X. Friend (With Benefit?)

25 3 0
                                    

Bunga Terakhir, Camelia.

Chapter X : We Are Friend (With Benefit?)

Camelia merupakan tipe perempuan yang dewasa, jarang ada percekcokan diantara kita berdua. Semasih berpacaran juga ia sering mengalah untukku dalam beberapa urusan. Ia begitu pengertian dan mampu membuatku berubah dalam memandang beberapa hal.

Salah satu contohnya, yang dari dulu marak terjadi. Begitu munafik bagi seorang laki-laki yang menginginkan pasangannya masih perawan untuk dijadikan istri padahal ia sudah tidak perjaka? Adilkah untuk masalah ini?

Bagi sebagian orang mungkin itu merupakan sebuah keharusan. Tapi pola berfikirku berubah semenjak mengenalnya. Memang, kita sebagai laki-laki pasti mencari wanita yang baik-baik untuk dijadikan ibu dari anak-anak kita, tapi apakah yang sudah tidak perawan atau yang memiliki pengalaman tidak menyenangkan itu lebih buruk dari seorang perawan?

Bukankah kesalahan diciptakan sebagai pelajaran untuk kita menjadi lebih baik lagi?

Camelia juga pendengar dan pemberi nasihat yang baik.

Beberapa hari kemudian selepas kejadian malam itu, Camelia datang menemuiku disebuah café ketika aku selesai mengerjakan tugas kampus. Kebetulan aku yang masih menyalakan leptop, tiba-tiba Camelia menggunakan laptopku tanpa permisi.

"Kayaknya lo masih gak bisa move on ya dari Adel?" Tanyanya ketika ia membuka salah satu folderku.

"Bisa atuh."

"Kalo bisa, kenapa putus-nyambung putus-nyambung gitu?"

Aku dan Adel memang sempat putus-nyambung beberapa kali, disaat aku di kampung pasti aku jadian dengan Adel namun disaat aku sudah pulang ke Bogor, hubungan aku dan Adel pasti renggang. Bahkan sampai kini belum ada terucap kata putus diantara aku dan Adel.

"Gatau gue juga, Mel." Jujurku yang juga tidak mengerti kenapa bisa demikian.

"Lo itu cowok, Nan. Harus punya pendirian, kalo emang beneran sayang sama Adel, ya lo usahain kejar si Adel." Sarannya.

"Gabisa, Mel."

"Lah kenapa gitu?" Camelia menoleh padaku dengan tatapan heran.

"Ck, rumit dah." Decakku.

"Apa karena kalian sodara?" Tanyanya lagi masih mengorek lebih dalam perihal Edelweis.

Aku menghela nafas, "Lo mau tau banget tentang gue ya?"

Camelia mengangguk.

Mungkin memang harus saatnya aku berbagi cerita, karena sebelumnya aku jarang sekali cerita-cerita tentang pribadiku kepada orang lain. Okay, mungkin dari sekarang aku akan cerita semua kepada Camelia karena aku sudah percaya dengannya.

"Salah satunya ya mungkin karena memang kita sodara, Mel. Kedua ya mungkin karena keluarga dia dan keluarga gue enggak begitu akur untuk beberapa hal. Ya daripada kita jatuh semakin dalam, mending udahan." Ceritaku terkait alasan aku dan Edelweis memilih berpisah.

"Perjuangan lo segitu doang?" Camelia tersenyum sinis.

Aku menghela nafas, "Terkadang yang terindah itu diciptakan bukan untuk dimiliki, tapi cukup untuk kita kagumi."

Camelia tersenyum, sepertinya ia setuju dengan pernyataanku.

Tak lama, ia kembali melihat-lihat isi laptopku. Sementara aku membuka media sosial yang berada di ponsel. Aku tersadar ketika ia senyam-senyum ke arahku, "Kenapa lo senyam-senyum gitu?" Tanyaku heran.

Senyuman Camelia semakin lebar, "Lo sekali manis, tetap manis ya, Nan." Ucapnya. "Nih!" Lanjutnya memutar laptop sehingga aku bisa melihat apa yang ia ingin tunjukkan.

Bunga terakhir, CameliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang