aku tahu, pertanyaan haris beberapa saat yang lalu tidak sepenuhnya serius. jadi, aku memutuskan untuk menanggapi dengan anggukan dan tawa jenaka yang dibuat-buat.
tapi, kenapa dia malah merenggut setelah aku menjawab pertanyaannya. bahkan, hingga kami berjalan beriringan masuk ke dalam kafe rintik sendu, haris juga belum mau menegurku barang hanya untuk menanyakan apa pesananku.
“ris? lo kenapa sih? ada salah ngomong atau gimana?”
haris menggeleng pelan dan lebih memilih fokus pada pelayan kafe yang sedang menanyai pesanan kami. “green tea-nya satu, americano-nya satu, sama sandwich keju-nya dua.”
aku mendengus. aku lupa menyebutkan kalau haris adalah tipe cowok yang jika sudah marah akan lebih memilih diam ketimbang mengomel tidak jelas.
“ris, jangan diem mulh ih, serem tau!” gerutuku.
dia menoleh dengan alis yang terangkat. “kenapa?”
“lo yang kenapa?!” sungutku.
“lo mau nggak jadi pacar gue?”
demi aroma hujan yang kini memenuhi pernapasanku, katakan kalau ini kenyataan!
“lo— a-apaan sih?” ucapku berkelit.
haris memasang wajah pura-pura tidak tahu. “gue nanya, lo mau nggak jadi pacar gue?”
telingaku bermasalah tapi jantungku sudah berdebar tidak karuan— jelas ini kenyataan.
“beneran?” tanyaku dengan senyum merekah.
dia lantas terkekeh hingga matanya menyipit. “kira-kira, kalau gue nembak raya apa responnya bakal sama kayak respon lo barusan?”
seperti melempar piring ke tengah lapangan basket, begitulah keadaan hatiku sekarang. senyumku yang merekah tadi, pudar begitu saja bersamaan dengan menguarnya gelak tawa dari haris.
sialan memang cendana kalfaharis ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] hujan malam✔
Fiksi Penggemarseharusnya, malam itu aku tidak pernah pergi hanya untuk menikmati hujan kalau akhirnya aku akan bertemu denganmu. 2020 ; kanvasrasa