04

716 130 2
                                    

Sejak dulu [full name] adalah tipe individu yang ambis. Apabila ia bersekolah, maka ia akan bisa meraih banyak peringkat sepanjang itu. Apabila ia berkuliah, maka ia akan menjadi mahasiswi yang aktif dengan organisasi serta akademiknya. Pun ketika gadis itu telah mempunyai pekerjaan seperti sekarang ini.

[Name] biasa mendedikasikan waktu serta tenaganya untuk hal-hal yang ia ketahui penting untuk dirinya. Ujar ibunya seperti itu. Iya. Gadis yang kini sudah lewat berkepala dua itu tumbuh dengan 'arahan' penuh dari orang tuanya. Termasuk segala hal yang menyangkut prestasi serta kesuksesan.

Sejauh ini, [full name] memang belum merasa berat dengan didikan ibunya yang seperti itu. Sejak sekolah ia selalu menurut, namun belakangan ini ia suka merengut. Sebab bagaimana tak kesal?

"Oke, biar aku tebak. Perjodohan lagi, kan, Bu?"

Anggukan serta senyuman dari induknya itu tak membuat anaknya merasa baik sama sekali.

[Name] mulai merasakan lelah. Dia baru menyadari bahwa ini sebenarnya bukan arahan yang baik dari orang tuanya. Selama ini ternyata ia hanya sedang dikendalikan. Dituntut untuk berprestasi, sukses selama masa kuliah, serta dituntut untuk melamar ke kantor bergaji besar.

Dulu ia tak menyadarinya karena masih berpikir bahwa itu semua juga termasuk hal yang ia butuhkan sebagai manusia. Tapi saat tuntutan orang tuanya semakin membutuhkan komitmen besar seperti menikah, [name] yang pernah menolaknya baru menyadari bahwa ia sedang dikendalikan.

Andaikata sejak dulu ia tak begitu saja menuruti orang tuanya, maka ia akan cepat menyadari bahwa ini adalah paksaan. Bukan didikan.

"Ibu ... Ini udah yang ketigakalinya, tapi aku masih akan jawab kalo aku belum siap," ujar [name]. Berusaha menjawab dengan sikap baik walau kini ia sedang lelah sudah menghabiskan hari.

"Nak, kalo kamu mikirin kerjaan, pas udah punya suami pun kamu masih bisa kerja, kok," sahut ibundanya. Entah sudah berusaha sekeras apa membujuk baik-baik anak semata wayangnya.

Tapi reaksi dari sang anak masih tetap sama. Entah untuk beberapa waktu kedepan lagi.

"Nikah diumur segini menurutku sendiri masih kemudaan, Bu."

"Ya, memang kenapa? Banyak juga kok yang lebih muda dari kamu sudah menikah."

Lagi-lagi menghela napas berat. [Name] merasa kedua sisi dahinya berkedut nyeri. Merasa heran dengan permintaan-permintaan–atau sebutan paksaan-paksaan ibunya ini. Bagai tak membiarkan [name] menikmati hidup yang sejak dulu saja sudah dikendalikan.

"Ikut, ya? Cowok ini anak dari kenalan papamu dulu," ibunya kembali membawa perbincangan utama. Memang, yang diinginkannya pasti hanyalah jawaban iya dari anaknya.

"Pertama, aku belum siap. Kedua, aku gak mau dijodohin," respon [name], kembali menolak.

Kini ibundanya yang mendesah, "kamu selalu bilang gak mau dijodohin tapi gak pernah kenalin cowok yang kamu suka sendiri."

"Ya karena alasannya masih ada nomer satu. Aku belum siap."

"Tapi kamu sudah harus datang. Kenalan papa sudah menyetujuinya, dan dia bilang calonmu akan menjemputmu sabtu malam nanti."

Lelah. [Name] sungguh merasa bodoh sekali malah baru merasakan lelahnya dikendalikan ketika sudah sejauh ini. Dia bahkan jadi sering menertawakan masa lalunya yang penuh kendali orang tuanya.

Sekarang ia tak mau lagi terlihat lugu seperti itu. Meniti dijalan karir yang tak disenanginya seperti ini saja sudah lelah, bagaimana jika ia sampai berhasil dinikahkan dengan laki-laki pilihan ibunya?

Sudah cukup. Mungkin [full name] harus melawan kali ini.

.

.

.

[Full name] merasa panas. Sepasang manik karamel yang sering terpergoki membuat dirinya merasa awas. Kilatan pada tetra itu, terasa familiar sekilas. Lebih lagi saat senyum miringnya perlahan terulas.

 Lebih lagi saat senyum miringnya perlahan terulas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
rhythm project » hinata shouyo.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang