~Happy reading~
********"Taruh dulu, raketnya," titah Liam kepada kedua perempuan yang sekarang berdiri saling berhadapan dengannya.
Tanpa menyahut sepatah kata pun, Martha dan Jena langsung meletakkan raket mereka tepat di samping kaki masing-masing.
"Sekarang, lari kelilingi lapangan dulu." Belum genap menit berganti, Liam kembali bersuara, "lima kali."
Refleks Jena membelalak lebar karena saking terkejutnya usai mendengar penuturan Liam barusan.
"Kak, bisa dikurangin gak?" Tanya Jena hati-hati seraya meringis pelan ke arah Liam.
Sebab, bagaimana jadinya orang pemalas olahraga seperti dirinya tiba-tiba
Sebelah alis Liam terangkat ke atas, lalu dia menggeleng ringan. Melihat respon itu Jena pun tersenyum kikuk menanggapinya. Ia menganggaruk sekilas tekuk leher yang tak gatal, guna sebagai pengalihan rasa malunya saja.
Sementara Martha, gadis itu sama kagetnya seperti Jena. Namun, dia memilih untuk tetap mengantupkan bibir dan tidak melayangkan protes apapun. Walau sebenarnya ia juga memiliki pengajuan yang persis.
Diam-diam kedua perempuan itu saling melemparkan pandangan mereka. Martha bisa menangkap raut mengeluh dan kegelisahan dari wajah Jena, seolah meminta bantuan kepadanya untuk ikut berbicara agar Liam meringankan jumlah putaran larinya.
Tetapi Martha hanya bisa menggeleng pasrah. Menunjukkan lewat gestur jika ia pun sama bingungnya dan tidak tau harus berbicara seperti apa.
Sorot mata Martha beredar ke seluruh penjuru ruangan latihan. Terlihat beberapa siswa di ujung sana, tampak mulai berlari secara bergantian.
Seandainya hanya satu kali putaran, Martha sudah tidak bisa membayangkan bagaimana lelahnya mengelilingi empat lapangan bulu tangkis sekaligus. Apalagi kondisi dengan dirinya sangat jarang berolahraga.
"Kak, mulai sekarang?" Martha akhirnya mencoba untuk membuka suara, walaupun sebenarnya ia begitu sungkan.
Sontak Jena menoleh dengan gerakan cepat ke arah Martha. Lalu beralih melirik Liam dengan sorot penuh was-was.
Liam mengadahkan dagunya. Membalas tatapan Martha dengan wajah yang tak berekspresi sama sekali.
"Mengulur waktu tiga menit. Putaran kalian ditambah jadi tujuh kali," tutur Liam dengan nada yang terlampau santai. Lalu dia menunjukkan timer di ponselnya ke hadapan Martha dan Jena.
"Mulai!"
Refleks Martha dan Jena terjerengit. Spontan mereka berdua sigap menggerakkan kakinya mulai berlari memacu kecepatan masing-masing. Baru beberapa detik, Napas Jena sudah memburu tak karuan. Hingga Martha bisa mendengar, deru napas perempuan itu yang begitu keras.
"Ini pemanasan bulu tangkis kek mau latihan maraton Asian games aja sih, Tha." Jena menggerutu kesal sambil memalingkan wajah ke arah Martha. Rasa kesalnya seakan bertambah saat ikatan rambutnya melorot dan hampir lepas.
Sementara Martha, dia hanya bisa tersenyum tipis menanggapi ocehan temannya itu. Di pertengahan laju larinya, dia membalikkan setengah badan ke belakang.
Ingin melihat murid lain yang sedang berlari di belakang. Namun, yang di temukan oleh matanya malah keberadaan Liam yang masih terpaku berdiri di posisi tadi. Dengan sorot mata lelaki itu masih terus tertuju kepadanya.
Mengetahui hal itu, lantas cepat-cepat Martha kembali memutarkan badan ke depan lalu menggigit bibir bawahnya gemas. Kenapa akhir-akhir ini ia selalu bertemu pandang secara tak sengaja dengan kakak kelasnya itu.