11. Berbaiknya Ikatan^

104 3 0
                                    

Karina berjalan gontai menuju kamarnya. Sudah 2 hari ini semenjak Vania tertangkap basah mengunjungi sebuah kelab malam. Papa Widi sangat marah besar kepada Vania, begitu pula dengan mama Ratih yang tampak kecewa dengan perilaku putri sulungnya itu. Sejak malam itu Karina tak pernah melihat Vania, itu adalah kali terakhir kali ia bertatap dengan kakak perempuannya itu. Sudah 2 hari ini pula Vania mengurung dirinya di kamar. Enggan untuk keluar walau hanya sebentar. Hanya Mama dan Bayu yang sering keluar masuk kamar Vania untuk menengok, memastikan bahwa Vania baik-baik saja. Juga mengantarkan makanan untuknya. Sekecewa apapun mama Ratih, ia tidak akan membiarkan anaknya kelaparan. Ia akan terus merangkul anaknya walau nyatanya rasa kecewa yang ada dalam hatinya masih sangat basah. Begitu juga dengan papa Widi. Dia tidak benar-benar marah dan mengacuhkan Vania. Sepulang kerja ia selalu datang menemui Vania.

Karina masih menatap pintu itu. Pintu dimana yang akan membuatnya menatap kakak perempuannya.

"Ketuk gak ya ... nanti kalo tambah marah gimana??" ujarnya pada dirinya sendiri. Ragu-ragu untuk mengetuk pintu itu. Ia hanya ingin mengetahui dan menanyakan kabar kakak perempuannya itu. Namun lagi-lagi bayangan ketidaksukaan Vania terhadapnya kembali hadir, menghentikan genggaman tangannya yang hendak menyentuh pintu itu.

"Apa waktunya sudah tepat?" tanyanya lagi pada dirinya sendiri. Ia terus bermonolog dengan dirinya sendiri hingga akhirnya ia memilih untuk pergi saja dari hadapan pintu itu. Baru saja ia membalikkan badan hendak melangkahkan kakinya untuk menjauh dari sana, sebuah suara muncul bersamaan dengan pintu yang terbuka.

"Karina ..." ucap perempuan itu.

Karina yang mendengar suara itupun menghentikan langkahnya, berbalik badan untuk memastikan bahwa Vania yang memanggilnya.

"Kak Vania, ... manggil aku?" ujarnya tak percaya dengan sedikit senyuman simpul pada wajahnya.

"Emang, disini ada lagi yang namanya Karina selain kamu?" ujarnya dingin, namun tak sedingin lagi seperti dulu. Juga aura benci dan amarahnya tidak setajam dulu, memudar, bagai air keruh yang telah terbasuh oleh air hujan.

"Ya ... gak ada sih, Kak," jawab Karina kikuk menahan senyum akan kebodohannya sendiri. Ia berjalan mendekat ke arah Vania dengan perasaan senangnya.

"Lo mau gak nanti temenin gue ke toko buku? Ada beberapa buku yang harus gue beli," ujar Vania yang kini sudah nampak santai. Seperti kutub selatan yang kian meleleh.

" ..."

"Gimana?" ujarnya lagi saat Karina hanya diam saja menatapnya tanpa menjawab ajakannya. Vania menautkan alisnya, sesaat ia berkata, "Mau nggak?"

"Iya Kak, aku mau," jawab Karina antusias.

"Ya udah ... sorean aja. Nanti aku ke kamar kamu,"

"Siap, Kak ..." seraya menaikan satu tangannya layaknya sikap hormat pemimpin upacara kepada inspektur upacara. Vania tersenyum tipis melihat kelakuan adiknya itu. Ia kembali memasukkan dirinya ke kamar dan hendak menutup pintu kembali. Namun Karina buru-buru menahan pintu itu dengan satu lengannya.

"Kak?!!" ucapnya kala pintu itu kembali terbuka karena ulahnya.

"Apa lagi?"

"Kakak baik-baik aja, kan?" ujarnya memastikan suatu keajaiban yang bukan hanya ilusi  saja bagi Karina. Sejak kedatangannya beberapa hari yang lalu Vania sangat membencinya, namun kini perilakunya berubah 180°. Karina masih belum bisa mempercayainya dengan pasti apa yang sedang terjadi saat ini.

Garis PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang