Amarah Ayah

78 9 3
                                    

"Gimana? Cantik 'kan?" Wanita itu mengelus puncak kepalaku dengan lembut. Dia memperkenalkan diriku kepada teman-temannya seolah sedang memperkenalkan putrinya sendiri.

"Iya, cantik banget kayak orang Korea," timpal salah seorang dari mereka.

"Selain cantik, Neng Rahma ini anak yang baik dan berbakti sama orang tuanya. Di sekolah juga dia itu berprestasi. Tapi sayangnya, dia lahir di keluarga yang bermasalah." Wanita itu menjeda perkataannya, dia menatapku sendu sehingga mampu menyita perhatian semua orang yang ada di tempat itu. Mungkin hanya aku yang menyadari sisi picik dari wanita ini ketika dia tersenyum miring penuh arti.

"Ayahnya itu pengangguran, dia gak gak mau kerja dan gak pernah memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga. Jadi dengan sangat terpaksa, ibunya Neng Rahma ini yang bekerja banting tulang demi menghidupi keluarganya. Lebih parahnya lagi, ayahnya Neng Rahma ini seorang pecandu narkoba. Pernah satu hari itu, gara-gara sakaw gak nemu narkoba, dia sampe tega jual istrinya sendiri cuma buat beli ganja."

Mulut wanita bertubuh bak kurcaci itu benar-benar busuk! Ayahku mungkin seorang pecandu narkoba, tapi dia tidak sebejat itu sampai tega menjual kehormatan istrinya. Justru sebaliknya, ayah sangat posesif terhadap mama. Namun, lagi-lagi aku hanya bisa diam disaat keluargaku direndahkan. Aku tidak punya keberanian untuk melakukan apa pun dalam hidup, karena itulah aku merasa tidak berguna. Sampai akhirnya ....

"Ya ampun, kasian banget. Yang sabar ya, Neng. Ibu turut prihatin."

Semua orang menatapku iba, merasa kasihan setelah mendengar sebuah dongeng panjang yang wanita itu ceritakan. Aku hanya menatap mereka datar, tak punya keberanian untuk menanggapi. Aku tidak butuh dikasihani. Bagiku hidup karena belas kasihan orang lain adalah hal yang paling menyedihkan.

"Saya tuh suka sedih gitu, kalo liat kehidupan Neng Rahma. Kalo saya jadi ibunya, udah saya tuntut suami gak tau diri kayak gitu. Mana tega saya ngeliat anak sebaik ini menderita. Bener gak ibu-ibu?" Wanita itu kembali buka suara, memancing perhatian warga agar semakin tertarik dengan apa yang dibicarakannya.

"Iya bener, saya juga bakal ngelakuin itu kalo ada di posisi ibunya."

Wanita itu sangat menyebalkan. Dia mengumbar masalah orang lain demi mendapat perhatian. Benar-benar menyedihkan! Jika dia memang peduli, seharusnya dia membantu mencari solusi bukannya malah membuat keluargaku menjadi buah bibir masyarakat seperti ini.

"Eh, ngomong apa lu barusan?" Seorang pria dengan postur tubuh tinggi besar tiba-tiba menyerobot masuk ke dalam kerumunan ibu-ibu. Dia menodongkan botol minuman keras yang digenggamnya tepat ke wajah wanita itu.

Deg!

Jantungku berdebar kencang. Nafasku tercekat, bola mataku hampir saja keluar dari tempatnya saat kulihat pria itu berdiri tegap di hadapanku.

"A-ayah," cicitku memanggilnya.

Pria itu menarik tanganku dengan kasar. Aku yang merasa takut dan juga malu hanya bisa menundukkan kepala, tak berani menatap wajah murka ayahku atau pun wajah ibu-ibu yang menatap iba ke arahku.

"Saya gak bilang apa-apa." Wanita itu berkilah. Tak ingin disalahkan atas ucapannya yang membuat ayahku naik darah.

Perlahan tapi pasti, ayah berjalan mendekati wanita itu. Wajahnya terlihat sangar dengan bola matanya yang memerah dan alis yang menukik.

A Story Life My DepressedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang