Tengah malam. Ketika manusia lain beristirahat guna menghimpun tenaga untuk esok hari, ada seorang anak yang tengah dipukul oleh ayahnya.
Setidaknya sudah tiga kali sebuah ikat pinggang kulit berwarna hitam diayunkan dengan keras hingga mengenai kulit betis Lea. Meninggalkan ruam biru kehitaman dengan panjang sekitar tiga sentimeter, kontras dengan warna kuning langsat yang menjadi latarnya. Tampak menyakitkan, namun yang terlihat justru Lea yang biasa saja. Ia tak menangis pun mengeluh sakit juga meminta ampun. Ia biarkan ayahnya terus mencetak garis-garis mengerikan di kulitnya.
“Nggak bisa diatur, percuma hidup kalau nggak berguna!” suara ayah terdengar memenuhi ruangan. Terlihat ibun bersimpuh di kaki ayah. Air matanya mengalir deras, sedangkan bibirnya berulang kali memohon ampun agar anaknya dilepaskan.
Entah bagaimana awal mula ayah menghantamkan ikat pinggang itu ke arah tubuhnya. Yang Lea ingat, telinganya menangkap teriakan parau menyeramkan selepas menutup pintu utama. Itu, suara ayah. Suara ayah yang tengah memaki dengan adegan menarik paksa pada rambut ibun.
Dan seperti yang sudah-sudah, Lea berjalan cepat ke arah ibun, berusaha melepaskan dengan paksa tangan ayah yang tengah mencengkram erat rambut wanita yang menjadi ibunya itu. Walaupun tak berguna, Lea bersyukur setidaknya ibun tak harus merasakan sakit itu lebih lama.
Atensi ayah beralih kepada Lea, dihadiahi anak semata wayangnya itu dengan tamparan yang melayang sekuat tenaga ke arah pipi sebelah kirinya. Lalu ikat pinggang berwarna hitam mendarat dengan mulus pada betisnya. Tubuh Lea berjengit kaget, menahan rasa sakit yang tiba-tiba datang kepadanya.
Lagi-lagi tangan ayah melayang dengan cepat ke arah pipi Lea. Tak hanya sekali, ayah menarik tubuh Lea agar berdiri sejajar dengannya. Menarik paksa rambut bagian belakang Lea, lantas kembali mengayunkan tangan, membuat Lea limbung menghantam ubin kuning gading rumahnya. Lea terdiam. Ia tengah menetralisir rasa sakit yang bercokol di kepala juga hatinya.
“Kalian berdua selalu bawa sial! Hidupmu itu sebagai aib, dasar nggak berguna!”
Itu adalah adegan yang cepat ketika ayah mengambil gelas kaca yang terletak di atas meja makan, lantas menghantamkannya ke arah Lea. Namun yang terjadi adalah ibun yang lagi-lagi merelakan punggungnya dihantam secara keras, menghasilkan bunyi yang mengerikan. Napas ibun memburu, tangannya mencengkram dada dengan erat, dan selanjutnya gelap datang dengan perlahan.
“Bun? Ibun?!! Ini Lea, Bun. Kita pergi, Bun, kita pergi.”
Entah darimana Lea mendapatkan kekuatan sehingga mampu menarik sadar dari sakit yang tak ada habisnya.
Suaranya bergetar, tubuhnya ia paksa berdiri, menarik tubuh ibun ke dalam dekapan yang ia usahakan sehangat mungkin, meninggalkan ayahnya yang tiba-tiba terdiam, tak bersuara. Lea tak merasakan apa-apa kecuali ketakutannya melihat ibun yang tak berdaya. Wajahnya lebam, kakinya terasa sakit saat meniti langkah, namun Lea tak peduli.
Disaat-saat seperti ini, entah kenapa Lea merasa lebih baik ia tak memiliki sosok ayah. Ayah yang dianalogikan sebagai bagian dari dirinya yang harus dihormati, seketika terasa menjijikkan.
Kenapa semesta tidak menghilangkan saja ayah dari kehidupannya? Atau setidaknya sedikit memiliki naluri selayaknya seorang ayah, agar ia bisa menaruh harap pada sosok yang senantiasa memberi kemelut didalam kehidupannya.
-----
“Mama nggak bisa diam gini terus, Ya.”Aku masih menunduk, menaruh atensi pada lantai rumah sakit yang menurutku jauh lebih menarik untuk saat ini. Aku ditemani oleh adik kandung ayah yang akrab ku panggil mama Ratna. Beliau langsung ku hubungi saat dalam perjalanan menuju rumah sakit terdekat.