Revisi

14 1 0
                                    

"Jalan di tempat, langkah tegap maju, jalan!"

Juna, Cakra, dan Salman duduk di pinggir lapangan, mengamati murid kelas sepuluh dan sebelas yang sedang berlatih LKBB tongkat di tengah lapangan. Sementara itu, kelas dua belas mengawasi kelas sepuluh dan sebelas dari dekat di lapangan.

"Kayla!" tiba-tiba saja Asha berteriak, membuat Juna terkejut. "Sekali lagi langkahnya gak sama, push up 30 kali ya!"

"... Buset," gumam Juna, membuat Salman meliriknya sambil menyengir.

"Kaget ya?" celetuk Cakra. "Asha emang nyeremin kalo udah di lapangan. Adek kelas yang cowok pun pada segan sama dia."

"Nurun dari abangnya ya." Juna tertawa kecil. "Gak dijulidin emang kalo dia kayak gitu?"

"Kalo udah selesai latihan pasti dia langsung minta maaf ke orang yang dia galakin," balas Salman. "Udah pada biasa sih digituin sama Asha, gak ada yang dibawa ke hati. Lagian gak cuma Asha yang galak kok, liat aja yang lainnya."

Juna terdiam, memperhatikan satu lapangan. Matanya menangkap Najla yang sedang berjalan di antara barisan kelas sepuluh.

"Powernya dipake!" seru Najla. "Udah berapa kali latihan?! Kesalahannya kok itu-itu aja?!"

"Yang ini lebih serem." Juna menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil.

"Najla?" tanya Cakra. "Jangan heran kalo Najla. Keluarganya kebanyakan orang militer. Abang-abang dia masuk akpol sama sekolah penerbangan. Bokap dia anggota TNI. Nyokap dia polisi juga. Gak heran kalo anaknya bentukannya kayak gini."

"Hah, serius?" Juna melongo. "Gak keliatan, asli. Biasanya pecicilan banyak bacot gitu."

Cakra tertawa terbahak-bahak. "Mau tau info lainnya gak? Dia udah dijodohin sama anak dari sahabatnya bokap dia. Waktu kelas sepuluh dikenalin, gak lama mereka jadian, masih langgeng sampe sekarang. Calonnya dia seumuran sama kita, sekarang masuk sekolah militer."

"Buset." Juna kembali menggelengkan kepalanya. "Udah, udah, susah. Beda kasta sama kita."

"Najla tahun lalu jadi paskibraka lho, tau gak lo?" celetuk Salman.

"Masa sih?" Juna mengerutkan keningnya. "Nasional? Di istana?"

"Iya," jawab Salman. "Dia jadi baki pas penurunan bendera. Cuma dia perwakilan dari Depok."

"Penurunan aja pasti udah jadi kebanggaan tersendiri," gumam Juna. "Pasti lo semua bangga."

"Banget lah!" seru Salman bangga. "Gue nih, yang galak-galakin dia di paskib pas dia masih kelas sepuluh dulu. Tiga bulan di paskib, tiba-tiba dia ngedaftar di pasus juga. Tau-tau lolos seleksi paskibraka."

"Sayang, Asha gak bisa ikut," celetuk Cakra. "Andai tinggi badan dia memenuhi syarat, pasti dia udah lolos."

"Jahat bener lo," balas Juna.

"Gue kan bicara fakta." Cakra mengangkat bahunya. "Asha ini udah cocok banget sebenernya, cuma satu aja kurangnya, tinggi badan dia. Abi juga dulu ngelarang dia, karena pas kelas sepuluh dia lagi sering banget sakit-sakitan. Sebenernya Najla gak mau daftar, karena dia gak enak hati ke Asha. Tapi Asha maksa-maksa dia. Begitu dapet berita Najla lolos seleksi, mereka berdua sama-sama nangis. Pas 17 Agustus, Asha jadi baki buat pengibaran bendera di sekolah, sementara Najla jadi baki buat penurunan bendera di istana."

"Keren," gumam Juna sambil tersenyum.

Salman turut tersenyum. "Asha emang kurang dapet pengalaman di paskib, tapi coba liat dia di pramuka. Dia bawa perubahan besar buat pasus di sekolah ini, dan sekarang jadi wakil ketua dewan ambalan. Dia bahkan udah dapet sertifikat pembina, hasil dari ikut kemah. Jadi pas lulus nanti dia bisa ngelatih di sekolah lain juga."

pradnya.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang