Prolog

917 50 0
                                    

Kata orang, setiap perpisahan pasti ada titik temunya. Mau sejauh apapun kau pergi, jika dia —orang yang menjadi 'rumahmu'–– masih terngiang di kepala, suatu saat nanti pasti akan dipertemukan kembali denganmu. Terlebih jika hatimu masih mengharapkan kehadirannya.

Tadinya wanita dengan rambut terurai itu tidak percaya dengan kata-kata di internet yang pernah ia baca. Tetapi, sekarang, haruskah kata-kata itu menjadi kenyataan? Haruskah ada temu diantara dirinya dan orang yang sekuat tenaga berusaha ia lupakan?

"Bertemu dia?"

Alicia menghela nafas, meletakkan sebuah undangan pernikahan di tangannya lalu memejamkan mata. Untaian kata-kata penuh makna itu berkumpul di pikirannya, menghasut hati agar kembali membuka kenangan lama yang sempat sirna tentang sosok itu.

Sosok itu ... bukan cinta pertama Alicia. Tetapi, pria yang  berhasil membuatnya merasakan rumitnya cinta. Pria yang ... ah! Cukup! Bagaimana ia bisa melupakan jika hatinya saja masih mempertanyakan keadaan pria itu?

"Sayang ...."

Panggilan lembut dari sang Bunda membuat jemari Alicia menghapus air mata yang bergemul di sudut matanya. Berdehem sejenak sebelum menyahut, "eh, i-iya. Ada apa, Bun?"

Bunda tak langsung menjawab. Wanita yang membawa segelas teh hangat itu mendudukkan diri di samping putrinya. "Kamu menangis?"

Alicia menggeleng, menjawab, "I don't cry, Bun. Cuma kelilipan saja," sembari tersenyum kuda. Tentu saja, dia berbohong.

Fira, bunda Alicia, menatapnya cukup lama sebelum menghela nafas panjang dan mengangguk singkat. "Kamu ... yakin dengan keputusan itu?"

"Keputusan apa, Bun?"

"Kamu pasti tahu maksud perkataan Bunda," jawab Fira penuh penekanan. Tanpa menjawab apapun, Alicia menundukkan kepala. Fira tahu, keputusan itu memang sangat berat dilakukan oleh anak bungsunya. "Jika kamu tidak yakin, kita akan membuat pesta pernikahannya di sini saja. Nggak usah dipaksain, Sayang," ujarnya sembari mengelus pundak Alicia. Alicia spontan mengangkat kepalanya dan membalas tatapan teduh Bunda.

"Ta-tapi ..."

Fira mengangguk singkat, menepuk-nepuk pundak anaknya. "Kita batalkan rencananya saja, ya? Kita ganti dengan rencana baru yang lebih baik untuk semua."

Apa boleh?

Setelah lama berdiam diri, kepala Alicia menggeleng pelan, diikuti bibir yang tersenyum manis. "Tidak usah, Bun. Tidak apa-apa. Kita lakukan saja semuanya sesuai rencana," jawabnya pelan.

"Tapi, Sayang ... kamu ..."

"Aku akan baik-baik aja, Bun," potong Alicia. Jemarinya menyentuh tangan hangat Bunda. "Bunda tidak perlu khawatir. Semuanya ... akan berjalan sesuai rencana."

Fira terdiam, masih tidak percaya dengan perkataan yang anaknya ucapkan. Dia sangat tahu, gadis itu  pandai menyembunyikan kesedihan. Tetapi, setelah mendapat anggukan yakin dari Alicia, Fira mengangguk pelan. "Baiklah, kalau keputusanmu sudah matang, Bunda tidak akan merubah apapun. Pesta pernikahannya akan dilaksanakan di Indonesia."

Alicia melebarkan senyumannya dan mengangguk setuju. "Terima kasih, Bun."

"Bunda yang seharusnya berterima kasih, Sayang."

Setelah tertawa pelan, Alicia memeluk Bunda dengan erat. Sembari menguatkan keyakinannya, pelukan sang Bunda berhasil membuat hatinya sedikit lebih lega. Setidaknya untuk saat ini.

Alicia akan baik-baik saja, Bun. Pesta pernikahannya harus berjalan lancar! Apapun ... yang terjadi nantinya.

Let's Open the MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang