bait sembilan [end]

107 19 3
                                    


suara yang pertama kali kudengar saat bangun pagi ini adalah suara mama yang sedang meletakkan mangkuk sarapan di nakas samping tempat tidurku.

“badan kamu sakit-sakit? nih sarapan dulu, habis itu baru baca surat yang tadi malam mama temuin di kantung baju kamu,” suruh mama sambil membantuku bangun dari posisi berbaring.

aku hanya mengangguk patuh meski hatiku bertanya, ‘surat apa yang dimaksud mama?’. setelah mama memutuskan keluar karena panggilan papa dari ruang tamu, barulah aku menyentuh mangkuk sarapan yang mama sediakan.

embusan nafasku terdengar berat seiring dengan pikiranku yang kembali tertuju pada sosok haris. iya, haris lagi.

bubur ayam yang mama sediakan terasa hambar di lidah. seperti tidak memiliki rasa, padahal aku sendiri tahu kalau bubur yang mama sediakan adalah bubur ayam kesukaanku.

aku tidak selera makan jadinya. kuletakkan kembali mangkuk bubur di tanganku. memutuskan untuk mengambil sebuah surat di dekat bingkai foto— mungkin itu surat yang dimaksud mama.

teringat kata mama, surat ini mama temukan di kantung bajuku. tapi— hey! semalam saat keluar untuk menikmati hujan, aku tidak ingat jika aku membawa surat dan tidak ada yang memberiku surat. aku hanya bertemu dengan haris dan semuanya tiba-tiba gelap.

ah ... apa jangan-jangan itu surat dari haris? tapi kenapa harus surat? haris bisa menemuiku dan mengatakan secara langsung padaku apa yang ingin dia sampaikan. kenapa harus—

aku baru ingat, haris sudah mempunyai tunangan. mungkin itu alasan yang membuatnya hanya mengirim surat. hatiku tiba-tiba berdenyut nyeri, sekelebat memori kenangan kebersamaanku dengan haris sebulan yang lalu kembali berputar di pikiranku.

sial, iya, sial sekali cendana kalfaharis ini.

sudah terbuka sepenuhnya surat di genggamanku. tapi aku lebih memilih menutup mata sambil mengatur nafas agar lebih tenang. siap tidak siap, aku harus membaca surat ini. iya, harus!

baiklah, aku sudah siap.

pagi, zoa

ini haris, lo pasti udah tau. sebelum baca ini, lo pasti udah makan. sip kalau bener, gue nggak mau lo sakit. tadi malam lo pingsan gara-gara kedinginan dan gue yang bawa lo pulang, sekarang lo masih kedinginan? atau pusing sama pegel-pegel?

kayaknya gue terlalu banyak bacot.

gue cuman mau minta maaf. kelakuan gue kemaren siang emang keterlaluan. mungkin lo nggak bakal maafin gue, gue tau gue keterlaluan hahaha ....

tapi, di surat ini gue bukan cuman mau minta maaf, gue juga mau ngasih tau lo tentang kebenarannya. kebenaran tentang gue sama raya, bener gue udah lama pacaran sama raya bahkan jauh sebelum kenal lo.

kita ketemu di halte bis, waktu itu juga gue lagi berantem sama raya. dan gue rasa, lo bisa jadi pengalihan. tapi kenyataannya, gue jadiin lo pelarian.

iya, gue beneran jadiin lo pelarian— tanpa sadar. setelah ini, lo bebas ngebenci gue, tapi gue harap lo nggak terlalu larut dalam kenangan dan omongan manis gue.

satu harapan gue, semoga lo cepat lupain gue.

—cendana kalfaharis

‘mengukir sesuatu apalagi luka memanglah mudah, yang susah adalah menghapus bekasnya.’

melupakan haris? hufttt ... aku tidak yakin, tapi mungkin kalau aku berusaha, hasilnya tidak akan sia-sia.

baiklah, terima kasih, haris.

—end—

gimana? apakah merasakan? hahahaha, semoga meninggalkan kesan baik di hati kalian.

sampai jumpa!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[2] hujan malam✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang