Seandainya saja jika tatapan mata seseorang bisa melubangi kepala, Renjun yakin kalau dahinya sekarang sudah mempunyai lingkaran menembus tengkorak, lalu dengan sangat mengerikan akan mengucurkan darah, dan menghabisi nyawa pemuda tersebut sejak lima menit yang lalu.
Mengernyitkan kedua alis, menegakkan tubuh, dan menyesap susu pisang dari dalam kotak, Renjun tidak ragu lagi untuk membalas tatapan lelaki di hadapannya—barangkali sudah akan menerjangnya jika saja mereka sedang tidak berada di kafetaria yang lumayan penuh pada pukul satu siang.
Kebanyakan orang jika ditatap seperti itu akan langsung menciut, melarikan diri, atau minimal akan buru-buru mengintrospeksi dirinya sendiri. Apakah ia punya kesalahan? Apakah orang itu membencinya? Yah, setidaknya seperti itu. Tapi Renjun tidak. Karena tanpa ditanya sekalipun, sudah terlihat dengan sangat jelas kalau Park Jisung ini pasti akan mempermasalahkan kejadian makan malam jurusan beberapa hari yang lalu.
"Wah, bagus sekali, Renjun-hyung." Lelaki Park itu akhirnya membuka suara, sedikit mengangkat sudut bibirnya saat menambahkan, "Kau bahkan terlihat baik-baik saja setelah membuangku yang tidak sadarkan diri malam itu."
Benar, 'kan, apa kata Renjun?
Menarik kotak susu menjauh dari bibirnya dan berdeham kecil, Renjun kemudian sedikit melunakkan tatapannya saat menyahut. "Kurasa di sini ada sedikit kesalahpahaman, Park."
"Oh, baiklah. Kalau begitu jelaskan kesalahpahaman apa yang tidak aku mengerti." Jisung membalas dengan sedikit ketus, pemuda itu tidak bisa lagi untuk tidak menatap seniornya dengan luar biasa kesal. "Ah, atau mungkin coba jelaskan alasan apa yang akan kau gunakan kali ini, hyung."
Renjun terlihat menyipitkan matanya dengan sinis di tempatnya. Bibirnya nampak mencemooh sejenak, namun sepersekon kemudian pemuda manis itu membenahi posisi duduknya, menegakkan punggung dan menatap Jisung dengan sorot paling lembut yang mampu ia keluarkan. Yah, walaupun sebenarnya Jisung malah luar biasa membenci itu, sih.
"Well, aku tidak benar-benar membuangmu, tahu." Renjun berucap dengan nada lembut yang sialnya berhasil membuat telinga Jisung jadi gatal setengah mati. "Sebaliknya, aku ini malah menyelamatkanmu, Park."
"Dengan meminta Chenle menjemputku yang sedang mabuk?" Jisung berdecak sebal, "Astaga, pasti ada sel otakmu yang sedang konslet, ya?"
Renjun mendengus sebal. Matanya dirotasikan sejenak sebelum membalas, "Dia itu teman serumahmu. Coba jelaskan bagian mana yang salah jika aku memintanya menjemputmu?"
"Hei, hyung. Kau tahu," Jisung menjeda sebentar, meneguk ludahnya getir ketika melanjutkan. "Chenle jadi seperti menghindariku setelah aku mabuk malam itu."
Renjun menyipitkan matanya, menatap penuh selidik ke arah juniornya itu dan berbicara dengan sedikit mendesis, "Astaga. Kau melakukan yang tidak-tidak, ya, malam itu?"
Jisung menatap sebal. "Maaf, ya. Kukira itu kau yang punya kebiasaan menendangi pantat orang sembarangan saat mabuk, bukannya aku." Lelaki itu terlihat masih kukuh dengan tuduhannya. "Mungkin saja Chenle jadi merasa tidak nyaman berada di dekatku. Dia jadi kesusahan untuk membawaku pulang. Dan itu salahmu, hyung."
"Oh, hei, itu salahmu karena kau punya tubuh yang tinggi dan luar biasa berat."
Baru saja Jisung ingin menyahuti lagi, si Huang itu sudah lebih dulu mengalihkan pusat perhatiannya pada sesosok lelaki mungil yang berdiri di tengah kerumunan. Tangannya sedang membawa nampan dan lelaki itu terlihat kebingungan mencari tempat duduk di sana.
Jadi tanpa mempedulikan Jisung yang kini mencembikkan bibir, Renjun lantas memanggil pemuda manis di sana dengan sedikit keras. "Hei, Zhong Chenle, di sini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Revolted Heart
Fanfiction📍COMPLETED Pada malam musim panas itu, Chenle mendadak mendapat satu ciuman manis dari lelaki asing yang luar biasa tampan. Pertemuan mereka menjadi hal paling klise dalam hidup, tapi sialnya bisa membuat dada bertalu kelewat cepat. Lalu dua tahun...