7. Pertemuan pertama^

141 12 0
                                    

Budaya kan Vote ★ sebelum membaca.
Kalo mau follow boleh juga.
Nanti aku follback.
Berlaku sampai habis taun 2020 ya follback nya .. 😅😅
Aku serius ini.

*****

Karina tampak kesulitan memejamkan matanya malam ini. Ia belum bisa tidur. Ia teringat kejadian-kejadian yang terjadi sepanjang hari ini. Drama di pagi hari, perseteruan dengan kakaknya yang belum juga berakhir, juga perihal teman-teman barunya. Kejadian-kejadian tidak mengenakan terjadi di sepanjang hari ini bertepatan dengan hari pertamanya menjadi siswa baru di SMA Garuda Muda Mandiri.

Bahkan ini sudah pukul sepuluh malam, namun kakak perempuanya itu juga belum pulang. Fakta ini membuatnya kembali sulit untuk memejamkan kedua matanya.


"Kak Vania ... dimana sih kakak ..."

Karina membolak balikkan tubuhnya di atas ranjang, mencari kenyamanan untuk menemaninya tidur dan mengantarkannya ke alam mimpi. Namun lagi-lagi itu sia-sia. Akhirnya ia memilih untuk turun dari ranjangnya, menuju dapur untuk mengambil air minum guna menyegarkan tenggorokannya.

"Pa ... Bayu udah tau dimana Vania. Biar Bayu yang jemput dia," ujar putra sulung keluarga itu.

Pria paruh baya itu pun tampak lega mendengar bahwa Bayu mengetahui keberadaan Vania. "Pergi kemana dia?" ujarnya cepat. Istrinya pun tampak khawatir, ia mengarahkan pandangannya ke putranya, menunggu jawaban putranya.

"Dia, di salah satu klub malam Pa, Ma," ujar Bayu yang serasa tertampar mendapati keberadaan adiknya itu.

"Astaga Vania ... anak kita Pa," ujar Mama Ratih yang terkejut. Ia sampai menutup mulutnya karena fakta itu. Ia sangat tidak menyangka bahwa Vania yang masih sekolah sudah berani berkunjung ke tempat hiburan malam.

"Dasar anak itu. Sudah habis kesabaran Papa!" Pria paruh baya itu menggenggam erat tangannya.

"Pa ..." ujar Bayu memperingatkan papanya akan ucapannya tadi.

"Ini sudah keterlaluan, Bayu. Bagaimana bisa anak gadis keluyuran malam-malam begini? Apalagi itu di klub malam. Mau jadi apa dia? Dia itu masih pelajar. Dia masih punya Papa dan Mama yang harus ia jaga kehormatannya. Mau di taruh di mana muka Papa dan Mama kalo sampai sesuatu terjadi dengan dia di sana? Fakta bahwa dia mengunjungi tempat seperti itu saat ini saja sudah mencoreng wajah orang tuamu," murka pria paruh baya itu disertai emosi yang berapi api. Lantas setelah itu, masih dengan amarahnya ia menyambar kunci mobil yang ada di meja. "Apa nama klub malam yang ia datangi? Biar Papa yang menyeret dia pulang."

Bayu yang melihat emosi papanya itu pun tampak urung memberi tahukan dimana tepatnya Vania berada. Ia menatapnya, berusaha menenangkan emosi orangtuanya. "Pa, kalo Papa datang menemuinya dengan amarah seperti ini, aku yakin, perilaku Vania akan semakin menjadi. Dia akan tetap melampiaskan amarahnya. Bukan belajar menelaah amarahnya."

Papa Widi terdiam dengan ucapan Bayu. Lagi-lagi ia merasa ia turut andil dalam sikap dan perilaku Vania selama ini. Apalagi tentang pengelolaan emosi Vania yang terkesan buruk.

"Lalu apa yang harus Papa lakukan? Diam saja? Pura-pura tidak tau? Tetap membiarkanya? Itu akan lebih menjerumuskan dia," pungkas Papa Widi tak mau kalah.

"Biar Bayu yang menjemput Vania pulang. Papa harus meredam emosi Papa. Mendinginkan kepala Papa, supaya tidak ada keputusan yang salah untuk mendidik Vania disini. Jangan memaki ataupun mengeluarkan amarah Papa yang keterlaluan. Kita akan membicarakan ini dengannya besok pagi," Bayu berlalu dari hadapan kedua orangtuanya sembari mengambil alih kunci mobil yang berada di genggaman pria paruh baya itu.

Garis PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang