~Bukan lagi pertanyaan, melainkan harapan~

11 0 0
                                    

Setelah sindiran berbau guyon dari Mak Amat (Mbk dari Bapak) malam takbir kemarin, saat aku masuk ke rumah beliau dan menanyakan aku udah cantik apa belum, beliau menjawab "Maseh raddin mon tak pajuh lakeh/meskipun cantik tapi belum nikah" dan barusan aku dihujani harapan dan do'a soal siapa laki-laki yang mendampingiku.

Sebenernya aku gak pernah minta keluarga atau orang2 di sekelilingku membahas soal itu sih, tetapi ini sudah seperti tema yang harus aku relakan untuk diperbingkan karena menemukan moment yang pas. Selain hari raya, faktor pendukungnya lagi, ponakanku sudah nikah, atau kalau gak punya tunangan, kalau gak lagi bakal calon tunangan, sedangkan gueh yah begini-begini ajah sih.hehehe. Salah satu ponakanku sempet marah ketika aku menyampaikan pemikiran yang beberapa kali terlintas "Kadang tante mikir nduk, tante sudah punya kalian, orang tua, saudara, ponakan yg sudah tante anggap anak sndri, sahabat di luar sana. Tante udah bahagia dengan hadirnya kalian, lalu untuk apa menikah yah? Menghadirkan satu orang lagi, sedang hari ini kita sudah bahagia dengan orang2 di sekeliling kita." Waahh,,,,marahnya bukan main dia juga berusaha meyakinkanku bahwa menikah itu penting "Kebahagiaan itu banyak macamnya te, banyak cabangnya. Tante sudah bahagia dalam keluarga, dalam pendidikan, dalam persahabatan dan dalam berorganisasi tapi tante belum merasakan kebahagiaan pernikahan kan? Yaudah, terserah tante deh, aku sih mau nikah"

"Yah, tante juga mau nikah kalik nduk. Cuma tante menyampaikan pikiran yg kadang terlintas, semoga ajah hanya angin lewat. Gak bener2 Tante implementasikan.hehehe"

Poin yang ingin aku sampaikan, seringkali tho mungkin kalian di tanya "Kapan nikah? Kapan tunangan? Sudah punya pasangan?" Sepertinya aku sudah melewati lefel itu, orang-orang di sekelilingku berusaha membaca dan memberikan argumen berupa harapan, bukan lagi pertanyaan. Beliau-beliau memberikan lahan/ruang padaku bukan masa/waktu. Aku sangat menghargainya. Begini harapan yang sering dilontarkan "Sinta belum nikah, semoga dapat suami dokter biar Mbah kalau sakit tinggal ke rumah Sinta." Atau "Sinta sekarang guru berarti nanti suaminya guru" Atau "Sinta kuliah berarti nanti suaminya anak kuliahan juga" Atau "Cita-cita Sinta jadi Dosen berarti nanti suami Sinta dosen juga" Atau "Sinta belum menikah, masih fokus sama karir." Soal apa profesi suamiku nanti atau bagaimana impianku di kehidupan masa yang akan datang, aku gak pernah cerita sama beliau-beliau sih. Entah darimana asalnya harapan atas diriku itu datang. Yang aku hargai dan sangat berterima kasih karena telah memberikan Aku Ruang. Seorang perempuan selayaknya manusia yang mempunyai otoritas penuh atas dirinya, dia perempuan bukan wanita (wani tapa) yang terjerat budaya patriarki. Dia manusia, memiliki hakikat sebagai makhluk sosialis dan individualis, sebagai kholifah Fil Ardh dan 'Abdun serta sama-sama memiliki Hak Asasi Manusia (HAM). Semoga kita menjadi manusia yang luas, luas wawasan, luas budi pengerti, luas akhlak, dan luas-luas lainnya. Sehingga kita terbiasa untuk berbesar hati melihat dan menerima perbedaan yang ada di sekitar kita🤲

Catatan Refleksi
SB, 27 Mei 2020

Catatan RefleksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang