Three

468 81 36
                                    

Angin menampar helaian rambut dua pemuda yang sedang adu pandang di tengah-tengah gang perumahan tempat Cai Ding terbiasa melintas. Netra rusanya berkedip-kedip, melihat pemuda bertubuh tegap dengan wajah yang terbilang rupawan sedang memegangi pinggang rampingnya erat.

"Apa yang kamu lakukan!" Cai Ding berteriak.

"Memegangi pinggangmu," balas pemuda itu santai. Ia tersenyum, melihat wajah manis di pelukannya yang tampak merengut karena marah, tetapi tidak mengurangi paras manis yang terpampang di wajah Cai Ding.

"Lepaskan aku!" Cai Ding meronta berusaha melepas tangan yang sedang melingkar di tubuhnya.

"Oh, baiklah." Satu detik berikutnya terdengar suara gedebuk yang menarik perhatian beberapa orang di sekitar hingga mereka terbahak karenanya.

Pemuda tampan dengan luka di pipi itu terbahak sambil berjongkok hingga kedua netranya menyipit. Salah satu tangan menutup wajahnya yang memerah. Ia gemas dengan pemuda manis yang memekik kesakitan sambil memegangi pantatnya.

"Jahat sekali kami, sih!" Cai Ding meringis. Ia berusaha bangun, mengabaikan rasa ngilu yang tengah menjalar di bagian belakang tubuhnya.

"Tadi siapa yang meminta untuk dilepaskan, Kelinci?" Pemuda tampan itu gemas. Ia berusaha menahan tawa, tidak ingin pemuda manis yang telah berhasil merampas kewarasan di kepalanya semakin mengamuk.

"Bantu aku berdiri! Ini sakit!" Cai Ding memohon dengan meninggikan suara. Ia masih kesal karena perbuatan pemuda di hadapannya.

"Tidak mau," pemuda itu menjawab santai. Cai Ding merengut seraya meniup-niup rambut depannya dan menggunakan tangan kanan untuk menyangga tubuh---berusaha untuk bangun.

"Terserah! Lagi pula, aku bisa bangun sendiri! Tsk, menyebalkan!" Pemuda manis dengan poni sepanjang alis itu bangun dan menyambar tas yang tergeletak di jalan karena sempat terjatuh. Namun, di saat yang sama ia kembali berteriak.

"Mama! Botol air minumku pecah!" Cai Ding memukul dada pemuda itu dan melimpahkan semua kesalahan yang sedang ia alami.

"Ini semua salahmu! Ish, aku kesal!" Cai Ding mengambil botol air dari tas dan mengeluarkan seluruh airnya. Lalu, menyerahkan kepada pemuda tampan itu.

"Ganti! Aku tidak peduli kamu setuju ataukah tidak!" Pemuda bergigi kelinci itu meninggalkan pemuda yang sedang terbengong melihat tingkah menggemaskan dari Cai Ding barusan.

"Ah, aku lupa," Cai Ding menghentikan langkah dan memutar tubuh, " siapa namamu, Tuan?" Pemuda pemilik senyum menawan itu mendekat ke arah pemuda tampan itu.

"Chen Yu. Namaku Chen Yu." Chen Yu tersenyum, mengulurkan tangan seraya memperkenalkan diri.

"Aku Cai Ding. Aku tinggal di sebelah sana. Orang-orang di sini sudah mengenalku." Cai Ding tersenyum penuh sembari menunjuk ke arah perumahan di depannya.

"Astaga! Aku sudah hampir terlambat. Sudah dulu, Chen Yu Gege!" Cai Ding berteriak seraya meninggalkan Chen Yu yang terkekeh. Ia menepuk dahinya karena gemas dengan tingkah pemuda bergigi kelinci itu.

"Padahal dia sudah memperkenalkan namanya. Ya Dewa." Cai Ding melihat botol pecah di tangan dan menciumnya gemas. Semoga Kapten Chen Yu bisa mempertahankan kewarasan yang ia miliki lebih lama.

****

Waktu bergulir tarasa sangat lambat untuk Kapten Chen Yu yang sedang memikirkan pemuda manis pemilik tahi lalat di bawah bibir itu. Ia terkekeh beberapa kali mengingat peristiwa yang terjadi di pagi hari dengan serangkaian kejadian lucu sekaligus menggemaskan untuknya.

"Kapten Chen, aku pikir sebaiknya kamu memeriksakan kepalamu. Jujur saja, aku benar-benar takut kali ini." Letnan Liu menahan senyum sambil duduk di kursinya.

"Tunggu-tunggu-tunggu! Aku bisa menjelaskan semuanya." Kapten Chen terbahak setelahnya. Ia menempelkan dahi di tepian meja seraya memegangi perut. Letnan Liu hanya menggeleng melihat tingkah atasannya yang terlihat benar-benar tidak sehat. Sepertinya.

"Biarkan aku tertawa sebentar. Cai Ding sudah membuat mood pagi hari yang aku miliki terasa sangat sempurna. Oh, Dewa." Kapten Chen menegakkan punggung dan menoleh ke pria muda berpangkat letnan di sampingnya yang sedang menyesap kopi hangat.

"Apakah dia selucu itu, Kapten Chen?" Letnan Liu penasaran.

"Sangat! Beban masalahmu seolah-olah menghilang," Kapten Chen berucap sembari menggerakkan jemarinya papan tombol keyboard.

"Lalu?" Letnan Liu bertanya sekali lagi, tidak puas dengan jawaban sahabatnya.

"Kerjakan tugasmu dengan benar, Letnan Liu! Jangan gunakan waktu senggang yang kamu miliki untuk bergosip!" Tak berselang lama dua pemuda yang terlihat akrab itu terbahak, mengabaikan tatapan beberapa pasang mata yang terheran-heran dengan tingkah atasan mereka.

Kidung rindu.
Semburat jingga di ufuk barat kian memudar. Berganti malam dengan cahaya rembulan yang tampak malu-malu ditemani beberapa kerlingan bintang. Angin sepoi membawa aroma manis persik yang tampak menguning. Menambah kesan manis insan-insan di luar sana yang menatap langit seraya menyebutkan nama orang-orang terkasihnya.

*****

"Ada apa dengan wajahmu, Cai Ding?" Peng Chuyu memakan satu ubi bakar yang tengah ia beli bersama sahabatnya.

"Aku? Memangnya ada apa dengan wajahku? Aku selalu terlihat tampan sejak lahir. Itu pun jika kamu tidak lupa," Cai Ding berucap bangga. Ia meminum jus jeruk setelah selesai memakan ubi bakar miliknya.

Mereka duduk di tepian danau buatan di tengah kota sembari menikmati malam yang kebetulan cerah. Melepas penat sejenak dengan urusan perkuliahan serta pekerjaan paruh waktu yang tengah mereka lalui.

"Aku ingin segera menyelesaikan kuliahku, Chuyu. Setelahnya aku bisa bekerja dengan tenang," Cai Ding mengusap rambutnya frustrasi, "kepalaku mau pecah jika harus berpikir lebih, belum lagi tugas kampus yang sangat menyita waktu." Cai Ding kesal. Ia mengentakkan kakinya berulang hingga Chuyu tertawa dibuatnya.

"Yak, berapa usiamu sebenarnya?!" Peng Chuyu menunduk samping bisa mencium lututnya sendiri karena mencoba meredam tawa yang kian membuncah.

"Dasar, teman macam apa kamu ini, ha?!" Cai Ding mengomel tidak keruan.

TBC.

Cai Ding (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang