2018Ketika sedang turun hujan, ada seorang istri yang tengah dipukul oleh suaminya.
Diawali percekcokkan serta suara berbagai benda berjatuhan, lalu berakhir dengan bunyi-bunyian yang sangat memilukan, gadis 11 tahun yang dulu sempat bermimpi keliling dunia bersama kedua orang tua dengan bahagia itu, kini terdiam mematung tepat di pintu utama.
Kakinya serasa tertancap sebuah paku besar transparan, kala kedua bola mata hitam bulat miliknya menatap ke arah dua entitas berbeda gender yang sangat ia kenali mereka siapa.
Mereka, bunda dan ayah.
Kedua orang tuanya.
Ibun, begitu panggilan gadis manis yang kini menginjak usia 19 tahun kepada sang bunda.
Wanita yang telah mengandungnya, membawa serta dirinya yang kala itu tengah meringkuk dalam lapisan daging yang sangat nyaman serta aman-perut bunda, selama 9 bulan penuh tanpa pernah mengeluh, bahkan ketika kaki bengkaknya protes dengan tiba-tiba nyeri yang terasa amat-sangat menyiksa diri.
Dilihatnya tubuh ringkih ibun tersungkur dekat meja kaca ruang tamu, bersamaan dengan vas bunga kaca bening yang kini sudah tak berupa lagi bagaimana bentuknya.
Terdengar suaranya lirih, berulang kali kata "ampun" keluar dari bibir merah Ibun di sana.
Tangan ibun yang bebas, terlipat di atas kepala. Berusaha melindungi di bagian sana, meskipun Lea yakin, pertahanan semacam itu hanya sia-sia saja jatuhnya.
Sedangkan sang ayah, laki-laki paruh baya dengan perawakan sedang agak tinggi, yang sialnya adalah sosok laki-laki yang ikut andil mengalirkan darahnya di dalam tubuh Lea, kini terlihat sedang mengatur napas. Sorot mata suram cenderung gelap itu tertuju kepada wanita yang berada tepat di depannya.
Memancarkan aura kebencian dari sana.
Dan ketika suara guntur menggelegar memenuhi telinga Lea, seketika itu jua dua pasang mata sendu ibun bertubrukan dengan manik hitam tinta miliknya. Disusul dengan sorot mata hitam suram tadi, menyebabkan manik hitam tinta sendu milik Lea berubah menjadi sorot yang tak terbaca.
"Lea."
Wanita paruh baya itu memanggil lirih Lea.
Melihat penampilan kacau ibun seperti ini, Lea berusaha mati-matian menahan air mata yang telah siap terjun kapan saja. Bibirnya yang bergetar, ia gigit sekuat mungkin, berharap jangan sampai suara laknat miliknya keluar disaat yang tidak tepat.
Ia ingin sekali menangis, sangat ingin. Namun, ia tak bisa menangis di sini. Tidak di depan ibun.
Tidak akan pernah.
Lea masih mematung di pintu utama. Kakinya tak bergerak barang selangkah dari situ. Entah mengapa badannya terasa kaku, menolak untuk diajak berkompromi. Sedangkan kedua tangannya yang kosong, ia lipat kuat-kuat. Menyebabkan buku-buku jari miliknya memutih, akibat tekanan yang teramat kuat.
"Kenapa Ayah pukul Ibun lagi?"
Suara bergetar Lea akhirnya keluar, terdengar lirih, sarat akan penekanan ditiap kalimatnya. Lea, lelah.
"Nggak usah ikut campur urusan orang tua. Masuk ke kamar kamu sekarang!"
Lea memejam tiba-tiba, telinganya sakit mendengar bentakan sang Ayah.
"Dan Lea harus diam saja, selepas lihat Ayah pukul ibun dengan alasan yang nggak jelas?"
Mata Lea masih terpejam. Sedangkan suara Lea terdengar tenang. Teramat tenang. Menyebabkan amarah ayah semakin memuncak.
Lea mendengar suara langkah kaki yang mengetuk ubin kuning gading rumahnya mendekat. Terdengar jelas bahwa pemilik kaki tersebut adalah ayahnya. Setelah dikira cukup dekat, Lea perlahan membuka mata.
PLAK.
"LEA!"
Lea disambut dengan tamparan keras di pipi kirinya. Ia limbung ke sisi kanan pintu, dikarenakan tubuhnya sedang tak siap menerima serangan tiba-tiba. Kepalanya mengenai gagang pintu, menyebabkan Lea tak bisa mendengar sementara. Pandangannya juga perlahan mengabur, disebabkan rasa pening yang menguasai kepalanya.
Lea, sakit.
Sakit. Hanya itu yang dapat Lea rasakan saat ini. Entah sakit seperti apa yang Lea rasakan. Entah sakit dibagian mana yang Lea rasakan. Di pipi kirinya, atau di lubuk hatinya? Lea tak mengerti.
Kenapa rasa sakit yang ia rasakan saat ini sulit sekali terdeteksi?
"Lea."
Suara ibun terdengar lagi, berhasil mengambil atensi Lea seketika. Terlihat beliau sedang berusaha berdiri dengan berpegang pada sofa panjang di sampingnya guna menopang tubuh.
Setelah berhasil, ibun berjalan perlahan mendekati putri kesayangannya. Tak peduli dengan kaki yang berdarah dikarenakan sempat tertancap pecahan kaca di sana, ibun tetap melangkah.
Beliau berusaha abai akan rasa sakit di kakinya.
"Lea."
Ibun kembali memanggil nama anaknya, membuat Lea tak tahan untuk berdiam diri saja. Kakinya melangkah, menghampiri sang bunda yang terlihat kesakitan. Kedua tangannya merangkum tubuh ringkih Ibun, menyalurkan kehangatan di sana. Tubuh ibun kembali bergetar, sementara Lea tetap mengusap punggung ibun, berusaha menenangkan.
"Nggak apa-apa Bun, Lea nggak apa-apa."
-----
Note :
Berhubung kisah ini baru memasuki bagian satu, bisakah kalian membantu saya dengan memberikan coretan yang dianggap kurang?
Dan juga, saya tak keberatan jika kalian bersedia melapangkan harapan dengan menekan bintang di sudut kanan.
Terima kasih!
Salam sayang, masih dari si pejuang kebahagiaan.Oleh : @Narantakararenra.