Victor's POV
Jika diurutkan dari garis hidup dan keturunan, aku adalah salah satu dari ratusan orang beruntung di dunia, di Rusia. Kehidupanku normal, bahkan bisa dibilang lebih baik dari itu. Keberuntungan juga seringkali jatuh pada nasibku, memang pernah sesekali aku merasa tidak beruntung, namun hal itu jarang kualami, bahkan dapat dihitung dengan jari. Termasuk yang terjadi pada perjalanan karirku, tak kusangka aku mencapai kejayaan dalam waktu yang tidak terlalu panjang, bahkan pada usiaku yang pada saat itu berada di permulaan kepala dua.
Hanya saja, tidak semuanya dan tidak selamanya kelapangan itu terus-menerus menggelayuti kehidupanku. Orang tuaku akan menjadi sangat perhatian dan temperamental jika sudah menyangkut kehidupan personalku. Terdengar menjengkelkan, ya? Memang. Mereka selalu mencampuri hubunganku dengan orang-orang terdekatku.
Ada satu kejadian yang sangat membuatku kesal. Setiap kali aku membicarakan (y/n) pada mereka, bahkan saat aku hanya bertanya apakah mereka masih mengingat (y/n), mereka terlihat tidak peduli dan hanya merespon sekenanya. Di lain waktu saat aku melakukannya lagi, mereka justru memintaku untuk tidak terlalu memikirkan. Mereka menyuruhku untuk move on dan fokus saja pada orang-orang yang berada di dekatku saat itu.
Sudah cukup sedikit kilas balik tersebut. Ada sesuatu yang menghantui pikiranku sejak hari pertama aku di Jepang. Sejak kali pertama aku kembali menemukannya.
Perasaanku berat oleh hal yang tidak mungkin aku beritahukan kepada (y/n). Namun, saat aku menghabiskan waktu bersamanya, entah kenapa beban itu lenyap begitu saja. Aku tahu itulah kekuatan darinya, dan itulah alasan mengapa aku begitu menyayanginya. Aku benar-benar berterima kasih atas kehidupanku saat dulu aku masih dapat melindunginya dan menyaksikan kebahagiaan di dalam setiap senyumannya, setiap hari, tanpa terkecuali. Dan seiring bertambahnya usia, aku semakin paham.
Aku menatap lekat-lekat layar ponselku dengan nama indah (y/n) terukir manis di sana. Berlama-lama netraku bergelayut, menyambut sapaan dari radiasi ponsel yang kian membuat mataku sedikit perih. Ditambah lagi semalaman aku tidak bisa mematikan tombol aktif di kepalaku, sehingga berakhir sampai pagi ini, mengacaukan pola tidurku.
Sesuatu yang selama ini berusaha kusembunyikan, sepertinya telah mencapai batasnya. Aku sendiri mengerti konsekuensi ini. Dari awal, aku sudah menduga bahwa hal ini hanya akan menjadi bom waktu apabila terus kusembunyikan. Namun, jelas aku tidak bisa mengutarakan semuanya begitu saja. Itu juga namanya bunuh diri.
"Tch.." Aku mendengus frustasi sembari meremas kuat-kuat ponsel di tanganku.
Di tengah kegaduhan yang memenuhi pikiranku, tiba-tiba ponselku berdering.
Saat kulihat pada layar, pikiranku tiga kali bertambah kacau hanya dengan membaca nama orang itu.
.
.
Benar-benar tidak dapat dipercaya. Kenapa harus saat sekarang ini? Kenapa harus saat aku berada di Jepang? Saat aku sedang berada dekat dengan (y/n)...
Aku bergegas bersiap diri dan mengemasi barang-barangku. Bukan seperti ini rencananya. Tapi tidak ada pilihan lagi. Orang itu... benar-benar tak kusangka.
Saat segalanya beres, aku kembali memungut ponselku di atas ranjang. Kugeserkan ibu jariku dengan lihai di atas layar hingga berhenti saat kutemukan nama (y/n) terpajang di sana. Untuk terakhir kalinya aku kembali menimbang-nimbang hal ini, sebelum aku menekan tombol 'call' pada kontaknya.
Tanda berdering terus-menerus terdengar, namun tak kunjung diterima. Aku semakin gundah dan cemas. Kuulangi panggilan tersebut hingga beberapa kali, namun nihil. Yang terdengar hanya tanda berdering tanpa respon hingga akhirnya tak terhubung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Precious Feelings [Reader's Imagine]
FanfictionDapatkah cinta monyet berpeluang menjadi cinta sejati? Pertemuan terakhirmu dengannya telah menggugah hatinya untuk tetap mengejarmu. Di satu sisi, seseorang dengan penuh kesederhanaannya mengisi lembaran demi lembaran dalam hidupmu, juga selalu be...