1

622 39 1
                                    


Ternyata, apa yang dikatakan Lissa itu benar, banyak yang berubah sejak Alicia pergi ke Paris. Seperti mall ini, lebih bagus dan keren ketimbang yang dulu. Apa waktu benar-benar dapat mengubah segalanya?

Tetapi, kenapa tidak dengan perasaan ini?

"Hanya ini saja, Mbak?"

"Eh, i-iya." Alicia melemparkan senyuman kepada mbak kasir di depannya, menyodorkan ATM-nya lalu menerima barang yang dipesan. "Terima kasih, Mbak."

Diintipnya barang di paper bag yang ia bawa, tersenyum senang, kemudian melangkahkan kaki keluar dari mall. Tidak, dia tidak spontan pulang, melainkan menunggu seseorang menjemputnya.

"Sudah selesai?"

Kepalanya spontan terangkat kala suara bariton itu terdengar di telinganya. Tersenyum manis, meletakkan handphone ke dalam tas lalu mengangguk mantap. "Sudah," jawabnya sambil mengangkat sebuah paper bag di tangan.

"Apa aku terlalu lama datang? Sorry, tadi aku terjebak macet."

Alicia terkekeh singkat. "Ah, tidak. Kamu datang tepat waktu, aku baru saja selesai." Tangannya menggenggam pergelangan pria di hadapannya, tersenyum singkat. "Ayo, pulang," ujarnya lagi. Mereka pun berjalan beriringan menuju sebuah mobil hitam.

"Lima hari lagi, ya?" Sembari menyetir, pria berkemeja navy itu membuka obrolan. Tetapi yang ditanya justru menyernyitkan kening tanda bingung. "Ck, maksudku pesta pernikahannya akan dilaksanakan lima hari lagi, kan?"

"Oh, soal itu." Terkekeh sejenak lalu kembali berucap. "Iya, karena itu aku sibuk sekali sejak pagi. Ternyata, sesibuk ini, ya, orang mau menikah? Ribet."

Pria di sampingnya tertawa seketika. "Tentu sibuk. Ada-ada saja kamu ini! Memang, menurutmu seperti apa?"

Alicia membuang muka, tersenyum malu. "Ya, seperti itu," jawabnya sembari menatap paper bag yang sejak tadi dia pegang.

"Paper bag itu isinya apa?" Menaikkan sebelah alis, menerka-nerka isinya. "Pakaian?"

"Ih, kepo!" Mendapati pria di sampingnya yang mendelik, Alicia tertawa. "Hanya aku, Allah, dan orang yang nanti mendapatkan hadiah ni yang tahu isinya."

"Hadiah? Jadi itu untuk hadiah?" Alicia hanya mengangguk, membuat orang yang mengantar jemputnya semakin penasaran. "Untuk siapa, sih?"

"Kepo banget, ih, kamu! Tidak boleh kepo, nanti tidak punya teman," canda wanita itu lalu terkekeh.

Tepat saat lampu lalu lintas berwarna merah, pria itu menatap Alicia dengan senyum manis. "Tidak apa-apa kalau aku tidak punya teman. Aku, kan, sudah ada kamu," godanya santai. Sontak saja, Alicia terdiam dengan ekspresi melongo dalam beberapa saat.

"Gombal ih, kamu! Sudah, jalankan mobilnya. Lampunya sudah berubah hijau, tuh," omel Alicia lalu membuang muka. Pria di sampingnya menurut tanpa mengucapkan sepatah kata.

Setelah terjadi keheningan beberapa lama, pria itu kembali membuka suara. "Seenggaknya berikan aku hadiah."

Alicia kembali menyernyit, heran dengan pria di sampingnya yang kekuh ingin mendapat hadiah. "Kan, dulu waktu kamu ulang tahun, sudah."

"Ya, kan, itu dulu," ngelesnya. Melirik Alicia sekilas lalu memasang ekspresi memelas. "Ayolah, hadiah apa saja. Anggap saja sebagai ucapan terima kasihmu karena sudah aku antar jemput."

"Sudahlah, berhenti bercanda." Saat pria itu terkekeh, Alicia mendengus. "Lebih baik katakan, kenapa kamu memilih menjadi guru sejarah? Bukannya waktu SMA kamu malas belajar?" tanya wanita itu sambil memajukan wajahnya.

Let's Open the MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang