5. (Lima)^-

143 11 0
                                    

"Pak, berhenti di depan cafe itu!!"

"Loh bukanya, Non, mau ke sekolah ya? Kok malah ke cafe, Non?"

"Mau bareng temen, Pak"

"Tapi Non—"

"Udah deh Pak. Jangan banyak tanya!!" Vania menyilangkan kedua tangannya dengan raut wajah sebal.

Mood Vania buruk sekali untuk hari ini. Ia tidak bisa berlama-lama dalam satu mobil dengan Karina.

"Kak, masih marah ya sama aku? Karin minta maaf ya Kak," Karin tampak meneliti ekspresi wajah kakaknya itu.

Vania tampak mengacuhkannya.

"Stop di situ, Pak. Berhenti!!" ujar Vania kala melewati sebuah cafe yang ia maksud. Ia bergegas turun.

Karina yang melihat hal itu merasa tidak enak dengan Vania. Vania jelas terlihat seperti menghindarinya. Ia memegang lengan Vania kala ia memegang handle pintu mobil untuk beranjak keluar.

"Kak, jangan kayak gini. Kita berangkat bareng ya?" Karina tampak memelas kepada Vania.

"Gue gak bisa lama-lama sama lo."

"Biar aku aja deh Kak yang turun, aku bisa kok naik angkot," bujuknya kepada Vania yang masih diam.

"Emang lo tau sekolah lo ada di mana? Nanti kalo lo gak sampai di sekolah, gue juga kan yang kena amuk papa. Mikir dong lo,"

"Tapi, Kak, jangan kayak gini. Kita berangkat sama-sama ya?"

Vania tersenyum miring meremehkan adiknya itu. Menurutnya Karina terlalu naif. Bukannya sudah jelas kalau dimata Vania, Karina adalah pengganggu.

Ia berlanjut membuka pintu mobil. Juga nampak sebuah mobil lain di seberang jalan yang tengah menunggunya.

Ia telah keluar dari mobil yang tengah di tumpangi Karina. Ia tampak menundukkan kepala pada jendela mobil untuk mengatakan sesuatu kepada Karina.

"Gue gak mau tau ya. Gue gak mau kalau sampai satu sekolah tau kalo lo itu anak dari keluarga Baskara. Apalagi kalo lo itu adek gue,"

"Tapi Kak ... Kakak berangkat sama siapa?"

"Temen gue."

"Tapi pulangnya nanti sama-sama ya, Kak?"

"....."

*****


"Sudah sampai Non ..." pak Rudi memberhentikan mobilnya tepat pada samping gerbang masuk sekolah itu.

Karina masih tampak belum merespon. Ia lalu melihat ke arah yang dimaksud Pak Rudi, sekolah barunya.

"Terima kasih ya, Pak."

"Non, masih kepikiran sama Non Vania ya? Jangan diambil hati Non, dia emang gitu. Nanti juga baik-baik sendiri sama Non. Bapak juga sering di marahin sama Non Vania."

"Memang, Pak Rudi sering dimarahin karena apa?"

"Iya non. Bapak dikira ngaduin dia ke Tuan. Padahal kan tuan tanya, dan bapak kan juga jawab seadanya."

Karina masih belum tampak mengerti. Ia mengerutkan dahinya pada Pak Rudi.

"Non Vania sering bohong sama Tuan. Bilangnya kerja kelompok, nyatanya jalan-jalan ke mall. Kan juga saya yang nganterin Non."

"Oh ... gitu ya Pak." Karina mengangguk mengerti.

Karina bergegas keluar dari mobil. Menautkan tas ranselnya pada kedua lenganya.

"Sekali lagi makasih ya Pak. Jangan bilang papa ya soal kejadian tadi," ucap Karina pada jendela mobil yang mengarah pada pak Rudi.

"Iya Non. Bapak bisa ngerti."

Garis PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang