskan. Beberapa orang tampak bercakap-cakap seraya menghias rumah mereka dengan beberapa ornamen merah bertuliskan tinta keemasan.

"A-Ding! Jangan berlari-lari, Nak! Kapten Chen Yu sedang berdinas ke luar kota!" Seketika langkah kaki Cai Ding berhenti. Untuk beberapa saat, ia mencoba mengatur napas yang terengah sambil menghirup udara di sekitar agar paru-paru yang ia miliki tidak kosong. Pemuda manis dengan tahi lalat di bawah bibir tersebut memutar tubuh, kedua bahu terlihat turun bersaman dengan raut muka cemas.

"Paman ... ini hari baik. Jangan menggodaku seperti itu." Cai Ding menengadah sambil memejamkan mata. Suasana hatinya yang sedang baik tiba-tiba seperti tersengat panas. Ia mendekat ke arah Paman Han lalu duduk pada kursi kosong di sebelah pria paruh baya tersebut.

"Saat-saat seperti ini, tidak mungkin pemuda itu mendapatkan hari libur, A-Ding. Ia bukan orang biasa seperti kita." Paman Han mengusap kepala pemuda dengan poni sebatas alis itu seraya menawarkan kue basah yang terlihat masih hangat.

"Cobalah, ini enak." Paman Han tersenyum. Ia melihat ke arah depan. Beberapa orang tampak berlalu-lalang menggunakan sepeda kayuh dengan keranjang yang tampak penuh. Makanan ringan dan juga lilin ataupun kembang api menjadi sesuatu yang mereka sukai ketika malam festival telah tiba.

Cai Ding melihat ke arah langit malam ketika beberapa kembang api tampak berhamburan menyelimuti langit. Mulai dari anak kecil hingga usia renta tampak antusias. Mereka menyelami kebahagiaan dengan saling bertukar kue ataupun memasang lampu kertas bulat merah itu seraya bersenda-gurau.

Pemuda manis bergigi kelinci itu masih setia melihat ke hamparan kembang api yang meletup-letup secara bergantian seraya memasukkan kue kedalam mulut yang berada pada piring di pangkuan.

"Kelihatannya enak." Sebuah suara yang sudah sangat pemuda manis itu kenali membuat kue itu mengambang di udara. Cai Ding menoleh dengan kondisi mulut yang masih terbuka. Kue di tangan hampir saja terjatuh jika mulut pemuda tampan itu tidak segera menyambar kue lalu ia masukkan ke dalam mulut.

"Manis, tapi tidak lebih manis dari ini." Kapten Chen memegangi bibir merah muda kepunyaan Cai Ding lalu memberikan ciuman sedikit lama yang begitu lembut. Pemuda manis tersebut menutup mata seraya tersenyum di tengah-tengah penyatuan dua bilah daging kenyal milik masing-masing. Pemuda bermata elang itu mengambil piring di pangkuan lalu meletakkan pada meja rendah yang berada tidak jauh dari tempat duduk mereka.

Sesuatu yang sangat Cai Ding sukai ketika saliva mereka saling bertukar. Menyesap rasa manis dan juga memabukkan meskipun tidak ada setitik pun alkohol di dalamnya. Masih saling memagut, menarik tubuh lebih dekat, lalu mengusap setiap lekukan yang ada pada diri sang kekasih. Riuh suara sekitar dan juga kembang api mengalihkan perhatian semua orang hingga tidak menyadari ada sepasang insan bernapas yang sedang memagut rasa bernama sayang.

Kedua bibir itu terlepas setelah Cai Ding memukul punggung kokoh Kapten Chen secara berulang. Wajah memerah dan juga napas terengah menjadi sesuatu yang memanjakan mata bagi siapa saja yang melihat.

"Apakah tidak ada undangan makan malam untuk pria tampan sepertiku?" Cai Ding memukul lengan Kapten Chen lalu berdiri, menarik lengan pemuda bermata elang itu untuk ia bawa ke rumah dan menikmati malam festival seraya berbagi kehangatan.

"Cepatlah, Chen Ge." Cai Ding menautkan jemari keduanya lalu membawa pemuda tersebut pada langkah cepat menaiki tangga. Sebuah lampion kecil menyambut kedatangan dua pemuda berparas rupawan tersebut. Cai Ding mengetuk pintu lalu memasuki rumah setelah mama Cai Ding membuka papan kayu panjang itu dan mempersilakan pasangan yang sedang mabuk kasih sayang tersebut agar tidak berlama-lama di luar.

"Yak! Tidak ada acara makan malam di kamar, A-Ding!" Mama Cai Ding berkacak pinggang, menunjuk kursi kosong, lalu memberi perintah untuk duduk.

"Kalian ini!" Mama Cai Ding menuju dapur lalu membuat tiga cangkir teh hijau hangat, meletakkan di nampan, lalu membawa ke hadapan dua pemuda tampan yang sedang duduk sambil menggaruk tengkuk---merasa malu dan juga salah tingkah.

"Minumlah dulu, Nak Chen Yu. Mumpung masih hangat." Mama Cai Ding memberikan satu cangkir teh dengan asap yang mengepul di atasnya. Cai Ding mencebik, merasa iri dengan perlakuan sang mama karena wanita paruh baya tersebut terlihat begitu sayang dengan calon menantunya.

"Untukku?" Cai Ding menunjuk hidungnya sendiri.

"Ini." Nyonya Cai menyentuh cangkir di nampan.

Chen Yu menahan senyum berselimut getir ketika melihat keakraban ibu dan anak di hadapannya. Sesuatu yang sangat menggelitik sanubari. Hatinya terasa pilu secara tiba-tiba. Ketika hari-hari menyenangkan itu masih bisa ia lihat dengan leluasa sebelum luka di pipi ia dapatkan dengan cara tidak layak.

secara tidak sadar, jemari Kapten Chen terulur dan menyentuh luka yang sampai sekarang enggan untuk ia hilangkan. Ia meremas pegangan cangkir dengan erat sampai buku-buku jarinya terlihat memutih.

"Chen Yu Gege." Suara Cai Ding membuat pemuda pemilik netra sewarna malam tersebut tersentak hingga nyaris saja menumpahkan teh ke permukaan meja. Kapten Chen menggeleng lirih, meletakkan cangkir teh, lalu memeluk tubuh Cai Ding dengan sangat erat.

"Aku akan menjagamu. Sungguh, mulai saat ini hingga seterusnya. Tidak ada satu orang pun yang akan aku biarkan terluka lebih dari apa yang pernah aku alami." Pemuda itu menyembunyikan wajah di leher sang kekasih seraya menghirup aroma tubuh Cai Ding yang terasa menenangkan.

"Chen Gege, sebenarnya apa yang terjadi?"

TBC.

Cai Ding (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang