"Yaya? Ntar sore mau ikut ke studio?"
Sekarang jam sepuluh lewat lima belas pagi, bertempat di meja bundar bersama cake cokelat serta teh manis panas, menghadap langsung ke arah kaca bening lebar yang memperlihatkan kesibukan jalanan kota pagi ini.
Lea dan Samuel, sedang menikmati hasil karya Vivian-kakak perempuan Sam, yang berprofesi sebagai pemilik kafe.
Minggu pagi yang seharusnya Lea habiskan dengan berhibernasi seharian di kamar setelah membantu ibun dalam urusan dapur, kini tak bisa Lea nikmati. Sebab dengan tak tahu dirinya Sam datang kerumahnya guna meminta izin kepada ibun dan juga nenek, mengajak Lea keluar rumah. Dan tentu saja tanpa berpikir, sepasang mertua dan menantu itu mengizinkan Lea diculik oleh Sam.
Mengapa diculik? Sebab Lea memiliki penyakit jika sudah bertemu kasur, ia akan sulit bangun. Namun setelah mendengar bahwa Vivian yang menyuruh Sam menjemputnya, Lea dengan gerakan secepat kilat berlari ke arah kamar mandi, dan siap hanya dalam hitungan menit. Nenek saja sampai terheran, bagaimana cucu perempuannya itu dengan semangat keluar dari kamar, sebab mereka paham, biasanya hari minggu Lea tak akan keluar kamar selain untuk makan.
Namun bagi Lea, mendengar nama Vivian disebut merupakan suatu anugerah. Mengapa? Apalagi jika bukan karena segala jenis cake buatan Vivian yang menggugah selera, dan memanjakan lidah? Apalagi ini gratis, bagaimana bisa Lea menolak?
Dan kini, Lea terlihat mengusap mulutnya dengan selembar tisu yang tersedia di atas meja, lalu beralih menatap Sam dengan raut wajah seolah bertanya.
"Nanti sore Enam Hari latihan lagu baru, makanya aku ngajakin kamu buat dengar secara langsung dari penyanyinya sendiri. Kan kamu suka sama lagunya."
Lea masih tak bersuara. Kepalanya mencoba mengingat apakah benar ia menyukai lagu-lagu Enam Hari yang baru saja Sam sebutkan tadi?
"Aku nggak ngerti dan nggak tau tentang Enam Hari. Lagian nih ya, kamu kan tau kalau aku sukanya sama John Mayer." Lea bersikeras bahwa dirinya tak menyukai lagu dari band yang Sam sebutkan.
"Kamu tau lagu yang sering kamu nyanyiin akhir-akhir ini punya siapa?"
Lea menggeleng. Yang ia tahu, Lea menyukainya sebab lirik yang tertata apik dan juga nada yang terdengar manis. Itu juga Lea mendengarnya di angkot, jadi, bagaimana Lea bisa mengetahui siapa yang menyanyikan lagu kesukaannya itu?
"Itu Enam Hari. Mereka yang sering pakai studioku buat latihan persiapan manggung. Mereka juga satu kampus sama kamu. Gimana bisa kamu nggak kenal mereka?"
Sam benar-benar dibuat gemas dengan kelakuan sahabatnya ini. Bagaimana bisa Lea tak mengetahui band yang sedang naik daun itu?
"Harus banget kenal mereka? Lagian kalau kamu ingat, aku nggak pernah patroli kalau bukan ada urusan. Itupun cuma perpustakaan, fakultas, kantin sama kelas yang aku datangi."
"Oh iya, aku lupa kalau kamu ini mahasiswi transparan. Jadi nggak kelihatan kalau kamu sebenernya termasuk ke dalam penghuni kampus." Terdengar Sam mencibir, membuat Lea berkeinginan untuk melemparkan piring bekas cake tadi ke wajah yang katanya tampan milik Samuel.
Lea mencebik kesal, merasa percuma jika ia membalas perkataan Sam yang menyakitkan tapi memang benar adanya. Sebab Lea memang memiliki phobia tersendiri terhadap lingkungan kampus yang ramai dan pastinya berisik. Lea tak menyukainya, dan hanya berkeliling jika memiliki urusan yang mesti di selesaikan dengan cara keluar dari zona nyamannya.
Lea, benci keramaian, namun ia juga benci dengan yang namanya sepi. Sebab, disaat sendiri, kepala Lea akan secara otomatis memutar kembali reka adegan di mana ibun menangis di hadapannya. Suatu pemandangan yang paling Lea benci dimuka bumi.
Tak ada kemungkinan hal-hal lainnya yang dapat memberikan afeksi benci berkepanjangan kepada Lea, terutama hatinya, selain melihat ibun menangis.
"Selama ada keripik, lima kotak pocky steak, sama teh hangat, aku mau."
Lea berujar dengan nada santai sembari tangannya dengan terampil men-scroll aplikasi instagram. Matanya dengan sabar melihat satu-persatu kiriman rakyat instagram.
Kebanyakan foto dengan tema buku ataupun kebahasan yang muncul dalam kabar berita akun instagram milik Lea, sebab ia hanya mengikuti beberapa akun penulis favoritnya, seperti Ahimsa Azaleav, Kang Abay dan masih banyak lagi.
"Doyan makan kok tetep pendek sih? Heran aku." Sam berujar santai, namun mampu membuat bola mata Lea dengan cergas mendelik ke arahnya.
"Aku banyak makan juga nggak berpengaruh besar untuk negara, kok kamu yang sewot. Heran aku!"
"Bukan negara, tapi aku yang rugi pendek!" dan terjadilah adu mulut antara dua anak manusia yang sama-sama memiliki daya cakap luar biasa ketika bertemu. Begitulah Lea dan Samuel.
Saling mencerca namun menyayangi.
Dan jika salah satu dari mereka tak ada yang mengalah, perselisihan antar mulut ini tak akan selesai. Maka dari itu, Lea lebih memilih untuk mengalah kai ini. Setidaknya ia tak rugi bukan?
"Ok, aku ikut kamu. Tapi sebelum itu, kamu bakalan nemenin aku ke toko dulu."
Lea bertitah, yang terdengar bukan sebagai permintaan, melainkan perintah di telinga Samuel.
Terkesan menyebalkan namun Sam tak bisa untuk sekedar marah. Entahlah, ia sendiri heran, mengapa dirinya tak pernah bisa untuk sekedar mengatakan tidak kepada Lea.
Jika Lea sudah bicara, maka tubuh serta otaknya akan merespon iya. Apakah penyebabnya karena ia dan Lea sudah menjadi duo dan menganggapnya adik sejak kecil? Bukan.
Kedua orang tuanya bersahabat. Mama dan ibun merupakan senior dan junior kala masih mengenyam bangku perkuliahan.
Dan kini, kisah mereka berdua kembali terulang. Kembalinya Sam dan keluarganya ke Indonesia, setelah enam tahun menetap di Kanada, negara asal sang papa. Takdir ternyata tak pernah bermain-main dalam menyatukan dua sahabat ini. Sebab Viona kembali di pertemukan dengan Rike sebagai tetangga sebelah rumahnya.
Semesta memang suka bercanda.
-----
Awas gumoh bacanya.
Hampir seribu kata, dan demi apa nggak saya cut?!Oke deh, selamat membaca!
Salam sayang!
Pejuang kebahagiaan!