(Betapa dunia kelihatan hitam nan pekat, seketika, saat aku melihat bayangan hidup tanpa dirimu lagi, Mamak.)
Setiap kali pergi ke luar kota, aku selalu mendahului restu kedua orang tua. Tidak hanya itu, untuk mengambil kesempatan mengemban amanah pun aku menunggu ridho orang tua. Jika tidak kudapat, maka benar aku lepas semua kesempatan itu. Meski, dalam prosesnya juga ada teknik lobying. Hehehe, artinya berusaha memberikan kepercayaan kepada orang tua bahwa aku bisa dan akan baik-baik saja. Sejauh pengalamanku, beliau melarang bukan karena tidak suka, melainkan karena khawatir.
Suatu hari aku diberi kesempatan untuk duduk di kursi nomer satu. Siapa yang tidak tergiur dan siapa yang tidak mau. Apalagi, tidak hanya satu yang berharap, tetapi banyak orang. Setiap kali aku duduk dengan secangkir kopi, mereka kembali bertanya dan berusaha memberiku keyakinan. Namun, lagi-lagi, keputusan tidak aku buat seorang diri. Menyertai kedua orang tua adalah hal yang memberikan ketenangan dalam prosesnya, semua akan terasa lebih mudah. Sebab, dulu aku pernah melakukan hal itu. Sehingga jika ada batu dan aku berpotensi kesandung, maka orang tua juga berusaha memindahkan batu itu dengan doa yang tulus dan ikhlas.
Maka dengan berat hati, aku lepas kesempatan itu. Karena restu kedua orang tua belum aku miliki. Terlebih lagi, kondisi Ibu yang belum stabil membuat aku semakin yakin untuk tidak dulu berperan di struktural. Tetapi, semoga tetap bisa memberikan kebermanfaatan. Amin.
Lain halnya dengan schedule aku ke luar kota minggu lalu. Aku sudah berkomunikasi dengan orang tua jauh-jauh hari, terutama dengan Ibu. Bahkan sebulan sebelum jadwal kepergianku. Isi dari komunikasi kami adalah aku bakal berangkat dengan siapa, di sana bakal ngapain aja, berapa lama, bahkan sampai tidur di mana dan makan sama apa Ibu nanyain. Sudah pasti aku menyampaikan semua poin itu dengan hati-hati, supaya 'tak ada sedikit pun rasa khawatir pada Ibuku. Meski ketika berangkat semuanya sudah kelihatan baik-baik saja, Ibu melepasku dengan sumringah. Tetapi, sehari setibanya aku di lokasi, aku mendapat kabar Ibu kambuh. Tetapi tidak begitu parah, sebab di layar video call Ibu masih bisa bercanda denganku. Terlebih lagi, di sekitar Ibu ramai orang, ditemani saudara yang lain. Jadi aku sedikit lebih tenang.
Keesokan harinya, aku ditelfon Mbak. "Ibu kambuh lagi, seluruh badannya kelihatan memar. Muntah-muntah dan nafasnya susah." Setelah Mbak bicara begitu aku meminta untuk bisa video call dengan Ibu. "Iya, nanti, sekarang Mbak sudah di rumah. Mau ke toilet dulu," ujar Mbakku dari seberang telfon. Hampir 30 menit aku menunggu tapi gak ada kabar lanjutan, (Mbak sudah ke toiletnya?) chatku hanya centang dua, tidak ada balesan. Aku telfon sudah tidak aktif. MasyaAllah, saat itu pikiranku negatif terus, di balik pintu kamar tamu aku terus gelisah.
Aku berusaha mengabari adik-adik yang bisa dimintai tolong untuk ke rumah. Setelah kontak beberapa orang, satu yang bersedia. Dia bernama Laik, anggota PMII Rayon Tarbiyah Komisariat INAIFAS. Terima kasih Laik. Dia baik banget, usai kuliah langsung meluncur ke rumahku. Sampai di rumah gak ada orang, aku tuntun dia melalui video call untuk terus masuk rumah, hingga akhirnya dia sampai di kamar Ibuku. MasyaAllah, air mataku tidak bisa terus dibendung, aku tidak bisa sok kuat lagi. Menjumpai Ibu sendirian terkulai lemas di kamar itu membuat aku sama sekali tidak berdaya.
"Ibu, Sinta pulang besok, ya, ntar tak pesen tiket."
"Tugas kamu sudah selesai?" Beliau berusaha mengeluarkan suara meski nafas sudah tidak teratur. Ditambah lagi air mata yang terus mengalir membuat beliau lebih sesak.
"Belum, Bu, tidak apa-apa, nanti aku coba ijin ke ketua. Aku yakin dia bakal mengerti."
"Tidak usah, kamu selesaikan dulu tugasmu di sana." Ibu yang selama ini aku anggap tidak begitu memahami tanggung jawabku di organisasi layaknya Bapak. Ternyata memintaku menuntaskan tanggung jawab, padahal dalam hati aku yakin Ibu memberatkanku lepas. Terbukti, Mbak iparku bilang kalau Ibu terus menghitung hari kepulanganku. Tapi kalian tahu? rasa beliau menjadi nomer dua dan menomer satukan tugasku. Dalam hal ini, beliau juga ikut berkorban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Refleksi
SaggisticaSeseorang selalu menuntut kebaikan dari luar dirinya, tapi dia lupa untuk menuntut kebaikan dari dirinya sendiri. Manusia yang aktif adalah dia yang berusaha menciptakan kebaikan dan memberikan kebaikan untuk dirinya, orang lain dan sesuatu di luar...