Rindu

101 24 16
                                    

Aku terkesiap dari tidurku begitu merasakan ponselku yang bergetar. Dengan kesadaran yang masih mengambang di udara, tanganku meraba-raba area sekitar untuk mencari benda pipih tersebut. Mataku menyipit melihat layar ponsel, tertera nama Riri di sana. Langsung saja kuusap layar ponsel dan meletakkan benda itu di telinga.

"Apa?" tanyaku kesal.

"Ma, lo jadi nginep di rumah gue, kan?"

"Hmm."

"Yes! Sekarang lo di mana? Biar gue suruh Bokap buat jemput lo."

"Nggak usah, gue bisa sendiri. Lagian gue ke sananya sore."

"Oh ... Ok. Cepet bangun woi! Ini udah jam 10 pa---"

Tuuut tuuut tuuut

Aku mematikan sambungan telepon secara sepihak. Malas sekali mendengar seseorang yang mengoceh menyuruhku untuk bangun di hari libur. Bagiku hari libur sama dengan hibernasi, jadi tidak ada alasan bagiku untuk bangun pagi.

Aku meregangkan otot-otot tubuhku yang kaku. Tanpa sadar, ternyata aku tidur di lantai semalam. Pantas saja tubuhku terasa sakit. Noda darah terlihat mengering di lantai. Luka-luka sayatan di lengan kiriku masih belum kering sepenuhnya. Sepertinya para trombosit di tubuhku malas melakukan tugasnya. Mungkin mereka kesal karena aku tidak pernah menghargai pekerjaan mereka.

Beranjak bangun, aku menyambar handuk yang menggantung di belakang pintu. Lantas memasuki kamar mandi untuk melakukan ritual pagi. Air alkohol yang kugunakan untuk membasuh lukaku membuatku berdesis berkali-kali. Cairan itu membuatnya semakin perih. Namun, entah kenapa aku menyukai sensasi perih itu. Ada suatu kepuasan aneh yang kurasakan tiap kali melakukan hal seperti ini.

Hari ini, aku mempunyai janji temu dengan guru privatku. Seperti biasa, bimbingan belajar. Dia memintaku untuk menunggu di kafe dekat taman kota. Meskipun di hari libur, dia tetap memaksaku belajar.

Aku menatap pantulan diriku di cermin, seperti biasa terlihat tomboy. Hanya polesan sedikit make-up yang masih membuatku terlihat seperti wanita. Usai bersiap, aku mengemas barang-barangku ke tas. Tidak banyak, hanya seragam sekolah dan beberapa buku, yang lainnya bisa kupinjam pada Riri.

"Mau ke mana udah rapi kayak gitu?" Mama bertanya. Matanya menelisik, memperhatikanku dari atas kepala hingga ke ujung kaki.

"Aku mau nginep di rumah Riri," jawabku jujur.

"Ngapain?"

"Mau kerja kelompok soalnya banyak tugas. Boleh, kan?" Aku menatap sosok wanita yang telah melahirkanku itu dengan penuh harap.

"Hmm .... Ya udah boleh, tapi jangan keluyuran ke mana-mana! Ok?"

"Yokay desu! Bye, Mom."

Aku menaiki bus rute 7 untuk sampai ke taman kota. Seperti biasa, bus selalu penuh dengan penumpang di akhir pekan. Hari ini, langit terlihat sangat indah. Warna biru yang menenangkan jiwa, juga awan putih dengan berbagai bentuk menjadi penghiasnya. Sungguh, lukisan Tuhan yang sempurna.

Aku menatap taman kota dari kejauhan. Banyak orang yang bersenang-senang di sana, menikmati waktu libur mereka bersama keluarga dan juga orang terkasih. Berjalan menyusuri taman sendirian, aku menikmati awal hariku yang sepi ditemani volume musik yang tinggi.

Jujur aku iri ketika melihat betapa hangatnya keluarga orang lain, mereka bisa saling mendukung dikala susah, dan saling berbagi dikala senang. Aku tahu, iri adalah penyakit hati yang berbahaya. Seharusnya aku lebih mensyukuri hidupku seperti kata orang, tetapi tetap saja terkadang sulit bagiku menemukan alasan untuk bersyukur atas hidup yang kumiliki.

A Story Life My DepressedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang